2

1 0 0
                                    




“Dan apa?!” Audy mengintimidasi Arin. Mereka berlima menatap Arin penuh perhatian.

“Dan ... itu tetangga kita,”

“APA!”










Benar saja, seluruh stasiun pemberhentian tidak mempersilakan penumpang untuk turun, barikade menutupi sisi kanan dan kiri kereta. KA Probowangi melanjutkan perjalanan tanpa henti secara terpaksa. Petugas KAI terlihat sangat tenang meskipun mereka sama cemasnya dengan para penumpang sekarang dilihat dari senyumnya yang dipaksa dengan mata sayu, akan tetapi mereka memang harus bersikap begitu agar penumpang tidak merasa gelisah.

Dengan tidak adanya pemberhentian di stasiun manapun, kereta tiba sangat lebih cepat dari waktu seharusnya. Satu per satu penumpang turun di stasiun malang manapun yang mereka inginkan, karena sebagian besar dari mereka sebenarnya tidak bertujuan kemari.

Impostor turun. Mereka turun di Stasiun Blimbing Malang dengan jarak 8,1 kilometer ke rumah tujuan. Suasana stasiun begitu hening, benar-benar tidak ada suara selain langkah kaki petugas KAI lengkap APD tengah berjalan menghampiri mereka.

Setelah proses sterilisasi diri sebagai upaya pencegahan terjangkit wabah, mereka melangkah pergi meninggalkan stasiun menuju tempat parkir.

Betapa terkejutnya mereka melihat keadaan luar stasiun. Mobil telah ringsek di sudut, tanaman-tanaman cantik rusak terinjak, lampu-lampu jalan ada yang dirobohkan adapula yang dipasangi bendera bewarna hitam, ban karet yang dibakar, dan masih banyak kerusakan yang lain. Ini seperti film Apocalypse di teleevisi.

“Shya, apa kamu masih yakin akan ada yang menjemput?” tanya Arin penuh keraguan setelah melihat keadaan sekitar, yang lainnya ikut memandang pada Keshya.

Hening agak lama, Tidak mungkin juga mereka akan berjalan sepanjang delapan kilometer jauhnya, dengan barang bawaan yang sebanyak itu, dan juga setelan APD yang begitu sumuk untuk dikenakan, mereka akan mati terlebih dahulu.

“Dalam keadaan seperti ini, sepertinya tidak masalah kalau kita mencuri barang kecil,” Soraya menghampiri mereka dari belakang. Dengan wajah rubah licik serta kunci mobil di genggamannya. Sekarang ia tampak seperti wanita kasar di cerita mafia.

Ai sebagai alim yang kalem, mencoba untuk menahan tindakan itu dengan menoyor kepala Soraya sedikit lebih kasar
“Tidak usah sok gaya, mobil itu bukan barang kecil,”

Setelah perdebatan panjang berangkat atau tidak, akhirnya mereka memutuskan untuk berangkat saja. Sinar matahari sedang terik-teriknya, mereka tidak tahan hanya dengan terus menerus berdebat ngalor-ngidul. Soraya memang telah memiliki surat izin mengemudi, jadi ialah yang paling berhak untuk menyetir dan membawa mereka dengan selamat sampai tujuan.

“Ahh .. akhirnya punggung tuaku menyentuh kasur juga .. astaga aku lelah sekali hari ini,” gravitasi kasur memang sangat kuat menarik Audy untuk beristirahat sebentar.

“Audy, bantu Soraya dan Ellen dulu sebentar, barang bawaan di mobil juga masih banyak,” kata Ai. 

“Aduh, iya bakal aku bantu, sebentar. Aku masih ingin mengistirahatkan punggungku,” Buntalan tisu melayang mengarah ke kepala Audy, ia langsung bangun dan menoleh dengan tatapan seriously?

Sementara yang merasa ditoleh hanya mengedikkan bahu tanda tidak peduli.

Audy menapakkan kakinya dengan penuh hentakan, kesal tentu saja. Ia keluar dari kamar dan menyipitkan mata memfokuskan objek yang dia lihat sekarang. Ada seseorang di depan bersama Ellen dan Soraya. Audy segera menuju ke teras untuk melihat siapa dan ada urusan apa ia kemari, kenal seseorang disini saja tidak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kemalangan Kota MalangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang