Langit siang penuh awan di sebuah pedesaan kecil. Jalan satu arah dikelilingi pohon-pohon bambu yang berbaris rapi. Sebuah mobil sedan hitam tua melaju perlahan menikmati suasana yang asri nan sunyi. Di dalamnya, terlihat sepasang kekasih sedang bercengkrama hangat. Seringkali keduanya saling menatap lalu tertawa-tawa kecil. Nampaknya, mereka adalah sepasang suami-istri yang baru menikah.
Si pria tengah menggunakan kaos tipis sedangkan si wanita mengenakan rok terusan yang tidak terlalu mencolok. Entah keduanya sedang menikmati hari-hari biasa, atau sedang berlibur dari hiruk-pikuk kehidupan kota, atau sekedar menikmati masa bulan madunya, atau mungkin beberapa diantaranya yang menjadi alasan takdir membuat mereka ada di sana.
Sedan tua itu terus melaju pelan di jalanan yang sepi. Hanya satu atau dua rumah dan gubuk saja yang terlewat. Saking sunyinya, suara angin berhembus dan dedaunan bergesekan bisa terdengar dengan jelas seandainya suara mesin jadul itu tidak mengganggu. Namun, nyatanya keheningan itu hanya mengundang sesuatu yang lebih berbahaya.
Suara bising terdengar dari kejauhan. Nampak dari kaca spion dua motor trail mendekat dengan kecepatan tinggi. Dalam hitungan detik, keduanya menyalip sedan tua dan berhenti tepat di depannya. Si pria terkaget dan menginjak rem dalam-dalam walau sebenarnya itu agak berlebihan mengingat tadi mobilnya bergerak sangat lambat.
"Kenapa dua orang itu menghadang kita ya, say?"
"Entahlah, mungkin mereka tersesat," Jawab si pria. "Mungkin sebaiknya aku menghampiri mereka."
Sebelum niat itu terlaksana, kedua pemotor turun dan berjalan cepat menghampiri mereka. "Atau mungkin tidak."
"Say, sepertinya mereka bukan turis yang tersesat." Si wanita mulai gelisah.
Satu orang terlihat mengeluarkan sesuatu di pinggangnya. Posturnya tinggi ramping. Wajahnya tak bisa dikenali karena tertutup topeng hitam. Ia kemudian berbicara lewat sebuah alat komunikasi di tangannya.
Yang satu lagi, berbadan agak gempal melangkah mendekati si pria. Ia juga terlihat mengeluarkan sesuatu dari pinggangnya. Namun, sepertinya yang satu ini tidak mengeluarkan handi-talkie, melainkan sebuah pistol dan menodongkannya ke arah si pria yang berada di balik kemudi.
"Keluar!" Orang itu berteriak galak.
"Celaka." Si pria mendesah. Si wanita apalagi. Nampaknya ia juga ketakutan sebab pistol yang dipegang lelaki misterius lainnya diarahkan kepadanya.
"Bagaimana ini, say?"
"Kita ikuti saja apa mau mereka. Aku tau suatu saat hal seperti ini terjadi akan terjadi kepada kita. Tapi tidak secepat ini." Jawab si pria, mencoba bersikap tenang.
Dari arah berlawanan, sebuah SUV hitam mendekat dan berhenti di depan mereka.
"Ikut kami atau kami tembak!" Teriak lelaki yang menunggu korbannya keluar.
Sepasang kekasih itu lantas keluar dan mengikuti arahan kedua orang misterius.
"Masuk!" Si pria diarahkan untuk masuk ke dalam SUV hitam itu. "Tadi kalian menyuruh kami keluar, sekarang kalian menyuruh kami masuk. Lucu sekali." Kata si pria. "Diam!" Moncong pistol kini tepat berada di pelipis si pria.
"Kalian tidak punya rasa humor sama sekali, ya." Si pria membuka pintu dan masuk kedalam dengan moncong pistol yang masih menempel di sisi kepalanya. Dengan gerakan cepat, ia menarik tangan lelaki misterius ke dalam menjepitnya dengan pintu. Pistol terlepas dari genggamannya dan diambil si pria.
Seolah waktu berhenti di sekelilingnya, si pria melesatkan beberapa peluru, menghabisi kedua orang misterius yang kini tergeletak tak berdaya. Ia menarik tangan istrinya yang masih mematung, lantas mencoba melarikan diri sebelum semuanya terlambat. Namun, nampaknya semua benar-benar terlambat.
Seorang lelaki bertopeng lainnya muncul dari dalam mobil. Tanpa banyak bicara, ia menarik pelatuk pistol di tangannya. Suara tembakan terdengar amat keras. Rudi tersentak dan terbangun.
Jam dinding menunjukan pukul 5 pagi. Seperti biasa, Rudi merasa kepalanya berdenyut-denyut. Jantungnya berdebar kencang. Keringat melumuri seluruh tubuhnya. Sungguh, rutinan malam yang sangat tidak mengenakkan.
Mimpi buruk tiada henti yang selalu menghantui tidurnya. Rasanya, setiap malam adegan itu semakin jelas dan terasa nyata. Meski begitu, ia tak pernah tahu-menahu apa maksud dari mimpi itu. Hanya saja, baginya mimpi itu terasa lebih nyata dibanding kehidupan yang sedang ia jalani saat ini.
"Sudah bangun, nak? Cepat mandi sana." Kata nenek dengan lembut.
"Iya, sebentar nek."
"Mimpi buruk lagi ya?"
"Begitulah." Jawab Rudi pasrah. Berharap pembicaraan mengenai hal itu tidak berlanjut terlalu jauh.
"Ya sudah. Sekalian buatkan air hangat buat kakek. Tanyakan dia mau minum kopi atau teh."
"Ah, kalau itu sih tidak akan ada bedanya." Nenek tertawa kecil. Rudi beranjak dari tempat tidurnya. Bukan kasur lembut dan nyaman yang membuat kalian betah seharian berada di atasnya. Melainkan hanya tikar tipis dengan selimut yang seadanya. Apalagi jika kalian berada di kamar dengan luas 3 x 3 meter persegi saja. Hanya beberapa meter lebih luas dari kuburan manusia.
Setelah memasakkan air, ia pergi mandi, berpakaian, sembahyang, dan berbagai aktifitas lainnya, ia menghampiri kakek yang sedang duduk di teras rumahnya.
"Pagi, kek."
"Wah, pagi-pagi begini sudah ganteng ya cucu kakek," Kakek tersenyum sambil memandangi Rudi. "Bukannya SD kamu itu masuknya siang, ya?" Tanya kakek.
"Iya, memang siang, kek. Tapi sekarang aku sudah SMP, sudah mau lulus pula."
"Wah, cepat sekali ya. Kakek merasa baru kemarin kita sama-sama memancing di kolam Pak Wahyu. Padahal itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Waktu memang berjalan semakin cepat, ya."
"Kalau itu sih memang kemarin, kek."
"Ah, masa?" Jawab kakek heran. Rudi hanya tersenyum lebar. Tak lama, nenek menghampiri mereka.
"Ini kopinya." Nenek memberikan nampan dengan segelas penuh kopi hitam.
"Lah, sejak kapan aku suka kopi, nek? Kenapa bukan susu panas seperti biasanya?" Tanya Kakek.
"Tadi kan Kakek sendiri yang bilang. Iya kan, nak?" Rudi mengangguk. "Tuh, dengar sendiri. Sudah tua, pikun lagi."
"Nah, itu sadar sendiri. Lain kali, buatin teh hangat saha, pagi-pagi begini enaknya ngeteh manis." Kata Kakek, lalu menyeruput kopi yang masih panas. Bibirnya terbakar kepanasan. Nenek melambaikan tangan.
"Kamu sudah sarapan, nak?"
"Sudah kok, nek."
"Ya sudah. Nanti jangan terlalu sore ya. Nenek buatkan sayur asam kesukaanmu."
"Makasih, nek. Aku pamit dulu." Rudi menyalami kedua orangtuanya.
Walaupun terkadang mereka bertingkah seperti itu, tapi Rudi dibesarkan oleh keduanya bahkan sejak ia lahir. Ia tak pernah tahu siapa ayah dan ibu kandungnya, tapi itu tidak terlalu menjadi masalah. Baginya, kakek dan nenek adalah sumber kasih sayangnya dan Rudi selalu bertekad untuk membalas semua jasa-jasa mereka.
"Hati-hati, nak. Jangan sampai tersesat lagi." Kata Kakek.
"Itu Kakek sendiri kali, ah." Kecut Nenek. Rudi melambai dan melangkahkan kakinya.
Meski bajunya sudah agak kusam, namun secara keseluruhan ia selalu terlihat rapi. Dengan sepatu yang berulang kali ditambal, Rudi memulai perjalanan selama 30 menit menuju sekolah. Berharap bisa sampai tepat pada waktunya, sebelum bel pertama dibunyikan. Untung saja, ia tak perlu berjalan melewati lembah, mendaki gunung, atau mengarungi sungai. Cukup menyusuri jalan desa lalu berbelok dan melewati jalan raya.
Jika kalian berjalan sambil memikirkan banyak hal, apalagi sambil menikmati suasana jalanan, maka jangan heran jika secara tak sadar kalian sudah tiba di tempat tujuan. Rudi pun masuk melewati gerbang sekolah yang masih terbuka. Syukurlah, nampaknya bel pertama belum berbunyi.
Kelasnya terletak di ujung lorong. Sudah banyak murid yang telah datang. Atau mungkin, memang Rudi yang tiba paling akhir, seperti biasanya. Ia pun masuk. Beberapa murid putri terlihat sedang mengobrol berkelompok sambil tertawa terbahak-bahak, pasti mendengarkan gosip tentang salah satu temannya yang kemarin kedapatan ngompol di celana. Sedangkan, kebanyakan murid putra sedang duduk di bangku masing-masing sambil membuka buku. Tentu, mereka sedang mengerjakan PR. Sisanya memiliki kesibukan sendiri seperti memainkan gawai, menguap, atau bahkan tidur. Rudi duduk di kursi paling belakang.
"Hei." Sapa seorang murid lelaki yang duduk di sampingnya.
"Hei." Jawab Rudi.
"Apa kabar?"
"Baik, Vin. Terima kasih karena selalu bertanya. Setiap hari." Kelvin, seorang anak berpostur tinggi dengan rambut stylish-nya tertawa sambil mengangguk-angguk. Kemudian, seorang anak wanita datang menghampiri mereka. Sorot matanya tegas, berjalan terburu-buru.
"Halo, Nira can-"
"Rudi, ikut aku ke ruang Kepala Sekolah. Sekarang." Rudi menelan ludah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Atlantean
AdventureBaginya, hidup ini terasa tak nyata. Luka dan duka yang diubah menjadi kekuatan baru serta misteri mimpi aneh senantiasa menghantui. Tak disangka, seorang remaja berusia 15 tahun ini akan mengarungi petualangan untuk mencari jati dirinya. Dan biarka...