Page 4. Arc of Ametra pt 2

5 3 1
                                    

'Putraku sudah mati.. enyahlah.' ucapan dingin dari suara tegas seseorang yang menjulang tinggi di depan menyentakknya keras. Raut wajahnya sama sekali tak terbaca tertutupi surai peraknya yang panjang, tapi ia bisa merasakan kebencian yang teramat jelas tertuju padanya.

Punggung lebar sosok yang melindunginya selama ini berbalik begitu saja, menutup telinga sepenuhnya dengan seruan penuh permohonannya 'Ayah, aku tidak ingin bersamanya,' rengeknya berusaha mengiba.

Sebelum mendapatkan balasan dari ayahnya, sentakan keras tangan besar lainnya telah menyeretnya pergi makin menjauh.

'Sakit ... ini menyakitkan,' ratapnya dalam hati hanya bisa menatap kosong langit-langit di atasnya

Goresan-goresan kecil, maupun tusukan benda tajam lainnya yang menarik keluar cairan paling dominan dari tubuhnya terus saja tertoreh, tenaganya telah sirna sepenuhnya hanya untuk memohon belas kasihan.

Bersamaan dengan benda dingin yang tajam melesat cepat menuju satu titik pusat hidupnya dimana jantungnya terus berdetak, bayangan gelap yang melingkupinya sirna tiba-tiba

---

Dengan nafas terengah-engah ia bangun dari tidurnya mendudukkan tubuhnya dengan tegap berusaha meraup oksigen sebanyak mungkin. Salah satu tangannya mencengkram erat dadanya untuk memastikan keberadaan detak konstan yang kini terdengar ribut

Peluh membanjiri tubuhnya membuatnya makin tampak kacau, bahkan surai panjangnya tampak lengket dengan keringatnya sendiri. Gigi putihnya menggigit keras bibir bawahnya yang terus saja menggigil

"Aku memimpikannya lagi ...," gumamnya lirih memijit pelipisnya yang kini berdenyut karena bangun tiba-tiba dari tidurnya.

Ruangan gelap dengan tirai yang mengelilingi ranjangnya membuatnya menghela nafas berat menyadari suasana yang sangat ia kenali sejak kecil. 'Sepi' hanya itu yang di suarakan benaknya entah kenapa terdengar kecewa. Melalui celah kelambu ranjangnya, ia melongokkan kepalanya melihat tirai tipis yang melapisi jendela besar di ruangan kamarnya

Angin malam bertiup cukup kencang hingga mampu mengangkat tirai jendela cukup tinggi, meski sempat kesulitan ia kini berhasil bangun menuju sumber penerangannya saat ini. Membuka lebar jendela kamarnya ia menikmati udara dingin yang menerpanya membiarkan tubuhnya dihujani sinar rembulan yang tampak begitu terang.

"Hari itu... bulan juga bersinar terang," ujarnya lirih tersenyum sendu menikmati kenangan indah masa lalunya.

"Cahaya terang Silver Moon yang tampak indah justru membawa kegelapan di luar nalar semua orang."

"Fenomena alam yang langka yang ku anggap sebagai keistimewaan keluarga Sylvere karena sangat sesuai dengan identitas keluarga itu. Namun kenyataannya justru membawa tragedi baginya, sungguh ironis," gumamnya lagi menatap sendu bulan purnama yang bersinar terang melalui jendela kamarnya.

Kembali tersadar dengan kenyataan yang ada ada, ia menggelengkan kepalanya keras, "Ametra, aku hanya perlu memikirkan tentang Ametra. Bagaimana pun kami akan menyelamatkan negeri ini," ujarnya lagi penuh rasa percaya diri kembali memperoleh perasaan optimisnya yang sempat meredup untuk beberapa saat.

Menemukan kembali tekadnya, Gazian melangkah kembali ke dalam kamarnya dengan langkah yang lebih tegas. Ia merasa tak bisa kembali ke tempat tidurnya setelah terror malam yang barusan ia alami, mengedikkan bahunya pelan ia memutar langkahnya menuju meja kerjanya.

"Setidaknya Mark dan Alexies sedang berpatroli di depan, aku bebas bukan?" ujarnya menyakinkan dirinya atau mungkin lebih tepat dikatakan memanjatkan harapannya agar terbebas dari omelan mereka berdua.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 26, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Moon of PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang