************
"sayang?" Panggilku pelan seiring langkahku memasuki ruangan serba putih dan biru ini. Seorang gadis yang tengah duduk di kursi roda sembari menatap ke jendela itu pun menoleh. Senyumnya bak lengkungan sabit, begitu indah dan bersinar walaupun bibirnya terlihat begitu kering. Aku melangkah mendekat, mengecup singkat pipinya lalu memberikan buket bunga lavender yang ku bawa. Bunga berwarna ungu ini adalah bunga favoritnya, bahkan parfum dan pewangi pakaiannya selalu beraroma lavender.
"Terima kasih," ucapnya lirih seraya mengenggam erat buket cantik itu.
Aku memandang turun ke arah tangan kirinya yang tertancap selang infus, tangan itu terlihat lebih kurus dari yang terakhir kali aku melihatnya—akibat dari gagal ginjal kronis yang ia derita, berat badannya terus saja menurun. Sejenak aku terdiam, memandanginya dari arah samping, meneliti setiap inci kecantikannya yang tak luntur dimakan lara. Walau dalam keadaan yang demikian, memiliki Kamila adalah hal yang tak akan pernah lelah untuk ku syukuri. Ini sudah hampir satu tahun setelah kita menikah, kala itu penyakit yang menggerogoti tubuhnya secara perlahan ini tidak memberikan tanda - tanda apapun. Hingga di suatu pagi, tiba - tiba ia mengeluh sakit di pinggul dan perut bagian bawah, sejenak kita pikir itu hanyalah nyeri perut atau reaksi kaget tubuhnya. Namun, semakin lama sakit itu semakin parah dan tanpa disangka - sangka, Kamila divonis gagal ginjal kronis stadium dua. Ia terkejut, aku terpekur, dan keluarganya tak menyangka. Kita semua sama sekali tak menduga hal ini terjadi tepat dua hari setelah pernikahan dilangsungkan. Sejak saat itu, Kamila yang ceria, Kamila yang selalu tersenyum tiap waktu, serta Kamila yang mendedikasikan diri untuk pekerjaannya pun berganti dengan Kamila yang selalu duduk di kamar, berkeliling sebentar, atau mengunjungi rumah sakit setiap hari selasa, rabu, dan jum'at. Dialisis, konsumsi obat secara rutin, dan berbagai perawatan sudah ia lakukan, tetapi penyakitnya tak kunjung sembuh. Segala obat dan perawatan itu hanya memperlambat kerusakan ginjalnya, bukan menyembuhkan lukanya.
"Ga—" ucapannya terputus karena tiba - tiba saja ia menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, buket yang tadi ia pegang erat pun sudah terjatuh ke lantai. Aku berlari kelabakan menuju nakas—mengambil mangkok besi yang memang disediakan setiap kali Kamila muntah.
"Jangan ditahan,"
Beberapa detik kemudian, mangkok kosong itu sudah berisi air dan beberapa makanan yang gagal dicerna olehnya. Dengan telaten aku memijat tengkuknya, sama sekali tak merasa jijik saat ia mengeluarkan apa yang baru ia makan tadi pagi.
"Sudah?" Tanyaku lembut. Ia hanya mengangguk lemah sembari menyeka mulutnya menggunakan sapu tangan.
"Sorry," lirihnya pelan saat aku sudah selesai membersihkan mangkok besi tadi. Aku tak menjawab, hanya membalas ucapan maaf itu dengan kecupan kecil di bibir mungilnya. Kamila selalu mengucapkan maaf setiap kali ia muntah, setiap kali aku selesai membantunya berjalan, setiap kali ia memanggilku hanya untuk mengambilkan sesuatu, atau setiap kali ia selesai dialisis. Bisa kuhitung sehari Kamila mengucap kata maaf ratusan kali. Aku mengerti kenapa ia sering meminta maaf, tetapi sungguh, aku tak butuh kata maaf itu karena sampai detik ini, aku hanya butuh Kamila sembuh.
"Kakimu masih bengkak?"
Aku sedikit menyingkap kain selimut tipis yang ia telungkupkan menutupi paha hingga kaki. Ku lihat bengkak pada tungkainya mulai mereda, tetapi aku belum bisa merasa puas sebab, beberapa hari lagi bengkak itu akan kembali hadir.
"Gara"
Aku menengadah, menatapnya penasaran karena tiba - tiba saja ia memanggilku. Kamila mengulurkan tangannya untuk menyentuh rahangku, tangan lembut nan ringkih itu menelusuri garis wajahku, dibarengi tatapannya yang memandang sendu.
"Kamu terlihat lebih kurus akhir - akhir ini. Maaf, ini semua salahku"
Aku menggeleng. Memang akhir - akhir ini berat badanku turun karena bekerja melebihi waktu, tetapi itu semua bukan karena salahnya. Memang aku bekerja banting tulang untuk membiayai pengobatannya, tetapi sekali lagi itu semua bukan salahnya.
"Bukan salah kamu, Mil. Aku kurus memang akhir - akhir ini restoran sedang ramai"
"Tapi kamu kerja keras juga—"
"—sshhttt. Mil, dengarkan aku—," titahku seraya menggenggam erat tangan kurusnya.
"—aku bekerja banting tulang, mencari nafkah, mencari biaya untuk pengobatan kamu, itu semua karena memang tanggung jawab aku sebagai suami kamu. Aku sama sekali tidak terpaksa, aku tidak merasa lelah, ataupun menyesal karena menikah denganmu. Kamila, berhenti memikirkan hal yang aneh - aneh, ini semua bukan kesalahanmu"
Sesaat ia hanya terdiam lalu menunduk, bahunya bergetar karena ia menangis. Tanpa ragu aku memeluknya, mengusap lembut punggungnya yang sedikit bergetar karena terisak.
"Aku minta—maaf. Aku minta maaf—karena sudah—menjadi beban untukmu. Aku minta maaf," ucapnya di sela - sela tangisnya. Sejujurnya, aku sangat benci ketika Kamila terus merasa bersalah padaku. Aku sangat benci ketika mendengarnya menangis karena aku tak suka melihatnya bersedih seperti ini.
Kamila, andai saja kamu tahu bahwa memilikimu adalah hal yang paling aku syukuri.
************
Hai!Thanks for reading!!
Byebye~
KAMU SEDANG MEMBACA
menuju amerta
ChickLitKamila adalah pendar dalam hitam. ia sibuk berkedip redup di kala Sagara sibuk memanjatkan doa agar pendar itu tidak hilang.