Prologue

324 71 6
                                    

Tak...

Tak...

Tak...

"Pst!"

Tak...

"Victory!"

Tak...

"Aku tau kau mendengar ku!"

Tak...

"Victory! Yak!"

Tak... Tak... Tak...

Aku mendengus tak lagi bernafsu pada piring croissant dan bacon yang sudah habis setengah di hadapan ku.

Aku mendengus tak lagi bernafsu pada piring croissant dan bacon yang sudah habis setengah di hadapan ku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

 "Sialan." desis ku kemudian bangkit dengan kasar dari meja makan bermuatan dua belas kursi itu.

Tentu saja, sebelas kursi lainnya kosong dan hanya aku yang setia duduk di salah satu kursi ini. Toh, aku tidak begitu peduli kemana yang lain nya.

Dengan ekspresi keras ku seperti biasanya, aku melangkah lurus menuju pintu kayu ebony berukuran besar di sudut ruangan itu, enggan menghiraukan suara panggilan kakak perempuan ku yang tak ada henti nya menganggu ku itu.

Aku terus berjalan lurus melewati koridor penyambung ruang makan dengan ruang keluarga yang bahkan tak berguna itu. Menghiraukan deretan pajangan lukisan klasik karya seniman-seniman terkenal favorit ibu ku, yang mana tak pernah membuat ku tertarik memandangnya lebih dari lima menit.

"Oh, Tuan muda, Selamat Pagi."

Aku menghentikan kaki ku sejenak, menyadari aku baru saja berpapasan dengan Pak Kang , asisten pribadi keluarga kami, yang bahkan sudah mengabdi sejak kakek ku masih muda. Sejauh ini, Pak Kang terasa seperti satu-satunya orang yang ku ingat tiap menginjakkan kaki di rumah besar ini.

"Pak Kang..." ucapku tersenyum sekenanya.

Suara tawa rendah dengan suara agak bergetar khas pria yang sudah berumur pun terdengar "Anda semakin persis mendiang kakek anda sewaktu muda. Sangat tampan dan kaku." ucapnya enteng.

Aku membuang nafas, sudah aku bilang Pak Kang telah bekerja dengan kakek ku sejak mendiang kakek ku muda. Dan tak ada bosan nya mengatakan bahwa aku sangat mirip dengan mendiang kakek yang telah wafat sejak sepuluh tahun yang lalu itu.

"Apa yang kau bawa itu, Pak Kang?" ucapku menatap lipatan kain hitam yang pria renta itu bawa dengan kedua tangan nya.

Setelahnya senyum sendu terulas di wajah Pak Kang "Ini setelan jas milik Tuan Muda untuk upacara pemakaman kakak anda, Mendiang Nona Eunkyung. Saya sudah menyiapkan semua yang Tuan Muda kira-kira perlukan, jika ada sesuatu yang bisa saya..."

"Hanya ini yang aku butuhkan." sela ku.

Pak Kang melihat ku sebentar, namun akhirnya hanya mengangguk mengerti seraya menyerahkan lipatan setelan jas hitam di tangannya.

"Baiklah kalau begitu saya akan minta supir bersiap." ucapnya sekali lagi.

Tanpa berbasa-basi lebih jauh aku beranjak dari sana, bersiap untuk pergi ke upacara pemakaman mendiang kakak perempuan ku, satu-satu nya.

Setelah beberapa saat mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih ku, aku terdiam mematut diriku sendiri di depan cermin besar di sudut kamar pribadi ku. Memandang kosong pada ban lengan warna putih dengan dua garis hitam melingkar itu, akhirnya hari penghantaran terakhir pada jasad Eunkyung tiba juga pikirku. Sebenarnya Eunkyung telah wafat sejak seminggu yang lalu, hanya saja karena harus melalui proses otopsi, jasad Eunkyung baru bisa di makam kan pada hari ini.

"Kau serius akan terlambat ke upacara pemakaman ku, eh?"

Aku terdiam sebentar, tanpa reaksi berlebihan kemudian memandang sosok pucat yang tengah duduk di sisi ranjang ku yang mampu ku lihat jelas dari cermin besar di hadapan ku.

Melihat tak ada respon yang ku keluarkan, sosok dengan rambut hitam panjang itu menghadap ku meski  tanpa terlihat kedua bola mata nya yang sempat ku kenal baik itu.

See... Ini alasan kenapa aku enggan menatap sosok nya dan bahkan cenderung ku abaikan.

Arwah kakak ku hanya mengingatkan aku bahwa kematian nya terjadi dengan tidak wajar, dan aku terus membenci kenyataan itu.

Aku menghela sejenak nafas ku, mengarahkan pandangan ku ke ujung sepatu pantofel yang ku kenakan, kemudian memilih beranjak dari sana, supir mungkin sudah menunggu ku di bawah.

Baru saja langkah ku mencapai ambang tangga, disana, lagi-lagi, arwah Eunkyung berdiri di ujung tangga sana, segaris lurus dengan tempatku masih berdiri.

Aku hanya memandang nya datar, sementara sosok itu memiringkan kepala nya beberapa derajat ke arah kanan, seperti meledekku.

Tubuh pucat, tanpa bola mata di wajah nya, rambut hitam yang terjuntai sedikit berantakan hingga bahu, segala rona kehidupan nya telah pudar, menyisakan pemandangan pilu bagaimana wujud Eunkyung telah sangat berbeda saat ini.

Arwah kakak ku itu bahkan masih terbalut seragam blazer hitam dengan rok selutut juga aksen pita berwarna gold yang mempermanis area kerah nya, seragam khas asrama murid senior perempuan.

"Berjanjilah untuk masuk ke asrama yang merenggut jiwa kakak, Victory."

###

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ClairvoyanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang