- Sean Oseno -
***
Empat tahun sudah ia menempati rumah sederhana ini. Ukurannya tidak terlalu besar, namun sangat nyaman. Letaknya di ujung jalan yang terkadang lampu penerangannya tidak berfungsi. Banyak isu beredar bahwa jalanan rumahnya angker, tapi selama ia tinggal tak pernah ada kejadian menyeramkan yang ia alami selarut apapun ia pulang.
Sean menatap isi rumahnya yang kini kosong tanpa perabotan apapun. Ia akan pindah ke kota besar. Selama tinggal, jarang sekali ada orang yang bertamu. Sean terlalu sering kesepian. Jadi, tidak ada hal yang perlu dikenang dari rumah kecilnya ini.
Mobil melaju perlahan. Sean menatap gerbang rumahnya dari balik kaca spion.
Satu hal yang pernah terjadi di rumahnya, yang mungkin juga merupakan satu-satunya kenangan disana adalah ketika seseorang merayakan hari ulang tahunnya. Hari itu, ia bahagia. Sangat.
"Selamat tinggal, rumah."
Sean tersenyum tipis, lalu mobil berbelok ke arah kiri sehingga pagar rumahnya tak terlihat lagi.
***
Sekitar 6 jam perjalanan, akhirnya ia sampai ke tujuan. Sebuah rumah yang ukurannya dua kali lebih besar dari rumah lamanya. Rumah pemberian saudara ibunya yang sudah lama tidak berpenghuni.
"Terima kasih, Pak."
Setelah supir membantu menurunkan semua perabotan, ia lalu beranjak pergi.
Sekali lagi, Sean menatap rumah barunya yang besar. Ia tak yakin akan merasa nyaman dengan rumah ini. Tetapi, dengan alasan apapun ia harus tetap tinggal.
Pintu tak terkunci. Sean membuka pintu dan sedikit terkejut begitu melihat isi rumah yang tampak bersih. Ia berpikir setelah sampai di rumah baru, ia akan disibukkan untuk beres-beres mengingat rumah ini tak berpenghuni sebelumnya.
"Sean..!"
Wanita berpakaian dress putih sedikit berlari memasuki rumah. Itu Sani, saudara ibunya.
"Baru sampai?"
"Iya."
Melihat perabotan yang masih tergeletak, Sani menghubungi seseorang untuk membantu membereskan perabotan rumahnya. Sean tak menduga tantenya akan sangat perhatian, padahal mereka tidak saling dekat sebelumnya.
"Beberapa orang akan datang untuk beresin barang-barang kamu, sekarang kamu istirahat aja di atas. Kamar kamu sudah tante siapkan."
Sean memanggut untuk kemudian mengekori Sani menuju kamarnya.
"Ini kamar kamu." Sani tersenyum kepada Sean yang terperangah melihat seisi kamar. Kamar yang besar. Yang mungkin seukuran ruang tamu di rumah lamanya.
"Besar banget kamarnya," Sean bergumam pelan.
Ia tidak tahu harus berterima kasih dengan cara apa, hanya selontar kalimat saja tidak cukup. Sani sangat baik. Dan Sean tahu akan hal itu. Sewaktu kecil memang Sani satu-satunya saudara yang sangat baik kepadanya.
"Tante gak akan sering-sering kesini, soalnya tante sibuk banget. Mungkin kalo ada waktu, tante kesini lagi ya sama Geff. Terakhir kali kamu ketemu dia waktu umurnya masih tiga tahun, kan? Entah dia masih ingat sama kamu atau nggak." Sani terkekeh pelan.
Ah, ya. Geff. Sudah lama sekali Sean tidak bertemu dengan sepupunya itu. Anak laki-laki yang keras kepala dan banyak bicara. Mengingat Geff membuat Sean rindu masa kecilnya, meskipun tak sepenuhnya bahagia.
"Oh ya, tante juga sudah mengurus kepindahan sekolah kamu. Jadi, besok jam setengah tujuh akan ada orang yang datang untuk antar jemput kamu ke sekolah setiap harinya."
Sean tersenyum tipis. Tiba-tiba saja ia membayangkan sosok Sani adalah ibunya. Tetapi, sepersekian detik kemudian pikirannya berubah. Ibunya tidak seperti Sani. Ibunya mungkin akan tak acuh kepadanya.
"Makasih banyak sudah bantu semua keperluan aku, Tante."
Sani tersenyum, lalu memeluk Sean. Keponakannya yang selama ini hidup sendiri tanpa dampingan orang tua, tanpa adanya perhatian dan kasih sayang dari keluarga. Entah bagaimana cara Sean bertahan hidup di tempat lamanya, tetapi kini Sani tidak ingin Sean kembali hidup seperti sebelumnya.
"Selamat datang di rumah baru, Sean."
***
Hari ini, hari pertama Sean mendatangi sekolah barunya. Tentu, ia tidak mau terlambat. Sean bangun lebih awal untuk membersihkan rumah yang membutuhkan tenaga ekstra. Membersihkan rumah lamanya hanya membutuhkan waktu 10 menit, tetapi rumah ini membutuhkan tiga kali lebih lama. Meskipun begitu, Sean tidak mengeluh. Ia tetap melakukan pekerjaan rutinnya itu setiap pagi.
Semua rutinitas paginya selesai, Sean tinggal menunggu seseorang yang akan menjemputnya pagi ini. Tak lama kemudian, pintu diketuk. Orang itu telah tiba.
Sean dengan seragam yang lengkap menarik tasnya dan melangkah menuju pintu.
"Selamat pagi."
Lelaki jangkung berkemeja putih dengan celana hitam tersenyum menyapanya. Wajahnya segar tanpa kerutan, terlihat beberapa bulu-bulu halus telah tumbuh di area sekitar dagunya.
"Saya Endro Maheswara yang akan mengantar kamu ke sekolah pagi ini."
Sean tak mengira bahwa orang yang akan mengantarnya masih berusia muda, jauh dari perkiraannya yang mungkin usianya 40 sampai 50 tahun.
Tetapi, berapapun usianya itu tidak penting. Ia hanya ingin sampai ke sekolah tepat waktu, apalagi di hari pertamanya.
"Ya, pagi." Sean menjawab seperlunya.
Setelah mengunci pintu, kemudian mereka memasuki mobil dan berangkat menuju ke sekolah.
10 menit tanpa percakapan, akhirnya lelaki bernama Endro itu membuka suara.
"Siapa nama kamu?"
Sean bergerak canggung lalu menjawab, "Sean."
"Sean?"
Air muka lelaki itu tiba-tiba saja berubah, Sean dapat membacanya. Seperti terkejut. Dan dugaannya benar, Endro bertanya lebih lanjut.
"Siapa nama belakangmu?"
"Oseno."
"Ah.. Sean Oseno."
Endro lantas tersenyum simpul, "Nama yang bagus."
Entah apa arti dari raut muka laki-laki itu, Sean memilih tak peduli dan mengalihkan pandangannya ke jendela mobil dengan tatapan kosong.
***
Instagram: @sabillaraaaz
KAMU SEDANG MEMBACA
Notasi
Teen FictionSean Oseno, ia hidup dalam penantian. Penantian yang tak kunjung sudah. Kepada seseorang yang tak pasti, yang entah kapan kembali. Lalu, seseorang dengan nama Nadine datang membawa warna baru di hidupnya. Tanpa ia sadari, ia telah jatuh cinta. Akan...