Langit oranye menyebar indah di atas sana, angin sore yang mulai berhembus dingin menyapa kulit dengan lembut. Suasana menyenangkan dan riuh memenuhi lapangan kota, di mana anak-anak SMA tengah asyik bermain futsal. Para lelaki berkeringat, tetapi semangat mereka tinggi saat saling mengoper dan menendang bola ke arah yang diinginkan. Di sisi lain, para gadis duduk di samping lapangan, menonton dengan penuh perhatian. Beberapa menunggu kekasihnya selesai bermain, siap memberikan handuk dan botol minum, sementara yang lain lebih memilih menonton daripada berdiam diri di rumah.
"Cowok gue emang seganteng itu ya..." ucap Thalia sambil memandang sang kekasih dari kejauhan, senyum bangga menghiasi wajahnya.
Di sampingnya, Zanya Atheira, gadis berusia 17 tahun, juga terpesona melihat salah satu pria yang bermain di tengah lapangan. "Raven juga ganteng," katanya, matanya berbinar saat melihat Raven menggiring bola, jantungnya berdebar saat pria itu berlari.
Thalia tersenyum jahil. "Saran gue, mending lo confess aja sama Raven, Nya. Mau sampai kapan diem-diem gitu?" Thalia menatap sahabatnya dengan tatapan penuh harap.
Zanya mendesah, merasa dilema. "Lo pikir takdir gue bakal sama kaya lo, Tha? Tiba-tiba confess, eh ternyata cowok yang lo suka juga suka sama lo. Itu kan kisah cinta lo, bukan gue, jelas nggak sama."
"Ya, terus mau sampai kapan dong?" tanya Thalia, gemas.
Zanya menatap lapangan dengan tatapan penuh harapan. "Sampai suatu saat nanti, kalau emang udah waktunya," jawabnya, berharap hatinya bisa menemukan keberanian itu.
Kedua gadis itu saling menatap sesaat, tanpa mengucapkan apapun. Thalia terlihat mengerti dengan perasaan temannya itu.
Sebuah bola menggelinding pelan ke arah Zanya, membuat gadis itu kembali menaruh perhatiannya ke arah lapangan. Permainan selesai, dan para pria memilih istirahat di pinggir lapangan. Raven berlari kecil mendekat, jemarinya meraih botol yang berada di sisi Zanya dan meminumnya, lalu duduk di bawah kursi penonton. Lelaki itu menatap Zanya dan tersenyum kecil. "Handuk?"
Zanya berdecak pelan sambil tersenyum, berusaha menahan rasa gugup. "Minta sama cewek lo lah, masa sama gue?"
"Cewek gue kan nggak ada, tapi lo ada," jawab Raven dengan senyum nakal.
"Ngarep banget," kata Zanya, menyilangkan tangan sambil berusaha menunjukkan ketidakpedulian, meski sebenarnya hatinya berdebar.
Raven tersenyum masam, seolah kecewa dengan jawaban Zanya, tetapi gadis itu tahu semua yang Raven ucapkan padanya tidak lebih dari sekedar lelucon penghibur. "Tisu, mau?"
"Mau."
Zanya segera merogoh tas biru muda yang ia bawa, mengambil tisu untuk diberikan pada temannya itu. Saat tangannya bersentuhan dengan tangan Raven, seakan ada percikan listrik yang membuatnya merasa semakin canggung. Namun kecanggungan itu hanya untuk Zanya tidak untuk Raven yang terlihat santai mengelap keringatnya yang menetes.
Apa mungkin hubungan mereka akan berkembang? pikir Zanya sambil menatap Raven tanpa pria itu sadari. Angin sore berhembus pelan, membuat rambut Zanya yang tergerai ikut bergoyang searah angin berhembus. Raven menoleh, menatap gadis itu yang juga menatapnya.
Mereka saling menatap untuk beberapa saat, berbeda dengan Raven yang mungkin tak memikirkan apapun dalam benaknya, berbeda untuk Zanya. Gadis itu berpikir ia rasa berteman dengan pria yang ia sukai adalah sebuah kesalahan. Bagaimana jika suatu saat perasaan yang ia pendam ini terbongkar dan merusak pertemanan mereka? Zanya sadar sepenuhnya jika perasaan ini hanya dimiliki olehnya tidak dengan Raven.
Benua, kekasih Thalia mendekat menghancurkan keheningan yang melanda Zanya dan Raven beberapa saat lalu. "Lo berdua ngga mau ikut?" tanya Benua.
Zanya dan Raven kompak menoleh ke arah Benua bersamaan. "Ke mana?" jawab Zanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untold Affection
RomanceDalam pelukan malam yang sunyi, ketika bintang-bintang bersinar samar di langit kelam, terhampar harapan yang terpendam di antara dua jiwa yang saling mengamati, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberi kesempatan bagi perasaan yang tak terucapka...