Tiga

6 0 0
                                    

“Sepertinya kamu mulai suka deh sama dia.”

“Dengan sehari ketemu? Itu pun dia yang ngikutin aku yah, Mi.” Sejak setengah jam yang lalu kami berbincang dengan benda yang mirip telepon pada jaman dulu. 

Bedanya di jaman yang sudah sangat modern ini, benda tersebut hanya seperti sepasang earphone kecil yang dapat dioperasikan melalui perintah suara. Hanya tinggal menyebutkan kode unik yang dimiliki masing-masing orang, alat komunikasi tersebut telah sepenuhnya terhubung.

Diawali dengan bertanya kabar, dan hal apa saja yang kami lakukan di hari ini. Sampai pada sebuah perbincangan yang membuat aku tahu bahwa Ami adalah dalang di balik Si-Aneh yang seharian terus mengikutiku.

“Tapii, dia manis kan?”

“Apanya yang manis, semua yang ada di dalam dirinya adalah sepahit-pahitnya hal yang pernah aku temui.” Persis kalimat itu selesai terucap, mendadak raut wajah Ami berubah sedih. Namun tak lama tersenyum; malah tertawa.

“Kamu akan suka nanti, Ke.”

***

“Dunia itu terlalu indah untuk tidak kita hiraukan. Semesta punya segala kecantikan yang mesti kita hargai dengan hati.”

“Seperti kamu mencintai buku-buku kuno itu?” Aku terdiam menatap wajah seseorang yang paling malas kutatap sejak awal. Si-Aneh tidak berhenti bertanya sejak satu jam lalu.

“Ini nggak kuno, jaman kita yang terlalu cepat modern-nya.”

“Iya deh, Aneh.”

“Kamu yang aneh!”

Seperti biasa aku kembali lagi ke toko buku di Distrik L-Ma. Saka menjemputku, hendak mengajakku ke tempat yang entah aku pun tidak tahu dan tak akan pernah mau. Aku memilih pergi ke toko buku, hendak mencari sesuatu. Dia menyerah dan mengikuti.

Seperti biasa Distrik T-Rang selalu menjadi kota yang tidak pernah tidur. Semua orang seakan-akan tidak mempunyai rasa mengantuk sedikitpun.

Lalu lalang orang-orang sudah terlihat ramai sejak pagi-pagi buta. Transportasi umum sudah beroperasi sejak pukul lima. Aku menaiki salah satunya, kapsul kereta bawah tanah.

Semua rel kereta sudah dibuat di bawah tanah sejak dua puluh tahun lalu. Hal ini dikarenakan penduduk yang kian padat, serta meminimalisasi penggunaan lahan.

“Apa melamun juga menjadi hobimu sejak lama?” Ah, kenapa sih manusia seperti Saka terus saja bicara, batinku. Aku tidak menghiraukannya. Memilih diam. Tak menjawabnya.

Stasiun Distrik L-Ma sudah terlihat, kapsul kereta mulai memasuki peron. Hanya kami berdua yang tersisa. Stasiun ini merupakan tujuan akhir dari kapsul kereta yang kami tumpangi.

Distrik ini semakin hari makin sepi dari pendatang. Bahkan penduduk aslinya pun banyak yang berpindah ke distrik yang lebih maju.

“Ami bilang apa aja soal aku ke kamu?” Kali ini aku yang membuka obrolan di antara kami berdua. Sebenarnya enggan untuk memulai pembicaraan dengan Si-Aneh itu, tapi hal ini sepertinya layak untuk dipertanyakan.

“Bahkan aku nggak mempertanyakan apapun. Aku ingin mengetahui langsung dari kamu. Segala hal yang membuat aku penasaran. Segala rasa ingin tahuku soal kamu, kamu sendirilah yang pantas untuk menjawabnya.”

“Apa yang mau kamu tahu tentang aku?”

“Hatimu.”

Jawabannya cukup membuatku kaget. Entah siapa dia dan baru saja kenal beberapa hari terakhir berani-beraninya bicara soal hati.

“Aku nggak punya hati.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ruang MengertiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang