Sore itu, gerimis mulai menyapa bumi mengiringi kumandang Takbir dari sudut-sudut kota, waktu yang mustajab untuk berdoa, bukan?
Seorang gadis duduk di halte dengan sebuah buku di pangkuannya, membiarkan pena itu terus menari-nari di atas kertas melukiskan kata demi kata yang tak tertata.
Wahai Dzat yang Terkasih ..
Begitu banyak nikmat yang telah Kau beri ..
Tapi raga ini seringkali lupa diri ..
Begitu sombong atas apa yang dimiliki ..
Padahal tiada abadi di dunia yang fana ini ..Wahai Dzat yang Maha Perkasa ..
Engkaulah tempat kami menyimpan asa ..
Tanpa takut akan kecewa ..
Jika yang diberi tak sesuai yang dipinta ..Terima kasih wahai Sang Sutradara Semesta ..
Atas hidayah yang datang menyapa ..
Kepada hamba yang terlampau durhaka ..-Humaira Khansa-
'Hayya alal Falaah'
Suara adzan masih menggema menyatu dengan rinai hujan, memanggil jiwa-jiwa yang penuh dosa untuk meraih kemenangan. Jadi sejatinya manusia itu tempatnya salah dan dosa sebagai akibat dari hawa nafsu yang diperturutkan. Tapi jangan lupakan bahwa Allah Maha Pemurah lagi Maha Pengampun.
Salah satu dari sekian banyaknya waktu mustajab untuk berdoa adalah ba'da ashar di hari Jum'at, dan ketika hujan turun. Tak mau menyia-nyiakan waktu itu, dengan lihai tangan yang lentik itu membereskan semuanya dan bergegas menuju masjid terdekat. Ingin segera bermunajat kepada Rabb, Penguasa seluruh Alam.
Tapi hari ini tampaknya langit sangat bersedih hingga membuat hujan seperti sedang marah, entah karena merindukan kemarau atau sebab lainnya.
Maira tampak menghela nafas, tidak memungkinkan jika ia harus menerobos hujan sederas ini.
"Pakai ini." Ujar seorang Pria yang tiba-tiba sudah ada di sampingnya menyodorkan sebuah payung. Perasaan tadi hanya ia seorang diri yang berada di tempat itu, atau dirinya yang terlalu bodo amatan hingga tak memperhatikan sekitarnya?
"Saya tau bahwa kamu sedang gelisah karena ingin segera menunaikan kewajibanmu, apalagi di waktu yang mustajab ini. Pakailah." Sekali lagi Pria itu menyodorkan payungnya di hadapan Maira.
Tak mau berlama-lama terjebak pada situasi seperti ini, walaupun ragu, Maira akhirnya menerima payung itu dan segera berlalu. Tentunya setelah mengucapkan terima kasih.
'Cuaca memang sedang dingin-dinginnya, tapi kenapa kamu ikutan beku, Humaira Khansa?' Gumam Pria itu tanpa Maira dengar. Ia tak sadar bahwa sebenarnya Maira tidak mengenalinya.
Langkah demi langkah Maira iringi dengan dzikir 'Subhanallah wa bihamdih, subhanallahil azhim.'
Tuhan, aku datang membawa setumpuk dosa yang tak terhitung jumlahnya, berharap Engkau beri ampunan.
***
Seperti biasa, makan malam yang selalu diiringi canda tawa. Yusuf—Ayah Maira, sosok yang cerewet dan selalu mempunyai bahan obrolan hingga mampu membuat suasana menjadi hangat. Fatimah—Ibunda Maira, yang irit ketika berbicara tapi sangat nyata dalam tindakan. Maira bersyukur masih diberi kesempatan menyaksikan tawa mereka.
"Acha, kapan nikah?" Tanpa ba-bi-bu, tanpa intro terlebih dahulu, Yusuf tiba-tiba melontarkan pertanyaan seperti itu. Bagai disambar petir, Maira yang tadinya makan dengan lahap kini jadi mematung. Untung saja tidak tersedak seperti di film-film.
Humaira Khansa—Acha sapaan akrab oleh keluarganya, masih berusia 21 tahun dan sekarang lagi diberi pertanyaan yang seorang Professor pun tidak tahu jawabannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Qabiltu
SpiritualTiada yang lebih indah dari dua raga yang saling menjaga. Tidak bertemu namun saling menunggu, Tidak berpapasan namun saling memantaskan. -H.K-