Galuh Senja Lestari, Sorong Papua Barat 2019.
Drrrrttt. Drrrrttt.
Pukul tiga dini hari, ponselku berdering seperti biasanya. Alarm? Tentu saja. Alarm hidupku yang menelpon. Setiap sepertiga malam terakhir begini, Fajarku selalu membangunkanku.
"Bangun dek, tahajud dulu." Suara baritonnya selalu berhasil membuatku menyunggingkan senyum. Suaranya itu, renyah seperti wafer tapi terdengar tegas.
"Iya abang. Udah bangun kok. Adek ke kamar mandi dulu ya."
"Siap dek, setelah subuh, abang tunggu di tempat biasa.
"Aye aye capt!" Ku dengar ia tertawa di seberang sana.
Tempat biasa yang ia maksud ialah, tepi pantai yang letaknya tak jauh dari rumah kami. Rumah kami hanya berjarak satu kilometer saja dari bibir pantai Tanjung Kasuari. Yapp, kami berasal dari ujung timur Indonesia, tepatnya Sorong Papua Barat. Ujung paling barat dari pulau Papua. Rumah kami hanya dipisahkan oleh lima rumah.
Sudah menjadi kebiasaan kami, aku dan bang Fajar, tentu saja saat ia tidak sedang dinas keluar kota atau apel pagi buta, kami akan menyempatkan waktu untuk lari pagi di tepi pantai. Aku jatuh cinta pada pantai, karena di sanalah kami di pertemukan.
Debur ombak kecil, sesekali menerpa kaki ku kala aku menunggu Fajarku datang. Ya, aku memang senang bertelanjang kaki saat berlari di tepi pantai. Sudahlah, jangan bayangkan kami akan saling berkejaran dan berpelukan seperti film-film India, atau saling mencipratkan air laut seperti adegan yang ada di drama Korea. Kami hanya lari pagi. Tidak lebih.
"Maaf telat dek, abang bantu bapak angkat ikan hasil bagang." Ucapnya setelah berdiri tepat di sampingku.
"Bapak udah pulang? Bukannya baru kemarin berangkat bagang?"
Bagang adalah aktifitas mencari ikan di tengah laut. Biasanya mereka akan tinggal di tengah lautan selama beberapa hari bahkan bisa sampai berminggu-minggu.
"Iya, ikan lagi melimpah. Lari yuk." Aku mengangguk.
Lari pagi di tepi pantai saat fajar dan ditemani oleh Fajar, merupakan hobiku yang kedua. Yang pertama? Tentu saja mencintai Fajar adalah hobiku yang pertama.
Fajar Ali Wardana, seorang prajurit TNI AD berpangkat letnan satu yang tentu saja mimpinya adalah naik pangkat satu tingkat lebih tinggi, Kapten. Sebagai komandan pleton di Batalyon Infanteri Raider Khusus 762/Vira Yudha Sakti, sudah sejak delapan tahun yang lalu ia dinas di tempat ini. Sejak ia lulus dari lembah tidar. Bang Fajar, berasal dari Jawa, Surabaya tepatnya. Orang tua kandungnya berada di kota berjuluk kota pahlawan tersebut. Sedang yang ia sebut bapak tadi, adalah "orang tua angkatnya".
Sejak menginjakkan kaki di pulau ini, bang Fajar telah dipertemukan dengan pak Robi Fadirubun, seorang berdarah Ambon. Yang tak lain adalah tetanggaku. Mereka dipertemukan oleh sebuah insiden yang tentu saja, aku juga termasuk di dalamnya.
Delapan tahun silam, di tempat yang sama. Pantai Tanjung Kasuari. Ia sedang bersama rekan-rekannya saat itu. Bermain bola voly di tepi pantai. Tentu saja menjadi pusat perhatian para wanita pecinta perut roti sobek. Begitu banyak wanita berkerumun di pinggir lapangan. Berteriak dengan nada centil yang menjijikkan, aku malu sendiri sebagai sesama perempuan. Aku sedang membantu mama Ina, istri pak Roby mengangkat dagangannya. Satu keranjang berisi minuman dari air mineral hingga minuman bersoda. Saat itu hari masih siang. Pantai tampak ramai. Tentu saja hal ini tidak disia siakan oleh mama Ina.
Dengan menuntun sepedanya, ia menjajakan dagangannya pada seluruh pengunjung pantai. Aku yang saat itu sedang libur kuliah, memaksa ikut membantunya. Tak lama, pak Roby turut menyusul. Aku turut menjajakan minuman itu pada pengunjung pantai yang sedang meninkmati ombak. Sedang pak Roby dan mama Ina membawa sepedanya mendekat ke arah kerumunan para gadis cakadidi* itu.
Namun entah bagaimana, saat aku kembali dan hendak menghampiri pak Roby dan mama Ina, sepeda dan dagangan mereka telah roboh. Botol minuman itu berserahkan di pasir. Ku lihat juga, bola voly milik para lelaki berperut roti sobek itu mendarat sempurna di samping sepeda mama Ina. Aku mendelik. Sontak, para lelaki berperut roti sobek itu menghentikan aktifitasnya. Pun begitu dengan lolongan para gadis centil di pinggir lapangan. Pak Roby segera berlari menghampiri sepeda dan dagangan istrinya. Aku segera meraih bola itu. Maksud hati, hendak kulemparkan keras keras ke arah pemiliknya, namun salah satu dari mereka berlari menghampiri dan membantu pak Roby. Ku urungkan niat ku dan turut memunguti botol botol itu.
"Maaf ya pak, kami nggak sengaja." Ucapnya dengan ekspresi merasa bersalah.
"Iya de, tra papa sudah. Ko bisa lanjut main deng ko pu teman teman. Biar sa sendiri yang menyimpan." Sahut pak Roby dengan gaya bicara khas orang timur. Ku lirik lelaki itu sedikit mengerutkan alisnya. Sudah bisa ku tebak, ia tidak begitu mengerti dengan ucapan pak Roby.
"Nggak apa-apa bang. Abang bisa lanjut main lagi. Biar kita yang bersihin." sahutku berlagak seperti seorang penerjemah bahasa.
"Oh, iya. Nggak apa apa saya bantu." Dengan sigap, ia memunguti botol itu dan memasukkannya kembali ke dalam keranjang. Ia berbalik ke arah rekan rekannya, dan mengambil satu botol air mineral berukuran besar, kemudian kembali lagi menghampiri kami. Ia membuka tutup botol tersebut dan menyiramkan airnya pada botol-botol kotor di keranjang. Cerdas juga idenya.
"Sekali lagi kami minta maaf ya pak." Ucapnya lagi. Pak Roby tersenyum dan mengangguk. Ia segera beranjak. Tapi aku memanggilnya.
"Bang!" Ia menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Ya?"
"Bolanya." Ujarku sembari melempar bola itu ke arahnya. Ia kelabakan karena ia belum memasang kuda-kuda. Untungnya, ia bisa dengan sigap menangkap bola itu.
"Saya Fajar!" Pekiknya setelah berhasil menangkap bola itu. Aku menautkan kedua alisku.
"Saya nggak nanya!" Sahut ku dengan nada suara yang cukup tinggi. Ku lihat ia tertawa kemudian mengangguk dan berbalik. Dasar aneh!
****
Ku kira, pertemuan kami akan berakhir setelah insiden bola itu. Aku salah. Sore hari, entah bagaimana bisa ia telah duduk di teras rumah pak Roby. Aku yang saat itu hendak pergi ke pusat perbelanjaan, sampai mematung di depan halaman rumah pak Roby saat melihatnya melambaikan tangan ke arahku. Ia tersenyum.
"Mama Inaa ... " Pekik ku di depan halaman. Ia masih menatapku lamat lamat. Tentu saja dengan tetap tersenyum. Aku tidak menghiraukannya.
"Sa tra jadi pigi. Ko pigi sendiri tra papa to?" Sahut mama Ina yang langsung keluar menghampiriku. Aku menghela napas panjang.
"Yo sudah, tra papa. Sa pigi dulu e."
"Yo, hati hati di jalan."
Aku melangkah kembali ke dalam rumah untuk mengambil motorku. Tapi ketika aku kembali keluar, aku dikejutkan oleh sosok lelaki itu. Ia tersenyum lebar ke arahku.
"Saya Fajar." Ucapnya sembari mengulurkan tangannya kepadaku. Aku menyeringai.
"Saya nggak nanya. Permisi." Ia menarik kembali tangannya kemudian menggaruk tenguknya. Ia tersenyum. Dan untuk beberapa detik, aku seperti tenggelam dalam pesonanya. Fajar, senyumnya benar-benar sehangat fajar.
****
*Cakadidi : Ganjen, petakilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fajar Di Ujung Senja
Romance"Selamanya, Fajar dan Senja tidak akan pernah bersama nduk. Sudah menjadi hukum alam. Fajar dan Senja memiliki garis waktu yang berbeda."