010

353 22 0
                                    

Yoongi kembali ke meja tersebut setelah sebelumnya pergi untuk menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya. Ia tidak langsung duduk melainkan tetap berdiri di samping meja. Membuat Seokjin mendongak  untuk melihat wajahnya kala pemuda itu menggumamkan namanya.

“Kata Bunda, Namjoon udah bisa di jenguk, walaupun tetep harus gantian masuk ruangannya. Tadi Bunda sama Ayah juga udah masuk, dan mereka nawarin lo. Ummm, siapa tau lo mau masuk dan ngobrol sebentar sama Namjoon.” Yoongi menuampaikan apa yang ia dengar di telepon tadi pada Seokjin.

Seokjin yang mendengar itu seketika bangkit dari duduknya. Kepalanya mengangguk antusias dan segera meminta menuju ruangan tempat Namjoon di rawat.

Seokjin memasuki ruangan itu dengan langkah yang teramat pelan. Seakan takut menganggu seseorang yang tengah terbaring di atas ranjang dengan mata tertutup.

Seokjin menarik kursi dekat ranjang itu mendekat dengan gerakan sepelan mungkin. Untuk kemudian duduk diatasnya.

Selama beberapa menit, ia hanya diam mengamati Namjoon. Namjoonnya yang sekarang terbaring tak berdaya di hadapannya. Ia terus mengamati setiap detail dari tubuh kekasihnya itu. Mencoba merekamnya sejelas mungkin dalam memorinya.

Beberapa alat medis sepertinya sudah dilepas dari tubuh Namjoon. Ventilator yang tadinya terpasang pun sudah diganti dengan selang oksigen biasa. Hanya ada sebuah layar monitor di samping tempat tidur. Seokjin sedikit mengangkat alisnya merasa sedikit kebingungan.

Namun sebuah gerakan ringan dari atas ranjang berhasil menyita perhatiannya. Seokjin kemudian meraih tangan kanan Namjoon yang terpasang infus ke dalam genggamannya.

Namjoon yang merasakan tangan seseorang diatas tangan kanannya memcoba untuk membuka matanya. Walaupun rasanya berat sekali, ia mencoba melihat siapa yang datang.

“Namjoon, ini aku.” Ucap Seokjin pelan saat Namjoon melihat ke arahnya dengan pandangan sayu.

“Jinnie?” Tanya Namjoon dengan suara parau. Seperti tidak minum selama berhari-hari. Ia mencoba memfokuskan pandangannya pada seseorang yang duduk di samping tempat tidurnya.

“Iya Namjoon, iya. Ini aku, aku disini Namjoon.” Seokjin menggenggam erat tangan Namjoon dengan kedua tangannya. Seolah jika ia melepaskannya ia akan kehilangan orang itu.

Namjoon yang merasakan kehangatan dari genggaman seokjin tersenyum dengan lemah. Ia dapat melihat raut kekhawatiran dan bekas-bekas air mata di wajah tampan Seokjin. 

Namjoon mencoba untuk menyentuh wajah Seokjin dengan tangan kanannya. Seokjin yang menyadari itu, membawa tangan dalam genggamannya dan sedikit memajukan wajahnya agar Namjoon bisa menyentuh wajahnya.

Ketika tangan Namjoon berhasil menyentuh pipi Seokjin, ia kemudian membelainya menggunakan jari telunjuknya dengan gerakan lemah.

“Jangan nangis, Jin-nie.” Namjoon mengucapkan sepatah kalimat tersebut dengan napas tersengal.

Namun, Seokjin yang mendengarnya justru kembali menangis. Tak bisa ditahannya, merutuki dirinya sendiri karena menangis di depan Namjoon.

‘Jinnie, ma-af,” Dengan sisa kekuatannya , Namjoon mengeratkan genggaman tangannya dengan kedua tangan Seokjin.

“Ma-af, ak-aku bohong sama kamu.” Setiap kata yang ia keluarkan terasa menuras habis seluruh energinya.

“Tidak, tidak. Tidak Namjoon. Jangan minta maaf, kumohon. Jangan meminta maaf Namjoon.” Gelengan cepat refleks muncul sebagai jawaban atas permintaan maaf Namjoon.

Mengusap kasar air mata yang masih mengalir menuruni pipinya dengan satu tangan. Seokjin masih setia menggenggam tangan Namjoon dengan satu tangannya yang lain.

“Jinnie, berjanji lah padaku, nanti..apapun yang ter-jadi,” Namjoon berusaha sekuat yang ia bisa untuk menyelesaikan kalimatnya.

“Kam-u harus tetap bahagia, Ji-nnie. Dengan a-tau tanpa aku.” 

~end~






Hewwoooo...
So we're come to end of this story
It's a long way to reach the end,
Hope you'll like it anyway^^

Oh, and there will be one epiloge i'll uploading
See ya^^

hederaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang