Hingar-bingar, dentuman musik, gelak tawa serta teriakan antusias ratusan manusia bercampur menjadi satu menghantam gendang telinga seorang gadis tanpa henti.Raut wajahnya kental mengisyaratkan bahwa ia akan segera menyesali keputusan ini, sebuah keputusan yang selama dua puluh lima tahun hidupnya tak pernah sekalipun terbersit dalam benak──── setidaknya begitulah sampai dua jam lalu.
Hatinya hancur lebur dibakar lara. Luluh lantak bersama kecewa.Berulang kali kata 'kamu kuat, kamu bisa bertahan' ia rapalkan pada diri sendiri namun agaknya untuk kali ini mantra itu tak berfungsi.
Seribu kali ia dijatuhkan, disalahkan, diperlakukan tidak adil, seribu kali pula ia bangkit dan membalas dengan senyuman ikhlas.
Namun kali ini berbeda.
Pertahannya... runtuh.
"LO SEHARUSNYA GA PERNAH ADA DI DUNIA INI!!"
"Jangan pernah kamu panggil saya Mama lagi, kamu bukan anak saya."
Teriak kesetanan sang adik, juga ucapan sinis bercampur jijik yang dilemparkan mama kepadanya benar-benar meruntuhnya tembok pertahanan yang telah ia bangun selama ini.Dibenci dan tak dianggap. Apa sebegitu tak pantasnya ia untuk merasakan cinta dan kasih sayang?
Tangis gadis bersurai sebahu itu mengantarkan langkahnya menyibak kerumunan manusia yang asik berjoget seperti tanpa beban─── menuju sebuah counter panjang dengan kursi tinggi berjejer didepannya.
Secara acak ia mendudukkan diri di salah satu kursi kosong; berjarak dua kursi dari sepasang muda mudi yang tengah melumat satu sama lain secara liar dan seorang pria bertubuh tegap disebelah kirinya.
"Anything I can serve you, Miss?" tanya seorang bartender dari balik counter lengkap dengan sebuah senyum menawan.
Ia terdiam... apa yang harus dipesan? Apa ia tidak akan mendapat buku menu untuk dipilih?
"Miss? pesan yang mana?" kali ini tangan sang bartender nampak mengibas menunjuk pada deretan botol dalam berbagai bentuk, ukuran dan warna yang tersusun rapi dalam rak kaca yang dihiasi lampu neon dibelakang tubuh sang bartender seolah tau kalau gadis dihadapannya ini adalah seorang amatir.
"Yang itu," tunjuknya acak "on the rock," lanjutnya dengan mantap setelah menguping cara memesan pria disebelah kirinya.
Usai memesan benaknya kembali pada beberapa jam lalu saat surainya dijambak brutal oleh Elsa, akar-akarnya seperti tercabut dari kulit kepala. Bahkan ada beberapa bagian yang perihnya masih terasa hingga saat ini, sepertinya lecet setelah bergesekan dengan ujung tajam kuku adik tirinya itu.
"Hhhh, tiri, adik tiri..." dengusnya sambil tersenyum──── senyum yang sepersekian sekon berikutnya berubah menjadi isak tangis.
Gila. Dirinya sudah gila.
Club malam benar-benar sesuai ucapan mantan seniornya dulu. Tempat ini mampu membuat mu merasa sendiri ditengah keramaian, bebas menangis kesetanan tanpa ada yang menatap heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACKOUT NIGHT
Fanfiction"Satu kali, hanya satu kali ini saja, kumohon, aku ingin melupakan segalanya."