RENDY

27 1 6
                                    

Hai readers, ketemu lagi dengan kisah Arum.

Semoga kisah ini membikin kita selalu mensyukuri hidup yang diberikan Tuhan.

Jangan lupa komen dan bintangnya

-------------

Udara panas, debu, kepulan asap kendaraan membuat sesak nafas.  Kupacu motor kencang menuju Sasana Mukti.  Mata menatap ke arah jalanan tetapi pikiran dipenuhi wajah Mulyono.  Kugoyang-goyangkan kepala agar wajah Mulyono rontok ke aspal dan dilindas roda truk atau bemo.  Namun wajah itu malah meracuni jantung. Detak jantung tak terkendali.  Ya Tuhan kenapa aku ini. 

Di depan pertokoan yang dindingnya buram motor ku hentikan. Sudah sampai Sasana Mukti. Kupegang dada untuk menenangkan detak jantung yang masih belingsatan.  Aku heran dengan kerja tubuh manusia, gembira, sedih, takut, marah sebenarnya ulah otak tetapi sensasinya ada di jantung.  Kugosok-hosok dada dan kukatakan, "Hai jantung tenanglah.  Hai otak berhentilah berulah."  Kuhela nafas dalam-dalam lalu kuembuskan.  Dada terasa longgar.  

Kutuntun sepeda motor memasuki lorong pertokoan tua yang terlihat letih dan kusam.  Seorang lelaki tinggi  kurus berkulit kuning langsat berkaos biru tua dengan tulisan Sasana Mukti di dada kiri tergopoh-gopoh menghampiriku.  "Selamat siang Bu Arum.  Terlambat ya."  Aku menatapnya kesal.  Lelaki kurus itu memang sangat cerewet.  Tak heran jika anak-anak tak menyukainya.  "Kena macet Pak Leman."

Dengan mata yang berkerjap-kerjab dan sudut bibir berkedut Pak Leman berkata, "Anak-anak di kelas ramai Bu.  Keluar-keluar kelas, lempar gelas mineral kosong di lab IPA saat anak-anak SMA praktik."

"Iya Pak Leman nanti saya urus. Tolong sepeda motor saya diparkirkan." Kuserahkan motor pada Pak Leman.   Kutatap tangga yang menuju ke ruang guru, seorang gadis berseragam biru putih berlarian menuruni tangga menuju ke arahku.  "Bu Arum !"

"Nah itu salah satu anak yang tadi bikin ulah sampai Pak Fatik marah-marah," sela Pak Leman.

Aku memandangnya kesal sembari berkata, "Sepeda motor saya belum diparkirkan lho.  Tolong dicarikan tempat yang teduh.  Anak-anak biar saya urus."  Pak Leman memberengut kemudian berlalu dari depanku sambil menuntun motor kesayanganku.

"Bu Rendy ngamuk, ponselnya dirampas Pak Heri,"  kata gadis berambut keriting itu sambil memegang dadanya. Mungkin dia sedang berusaha menenangkan jantungnya yang meloncat-loncat akibat berlarian menuruni tangga.  Wajah bulat gadis itu dipenuhi leleran keringat.  "Bu cepetan kelasnya keburu hancur dirusak Rendy.  Dia itu kalau sama Bu Arum nurut."

"Eh, ayo Vi."   Aku berlari beriringan dengan Stevie menuju ke kelas.  

Terdengar tong sampah ditendang disertai teriakan brutal, "Cuk Pak Bes.  Cuk Pak Bes. Cuk Pak Bes."

Aku kaget setengah mati.  Seorang remaja tanggung berkulit terang dengan wajah penuh jerawat keluar dari ruang guru dengan langkah terhuyung seperti orang mabok.  Demi Tuhan aku ingin menempelengnya.  Jemari kukepal rapat.  Saat remaja itu dekat dengan jangkauan, tiba-tiba dia menjatuhkan diri ke lantai keramik warna putih.  

"Ponsel Rendy ya.  Ponsel Rendy ya. Pak Bes ponsel Rendy ya. Pak Bes ponsel Rendy ya." Kaki kurus Rendy menendang-nendang tak tentu arah.  "Mami ponsel Rendy. Mami ponsel Rendy. Mami ponsel Rendy."  Beberapa murid laki-laki mendekat Rendy, mungkin mereka bermaksud menenangkan Rendy.  Namun remaja penyandang autis itu malah menjerit-jerit sambil memegang kuping.  Kusuruh mereka menyingkir dan tidak membikin suara ribut.  Mereka menurut. 

Aku jongkok sembari menatapnya waspada.  "Rendy diam." Kuletakkan telunjuk ke mulut. Rendy menatapku.  "Bu Arum ya. Bu Arum ya."

"Iya.  Ini Bu Arum."  Kontan Rendy diam.  Dia menatapku dengan mata bulat berbinar-binar.  Barangkali dia gembira bertemu denganku.

"Helm. Jaket ya."  Rendy menunjuk-nunjuk helm dan jaket yang kukenakan sambil berkata, “Lepas Bu. Lepas Bu.  Lepas Bu.”   Rupanya Rendy ingin aku melepas jaket dan helm.  Jaket dan helm segera kulepas lalu kuminta seorang murid perempuan yang kebetulan melintas di depan kami untuk meletakkan barang-barang itu di loker guru.

"Nah, Bu Arum sudah ndak pakai jaket dan helm.  Ayo masuk kelas sama Bu Arum."  Kutuntun Rendy ke kelas.   Sontak anak-anak yang terlihat sibuk menata bangku di kelas menatap tak suka.  Aku memberi isyarat agar mereka bersikap tenang. "Rendy duduk."  Dia menuruti perintahku.   

"Pak Bes nakal ya. Pak Bes nakal ya."  Rendy menempelkan kepalanya di bangku.   Dia nampak terluka.  Sontak mataku basah.  Kubelai rambutnya yang berminyak. 

"Jam dua belas, ponsel Rendy dikembalikan sama Pak Bes." Rendy menatapku.  Matanya berbinar.  Wajahnya berseri-seri.  Dia membuka tasnya, mengeluarkan buku Ensiklopedia Dinosaurus lalu asyik membaca buku itu.  Cepat sekali dia lupa dengan ponselnya. Aku terenyuh melihatnya.   Mataku terasa basah. 

"Bu Arum, Rendy itu sebetulnya kenapa?" tanya Stevie yang duduk di bangku dekat pintu kelas. 

"Iya Bu, kayak anak edan," celutuk anak laki-laki pendek berkulit gelap yang duduk di bangku paling belakang. 

Aku tersenyum,  seraya berkata, "Rendy itu penyandang autis."   

Rendy memandangku sambil mengerutkan kening.  Tak lama kemudian dia berucap, “Autis ya. Autis ya.  Autis ya.”  Kelas mendadak riuh oleh gelak tawa anak-anak.  Aku garuk-garuk kepala yang tidak gatal.  Bingung dan geli menghadapi situasi. 

🌿🌿🌿🌿

Surabaya, 26 Juli 2021

Karya ini dilindungi undang undang hak cipta nomor 28 tahun 2014.

WARUNG KOPI MBOK GINUK (Dua Puluh Jam) -terbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang