Introduction Character

59 3 14
                                    


Ketika mentari di ufuk timur masih enggan untuk menampakkan dirinya, tampak seorang pria berusia 42 tahun tengah duduk di atas sofa ruang keluarga sembari matanya terus fokus membaca koran berita yang berada ditangannya.

"Ini kopinya, Mas." Seorang perempuan yang tak lain adalah istrinya meletakkan secangkir kopi hitam pekat di atas meja, dengan segera ia mengambil cangkir tersebut dan menyesap isinya pelan- pelan.

"Terimakasih, Bidadariku, buatan tanganmu memang selalu nikmat," puji sang suami, Aditya, ia kini sudah meletakan kembali cangkirnya di atas meja.

"Mulai lagi deh, masih pagi juga." Andini sudah begitu terbiasa dengan tingkah bucin suaminya di pagi hari.

"Memangnya kalau pagi kenapa, hmm? Justru kita akan lebih leluasa, bukan?" Aditya menaik turunkan alisnya untuk menggoda istrinya, lalu ia menarik lengan Andini untuk duduk di sebelahnya.

"Mas, nanti Bi Ami lihat!" tegur Andini ketika suaminya itu terus mengecupi kedua punggung tangannya.

Aditya melirik sekilas Bi Ami yang sedang sibuk menyajikan sarapan di meja makan.

"Biarin, toh dia udah terbiasa lihat kita begini."

"Tanganku bau bawang, lho." Andini mencoba terus beralibi, memang benar tangannya itu bau bawang karena habis masak tadi.

"Nggak apa, justru aku bangga jika tangan istriku bau bawang, itu artinya dia rajin masak untuk suaminya." Aditya mengeluarkan jurus gombalan paginya dan entah sejak kapan ia sudah mendekatkan kepalanya ke wajah Andini, bersiap untuk mengecup bibir istrinya itu.

Refleks, seketika ia membatalkan keinginannya itu dan segera menarik kembali kepalanya, ketika samar- samar terdengar suara derap langkah sepatu yang menuruni tangga.

"Pagi, Pa! Pagi, Ma!" sapa sepasang remaja yang tengah menuruni anak tangga, ialah Ammar dan Amera, kini mereka sudah siap dengan seragam pramuka khas SMA yang dikenakannya.

"Pagi juga, Sayang," balas kedua orang tua mereka dengan senyum manisnya, padahal dalam batin mereka. 'Aiish, ganggu aja.'

Mereka lalu duduk di ruang makan mengelilingi aneka hidangan sarapan yang sudah Andini siapkan, dari mulai nasi goreng sampai tumis udang semua sudah tersaji di atas meja makan.

"Eyang kemana, Ma?" tanya Amera melihat ketidakberadaan neneknya di tempat itu, biasanya kalau jam segini neneknya itu akan menonton tausiyah pagi yang disiarkan melalui televisi.

"Sekarang hari jumat kan, eyang lagi ada acara senam pagi sama ibu- ibu komplek," jawab Andini seraya mengambilkan nasi ke piring milik suaminya.

"Sudah jam enam lebih, kenapa adik- adik kalian belum turun juga?" tanya Aditya setelah melirik jam tangannya.

"Bentar lagi juga turun," timpal Amera singkat dan benar saja, sedetik kemudian terlihat sepasang anak berseragam Pramuka SD yang berjalan tergesa menuruni anak tangga.

"Pagi semuanya," sapa keduanya, Farel dan Farah, jika dilihat wajah keduanya tampak seperti kembar tak identik, bukan tampak lagi, memang benar mereka sepasang anak kembar tak seiras.

"Pagi juga, Sayang."

Setelah mereka ikut bergabung di meja makan, tak lama tampak sepasang anak kecil yang mengenakan seragam TK tengah digendong oleh kedua babysitter mereka menuruni anak tangga.

Keduanya lalu duduk di samping orangtuanya dengan tangan yang masih sibuk mengucek- ngucek kedua matanya, sesekali mulut mereka menguap tanda masih mengantuk.

"Kevin sama Keyla masih mengantuk, hmm? Memang semalam kalian tidur jam berapa?" tanya Aditya lemah lembut, ia yakin kedua anak bungsunya itu pasti tidur melebihi jadwal yang telah ditetapkannya, sehingga terlihat masih mengantuk seperti itu.

From Hina to Jannah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang