⠀⠀⠀⠀"Sejak beberapa hari yang lalu aku melihatmu selalu menatap ke arah lautan ketika matahari akan terbenam."
⠀⠀⠀⠀Atensi sang putra mahkota kecil Aurora terdistraksi. Saat itu usianya masih 11 tahun. Di tengah usahanya untuk meredakan pergulatan batin dengan mengagumi perpaduan gradasi oranye sang horizon, seorang anak lelaki yang terlihat sebaya menghampirinya.
⠀⠀⠀⠀Anak itu adalah seorang rakyat jelata.
⠀⠀⠀⠀"Aku bosan membaca buku." Sang putra mahkota menyahut, suaranya yang lembut terdengar datar dan jenuh. Sorot matanya kembali terarah pada senja dan lautan.
⠀⠀⠀⠀"Kenapa? Bukannya membaca buku itu menyenangkan?" Sementara anak rakyat itu melompat untuk duduk di sisi batu marmer bibir air mancur tempat di mana patung sang Dewi Pelindung berdiri di bagian tengah. Kehadirannya yang tanpa izin membuat sang putra mahkota mendelik tajam. Tetapi anak kecil itu tidak memiliki waktu untuk melayangkan protes. Ia tidak dapat mendalih bahwa ia membutuhkan teman bicara selain tumpukan buku dan orang dalam istana.
⠀⠀⠀⠀"Memang menyenangkan, tapi ... tidak dengan buku mengenai tata krama dan sejenisnya."
⠀⠀⠀⠀Putra mahkota kecil itu kini menunduk. Tatapannya tertuju lemah ke arah sebuah buku yang tergeletak di sisinya; sama sekali belum terjamah lembar halamannya ketika ia melangkah keluar dari dalam perpustakaan istana dan terduduk di tengah taman istana.
⠀⠀⠀⠀Anak jelata yang duduk di sisinya menoleh ke arah anak lelaki sebaya dengannya yang berasal dari kasta berbeda. Ia sudah mengetahui dengan sangat jelas bahwa anak di sisinya itu adalah sang putra mahkota, yang kelak kemudiannya akan tumbuh besar untuk menjadi seorang pemimpin di negeri tempatnya lahir ini. Anak itu mengetahuinya dengan sangat jelas, hanya dengan sekedar memperhatikannya dari sela-sela dinding dedaunan.
⠀⠀⠀⠀"Ternyata benar, ya. Kau adalah sang pangeran!"
⠀⠀⠀⠀Lagi-lagi, anak itu dihadiahi delikan tajam. Tetapi sang putra mahkota tidak diberikan barang sedetik pun untuk melayangkan protes ketika anak rakyat di sisinya mulai angkat bicara lagi dengan kepala menengadah, "sayang sekali buku-buku di dalam perpustakaan kerajaanmu menjadi sia-sia karena tidak terbaca. Padahal di luar sana banyak sekali yang sangat ingin membaca buku, lho."
⠀⠀⠀⠀Sang putra mahkota termangu. Ia tahu betul mengenai lapisan kasta di negerinya dari cerita sang guru. Aurora, negeri yang dipimpin oleh kerajaannya ini adalah negeri yang damai dan makmur. Akan tetapi bukan berarti perbedaan kasta tidak terjadi di dalam lapisan masyarakatnya. Mereka, para rakyat kecil, hanya difokuskan dengan kegiatan produksi kebutuhan pokok, dan tidak memiliki akses untuk memasuki perpustakaan barang sejengkal pun.
⠀⠀⠀⠀Mungkin memang benar, kebijakan dari para perdana menteri mengenai hal itu merupakan suatu hal baik untuk meningkatkan kemakmuran. Di mana setiap wilayah memiliki bagian tanggung jawab produksinya sendiri. Toh, para rakyat kecil itu tidak ditinggalkan untuk semata-mata melakukan kerja rodi belaka. Mereka tetap mendapatkan upah yang selayaknya. Sementara para bangsawan berfokus dengan kedudukan hukum bersama para perdana menteri, dan kerajaan sebagai pemerintahan pusatnya.
⠀⠀⠀⠀Namun sang putra mahkota berpikir. Apabila pengetahuan adalah suatu bekal mentah yang sangat dibutuhkan, lantas mengapa rakyat kecil seolah dibuat buta ilmu bahkan huruf? Dan gurunya berkata, bahwa setiap lapisan memiliki jatah cakupan ilmunya tersendiri sesuai dengan apa yang harus mereka kerjakan dan hasilkan.
⠀⠀⠀⠀Bicara tentang politik dan kehidupan sosial itu sungguh membingungkan, ya.
⠀⠀⠀⠀"Aku bilang kalau membaca itu menyenangkan. Yang aku permasalahkan adalah buku mengenai tata krama yang saat ini harus aku baca secara terus menerus ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Déjà Vu [JoongHwa | Fantasy]
FanfictionKisah tentang redupnya binar kejora pada sepasang nayanika. Bimbang pembuai nestapa merundungi relung hati yang tinggal jadi onggokan lakuna. !!! WARNING !!! Buku ini mengambil latar FANTASI dengan spesifikasi KERAJAAN. Fokus ROMANSA. Terdapat perin...