Dua

6 1 0
                                    

Pernah merasakan sangat menyukai sesuatu? Pasti, kan! Namun ketika hal yang sangat disukai itu tak bisa diwujudkan, rasanya pasti sangat kecewa.

Seperti saat sore
ini. Saat di mana aku tengah duduk di tepian jendela sembari menunggu langit indah di atas sana menghadirkan semburat jingga, tapi sayangnya malah awan remang yang mulai menyelimuti.

Aku mendesis menahan kesal. Apalagi setelah beberapa saat sosok yang kutunggu tak kunjung terlihat. Ah, biasanya setiap sore Aksa akan ada di halaman rumahnya demi melihat senja.

Namun kali ini, entah dia ke mana? Apa karena pemuda itu menyadari bahwa hari akan turun hujan sehingga malas untuk keluar?

Hae ... padahal aku ingin sekali memandangnya.

Iya, mengintipnya dari balik jendela kamar ini secara diam-diam. Meski terkadang aku kerap berharap pemuda itu sejenak menoleh ke atas sini, lalu menatapku penuh arti. Namun, kenyataannya itu hanyalah khayalan semata.

Sejenak terlintas ide gila di kepalaku, membuat kemudian tanpa berpikir panjang untuk mengambil gawai di meja, lalu mengetik pesan untuk sebuah nomor telepon.

"Awannya memang mendung, tapi senja yang cantik itu masih menggantung, kok."

Aku meletakkan HP di meja samping jendela. Agak lama menatap layar hitam yang perlahan meredup itu. Berharap dia segera membalas, tapi malu juga kalau ia sampai peka bahwa aku yang mengirimnya pesan.

Ting!

Aku menahan napas tatkala suara dering notifikasi terdengar. Segera kuraih ponsel hitam polos tersebut dari meja dan membuka percakapan WhatsApp kami.

"Bentar lagi hujan, senja itu juga akan hilang."

Aku menghela napas. Jantung ingin melompat rasanya. Membaca balasannya membuatku sedikit tak menyangka. Senang karena tak diabaikan, tapi aku justru menyadari bahwa dia tahu ini aku.

"Tapi hujan juga cantik!" balasku kemudian. Berharap dia mau keluar dan menampakkan wajah manisnya yang bahkan bagiku lebih indah dari senja.

Namun sayangnya, hingga menit berlalu dan hujan mulai turun, ruang pesan itu tak lagi terisi oleh kata-kata baru. Dia menghilang. Mengabaikan tepatnya.

Aku menghela napas pasrah. Memilih melempar asal ponsel ke meja, kemudian menutup jendela rapat-rapat. Sempat sedikit membuka gorden demi mengintip ke seberang sana, siapa tahu Aksa tiba-tiba berdiri di terasnya. Namun, ternyata malah kekosongan yang ada.

Hingga akhirnya aku memilih keluar kamar dan menyapa hujan secara langsung di lantai bawah.

Next ...

AKSA (dekat, tapi terasa jauh)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang