2. Sejarah Dimulai Hari Ini

25 2 0
                                    

Tidak akan ada hari ini kalau tidak ada sejarah. Sejarah manusia dimulai sejak ribuan tahun lalu, bahkan jutaan tahun lalu. Bagi Aera, sejarah adalah sebuah labirin kehidupan yang memiliki jumlah pintu tak terhingga. Aera tidak pernah membayangkan seperti apa kehidupannya di masa lalu. Apa yang dilakukannya dan bagaimana nenek dari nenek moyangnya. Aera tidak sanggup memikirkannya.

Aera memang menyukai pelajaran sejarah dan cerira-cerita berlatar belakang sejarah. Ia sering membayangkan kehidupan tokoh-tokoh di dalam cerita yang dibacanya. Hampir tidak ada cerita yang keseluruhannya indah di dalamnya.

Di antara beberapa cerita yang dibacanya, Aera paling suka cerita tentang seorang anak perempuan bangsawan Rusia yang konon selamat dari pemberontakan. Dalam cerita, anak itu berhasil kabur dari para pemberontak dan hidup penuh penderitaan sebagai seorang pelarian. Meskipun berakhir bahagia, hampir seluruh perjalanan hidup anak itu tidak dapat dikatakan indah. Tidak ada sejarah yang lahir tanpa penderitaan. Demikian Aera menyimpulkan dalam sebuah kalimat yang ia kutip daari suatu tempat.

Sepanjang pembacaannya, Aera dapat membayangkan apa yang terjadi pada anak perempuan Rusia tersebut. Namun, untuk menempatkan dirinya sendiri ke dalam cerita itu, Aera tidak sanggup. Ia tidak sanggup jika harus menjalankan kehidupan seperti tokoh dalam cerita tersebut. Membayangkannya saja ia enggan.

Aera menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencoba menempatkan kembali posisinya ke dunianya yang nyata.

"Guru sejarah terlambat," kata Sun. Tidak biasanya. Pikir Aera sambil melihat ke arah meja guru.

"Tidak biasanya, ya," Sun mengulang apa yang dipikirkan Aera dan itu membuat Aera heran.

"Wah!"

"Kenapa?" Aera tidak menjawab dan sebagai gantinya ia hanya mengacungkan dua jempol kepada sahabatnya.

"Benar-benar aneh," respons Sun itu malah membuat Aera tertawa, tetapi Sun justru makin merasa aneh pada sahabantnya.

***

Aera membuka buku pelajaran sejarah. Ditelusurinya daftar isi, materi Revolusi Rusia. Membuka halaman yang dituju dan membacanya sekali lagi. Aera telah membacanya berkali-kali. Namun, seberapa banyak pun ia membaca buku pelajaran itu, ia tidak menemukan cerita tentang seorang putri Rusia yang selamat dari pemberontakan tersebut.

Aera memusatkan pikirannya pada satu titik. Mengembalikan kesadarannya pada kenyataan. Yang kamu baca adalah novel, Aera. Fiksi. Tidak semua hal di dalam fiksi adalah nyata. Sebagian besar adalah imajinasi. Demikianlah Aera meyakinkan dirinya.

Guru sejarah memasuki ruangan. Kelas sejarah dimulai. Namun, terlihat ada yang berbeda dari Pak Ken, guru sejarah Aera. Biasanya ketika memasuki ruangan, Pak Ken akan menyuruh murid-muridnya membuka buku pelajaran dan menjelaskan dengan singkat, jelas, dan padat sesuai dengan materi. Namun, kali ini Pak Ken memulai pelajaran dengan sebuah pertanyaan yang tidak terduga.

"Sudah berapa lama kalian belajar sejarah?"

Tidak ada satu pun siswa yang menjawab pertanyaan sesederhana itu. Sebagai gantinya, para siswa hanya saling pandang dengan teman di sebelahnya, di depannya, atau di belakangnya. Pun Aera yang mencoba mencerna pertanyaan gurunya itu melirik ke arah Sun. Sun yang menyadari kebingungan sahabatnya itu hanya mengangkat kedua tangan dan bahunya, memasang ekspresi ketidaktahuan yang sama.

"Apa pertanyaan saya sesulit itu? Baiklah, kalau begitu ...," sambil berjalan ke mejanya dan mengambil daftar siswa, Pak Ken memilih secara acak dengan telunjuknya. Seketika ada seamacam ketegangan yang sulit dijelaskan di dalam kelas.

"...nomor tiga, Aera." Pak Ken mengangkat kepala dari daftar absensi yang masih dipegangnya. Matanya yang bersembunyi di balik kacamata bulat itu mencari sosok nama yang disebutnya. Seisi kelas pun turut menoleh ke arah nama yang di maksud. Sementara itu, yang punya nama hanya bisa pasrah menatap sang guru. Jika dibayangkan, situasinya hampir seperti di pengadilan dan Aera adalah terdakwanya, Pak Ken adalah hakimnya. Semua siswa di kelas ini adalah jurinya.

"Ya, Aera. Silakan jawab pertanyaan saya. Oh, saya ulangi: sudah berapa lama kamu belajar sejarah?"

"Dari tingkat dasar sampai saat ini, kurang lebih sepuluh tahun, Pak," jawab Aera dengan tegas, namun sebenarnya ia menjawab sambil setengah berpikir.

"Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu, Pak?"

Tanya seseorang yang duduk di belakang. Pertanyaannya juga tiba-tiba, tetapi tidak semenegangkan pertanyaan Pak Ken. Pertanyaan dari sisawa tersebut seperti mewakili keresahan isi kepala setiap siswa. Seolah meminta pertanggungjawaban, semua siswa memusatkan pandangan ke Pak Ken dan menunggu jawabannya dengan penasaran.

"Tidak ada apa-apa. Tidak ada alasan khusus." Pak Ken menjawab dengan santai, tetapi di balik kesantaiannya itu ada sesuatu yang justru membuat para siswa waspada. Kemudian, dengan santai pula, Pak Ken melanjutkan bicaranya.

"Hari ini saya ingin kalian menutup semua buku pelajaran sejarah. Simpan di laci masing-masing. Siapkan buku catatan dan alat tulis: pulpen atau pensil. Dan perhatikan apa yang akan saya tulis di papan tulis."

Semua siswa menuruti apa yang diperintahkan Pak Ken. Pun Aera yang masih diliputi kebingungan melakukan hal yang sama. Aera menyiapkan buku catatan sejarahnya, pulpen, pensil, kertas label, dan penghapus. Sementara itu, Sun, seperti biasanya, meminjam sebuah pensil dari Aera.

"Pensilku hilang," sambil memasang wajah melas seakan tahu bahwa sahabatnya itu memasang wajah sedikit kesal. Meskipun demikian, Aera tetap berbaik hati meminjamkannya.

Pak Ken yang sudah bersiap menuliskan sesuatu di papan tulis memperhatikan siswa-siswanya. Memastikan bahwa mereka meyiapkan apa yang diperintahkannya. Setelah semua terlihat benar-benar siap, Pak Ken menulis sebuah kalimat pertanyaan.

Bagaimana kamu akan menuliskan sejarahmu?

Pak Ken memandang sekali lagi ke arah siswanya. Seolah paham kebingungan di wajah-wajah siswanya, ia menjelaskan.

"Tulis sebuah esai berdasarkan pertanyaan yang saya tulis di papan tulis. Tidak ada batasan penulisan. Di sini saya memberikan kalian kebebasan kepada kalian dalam menuliskan pandangan kalian mengenai sejarah diri kalian sendiri. Boleh menambahkan beberapa teori yang telah kita pelajari, tetapi ingat bahwa ini adalah tentang kalian. Bagaimana kalian akan mencatat atau menuliskan sejarah kalian sendiri."

Pak Ken melihat jam di tangannya. Memastikan sisa waktu pelajaran. Menimbang-nimbang beberapa hal sebelum akhirnya memutuskan suatu hal.

"Hari ini cukup tuliskan poin-poinnya saja. Selanjutnya, ini akan menjadi tugas mingguan dan minggu depan kalian harus sudah menyerahkan esai kalian."

***

Lima belas menit setelah Pak Ken memberikan tugas. Aera memandangi bukunya yang masih kosong. Selama lima belas menit, pikiran Aera bekerja dengan acak. Sesekali ia memandangi langit musim panas di luar jendela. Dari atas jendela, dapat terlihat taman dan halaman sekolah yang sedang dipenuhi bunga merah-kuning-hijau. Sebenarnya ia tidak tahu apa yang mesti ia tulis. Bagaimana ia akan menuliskan sejarahnya. Apa yang akan dilakukannya di masa depan. Ingin jadi apa ia di masa depan. Lalu, tiba-tiba ia memikirkan pertanyaan dari sahabatnya saat istirahat tadi: Aera kau akan jadi apa?

Aera kembali merasakan suatu sensasi aneh dalam dirinya. Ia merasa bahwa hari ini waktu berputar tidak sebagaimana mestinya. Ia memikirkan sekali lagi pertanyaan gurunya dan sahabatnya. Apa yang akan ia lakukan di masa depan. Seolah semuanya saling terhubung. Namun, soal apa dan bagaimana, Aera tidak melihat benang merahnya.

Canon kembali memperdengarkan nada malasnya. Pertanda pelajaran sejarah telah usai. Pak Ken mengingatkan sekali lagi tugasnya. Memberi salam dan meninggalakan ruangan. Aera masih memegang pulpennya, sementara teman-teman sekelasnya mulai sibuk merapikan buku pelajaran dan bersiap untuk kelas seni.

Di tengah keriuhan, samar-samar Aera mendengar suara desir angin musim panas. Ia memandang sekali lagi ke arah jendela. Melihat sekali lagi ke arah bunga-bunga.

Tiba-tiba sebuah suara memecah keheningan yang meliputinya. "Ayo, Aera, kita ke ruang seni," tegur sahabatnya. Aera kembali ke kesadarannya.

"Tunggu sebentar," Aera menjawab memberi pengertian pada sahabatnya.

Seolah sesuatu mimbisik di dalam dirinya, Aera menggerakkan tangannya dan menuliskan sebuah kalimat di bukunya.

Sejarahku dimulai hari ini. 

Aera dan Cerita-Cerita di Musim PanasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang