Fatwa Cinta
#Part 1
Temaram sinar bulan mengiringi langkah Kiai Husain dan Bu Nyai Zainab menuju rumah berarsitektur klasik. Bangunan itu memiliki taman yang dihiasi berbagai macam jenis bunga, juga lengkap dengan sebuah kolam ikan di sebelahnya. Sedikit ragu, Bu Nyai mencoba mengetuk pintu.
Setelah terbuka, muncullah putrinya. Dengan kondisi hati yang tak bisa dijelaskan dengan kata, Bu Nyai bertanya "Nduk, persiapane wes rampung?"
"Injih, Mi. Sekedap, monggo pinarak!’’ Sahut Ning Haura seraya menghapus sisa buliran halus yang sejak tadi tak mau berhenti menganak sungai.
Istri mana yang tak akan menangis berhari-hari, jika harus mengantar kepergian sang suami untuk menikah lagi. Itulah kondisi Ning Haura saat ini.
Adalah Gus abdu. Pria yang sudah mendampinginya mengarungi bahtera rumah tangga selama satu tahun lamanya, tiba-tiba berkata bahwa dia ingin menikah untuk yang ke dua kalinya. Tak tau dengan siapa, juga tak pernah bertemu sebelumnya. Dia hanya berkata; ingin menikah. Itu saja.
Setelah satu minggu berlalu dari permintaan itu, akhirnya Ning Haura memberikan restu. Tak ada syarat, juga tidak terjadi debat. Yang ada hanya rasa pilu menyayat. Membuat sebagian raganya berhenti berharap.
Berusaha tetap tegar di hadapan kedua orang tuanya, adalah satu-satunya cara, agar mereka tidak ikut merasakan duka yang dipendamnya.
"Nduk, ngapuroen Ummi karo Abah, yo! Mergo wes salah ndolekne awakmu jodoh." Abah membuka suara saat Ning Haura sudah duduk di depan kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca.
"Mboten, Bah. Ummi kalian Abah sampon leres. Mboten wonten seng salah. Estu, Insya Allah Ara kiat.” Berharap jawaban itu bisa meyakinkan orang tuanya. Meski hatinya bagai disayat sembilu, cukup hanya dia yang tahu.
"Aamiin…" sahut Kiai Husain dan Bu Byai Zainab kelu.
Tok...tok...tok…
Terdengar suara pintu diketuk Mbak Una, khadimah ndalem. Mengisyratkan mobil sudah siap berangkat, mengantarkan mereka ber-empat.
Berada di ruang sebelah, adalah Gus Abdu yang sedang mematut diri di depan cermin. Memandangi wajahnya sekali lagi. Masih tak percaya, benarkah dia akan menikah dengan Khalilah? Yakinkah dia akan menduakan Ning Haura? Wanita yang sangat dicintainya. Memiliki kedududkan begitu agung dan sangat dimulyakanya setelah kedua orang tuanya?
Bahkan, semua barang-barang hantaran, dialah yang menyiapkan. Termasuk baju yang sekarang dia kenakan. Ning Haura menatanya dengan begitu rapi dan sempurna, tanpa celah. Gus Abdu gamang. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Di luar kamar, dengan tangan gemetar, terdengar suara Ning Haura mengetuk pintu, “Mas, sedanten sampun siap. Njenengan tasek dangu?” tanyanya sedikit parau.
Gus Abdu masih termagu, tapi semua sudah menunggu. Akhinya dengan segenap rasa yang sulit dieja, dia berkata,"Sampun."
Sedikit ragu, Ning Haura mulai menarik gagang pintu. Di sana terlihat Gus Abdu dengan wajah sendu. Tapi tak mengurangi ketampaan yang sempurna seperti biasanya. Menggunakan peci hitam dan baju koko warna putih dengan sarung bermotif kotak-kotak warna emas. Terlihat sangat elegan dan tampan.
Saat kaki Ning Haura melangkah, bau shampoo dan parfum menguar bersama. Seketika ingatannya melayang sempurna. Karena di ruangan itulah kali pertama Ning Haura mendengar suara Gus Abdu seutuhnya. Melantunkan sholawat pada Baginda Nabi, tapi hanya Ning Haura yang menemani. Merasa miliknya sendiri. Tapi kini, dia harus berbagi.
Kenangan demi kenangan melintas bergantian. Gus Abdu yang awalnya kaku, akhinya menjadi luluh. Ning Haura yang tadinya manja, kini menjadi dewasa. Dan ruangan ini menjadi saksi pertumbuhan cinta keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatwa Cinta
RomanceRumah tangga Gus Abdu tak lagi bisa tenang sejak kehadiran sang mantan. Apakah dia akan bertahan atau malah ingin balikan? Lalu bagaimana nasib Ning Haura? Apakah dia akan menyerah mempertahankan rumah tangganya?