15 Maret 2020
'Brakkk' bunyi koper jatuh.
Enggan rasanya bangkit dari tempat tidur hanya untuk membenarkan posisi koper. Air mata tak terbendung mulai membasahi pipi. Mengapa begini? terdampar dikota yang jauh seperti diantah berantah dan sendirian.
"Sudahlah" helaku mencoba menerima keadaan.
"Setidaknya aku tidak akan kelaparan. Semoga kota ini ramah." Lagi-lagi gadis 18 tahun ini berusaha menghibur diri. Siapa lagi yang akan menguatkan diri untuk menatap masa depan kalau bukan diri sendiri ? untuk apa menangisi sesuatu yang tidak akan berubah? Ah, bukankah tak selamanya rasa sedih hinggap?
Tapi, tetap saja air mata justru membanjiri pipi ketika berusaha tegar, meski berusaha dibendung, aku tetaplah manusia biasa. Tak apalah kali ini menangis, esok-esok jangan.
"Ah, Seandainya papa masih hidup, mungkin tak begini." Dulu aku bak tuan putri di istana megah, apa yang kuinginkan maupun yang diinginkan kedua adikku dapat terpenuhi, liburan kesana kemari, beli barang-barang branded, ingin makan apa saja dan dimana saja tak jadi masalah. Permasalahan hidup hanyalah berkutat soal sekolah dan percintaan remaja. Mungkin jika papa masih ada, aku tidak akan disini sekarang. Pastilah aku sedang melanjutkan studi di School of The Art Institute atau setidaknya di kampus ternama lain."
"Papa, Lara rindu, sungguh sangat rindu" kali ini aku benar-benar menangis se jadi-jadinya.
****
15 September 2020
"Ya Tuhan, mulus kan jalanku."
Jarum Jam menunjukkan pukul 23.55 WIB. Harap-harap cemas rasanya menunggu pengumuman penerimaan pegawai. Entah mengapa rasanya sang waktu sedikit berlambat. Tak ada rasa kantuk sama sekali. Mata ini seolah tahu untuk terjaga meski badan remuk seharian mengais rejeki.
Teng, Pukul 00.00 WIB, bergegas ku buka website pengumuman penerimaan pegawai sebuah perusahaan swasta ternama.
"Terimakasih Tuhan" ucapku penuh tangis.
Hati ini rasanya campur aduk, penuh haru dan syukur bahagia melihat namaku terpampang. Ingin rasanya ku berlari ke kamar mama, memeluknya erat dan berterimakasih selalu mendoakanku siang dan malam, namun ku urungkan niatku, mengingat mama belum lama tidur terlelap.
Sungguh sangat melegakan. Semenjak dua tahun kepergian papa, hidupku berubah drastis. Setidaknya kini, aku tak lagi luntang lantung mencari pekerjaan kesana kemari, memikirkan cara mencari uang untuk makan sehari hari dan biaya sekolah kedua adikku. Semenjak papa tiada, akulah tulang punggung keluarga. Tak sampai hati melihat mama dimasa tuanya membanting tulang sendirian memenuhi kebutuhan kami. Setelah papa tiada, sudah kuputuskan akan mencari kerja setamat SMA sehingga setidaknya akan mengurangi sedikit beban dipundak mama. Yah walaupun aku tahu dihati kecilnya, mama sangat ingin jika aku melanjutkan pendidikanku.
Bukan hal yang mudah untuk mendapatkan pekerjaan, apalagi dengan latar belakang pendidikanku yang hanya tamatan SMA. Jujur saja, nyaris pesimis. Untuk sampai ketahap ini saja melewati beberapa tahap dan waktu berbulan bulan. Melihat kerut diwajahnya, mendengarnya diam-diam menyebut namaku setiap malam dalam doanya membuatku tak sampai hati untuk berkeluh kesah padanya.
Bersyukur sekali aku diterima di perusahaan ini. Kudengar perusahaan ini termasuk salah satu perusahaan yang memberikan kesejahteraan terbaik dari segi gaji dan kesehatan untuk para pegawainya termasuk yang tamatan SMA. Kali ini, aku bisa tetap mewujudkan keinginan mama untuk kembali melanjutkan pendidikan sembari bekerja.
****
drrttt rrtt rrt drttt rttt. Suara getar hp berbunyi
"Sudah makan?" bunyi pesan tanpa nama yang ternyata pesan dari spvku, Pak Alvont. Jika dilihat dari facenya, mungkin usianya sekitar 25 tahunan. Orang pertama yang aku kenal setibanya aku dikota ini, ya kota yang sangat jauh hingga harus menempuh perjalanan darat sekitar 8 jam dari Ibu kota Provinsi.
"Belum Pak"
"Ok. Saya jemput 20 menit lagi dikos."
"Baik Pak" balasku.
"Ah tak apalah, lagian aku belum tahu jalanan dikota ini, toh dia juga yang membantuku mencari kost-kostan" batinku meyakinkan diri.
"Agak lama ya? maaf tadi saya ada urusan sebentar" tanya Pak Alvont mencoba mengawali pembicaraan sekaligus memecah keheningan dimobil.
"Engga Pak"
"Asli mana?" tanyanya lagi.
"Saya asli Jogja"
"Mau makan apa?"
"Terserah bapak" jawabku kikuk. Sebetulnya agak sungkan untuk pergi dengan orang asing, meskipun orang tersebut adalah atasanku apalagi baru mengenalnya.
"Memang ya wanita semua sama, kalau ditanya pasti jawabannya terserah" ledek Pak Alvont tersenyum ringan.
"Maaf Pak, saya belum tahu daerah sini" jawabku sedikit bersalah
"Duh merasa tua saya dipanggil bapak. Face saya kaya bapak-bapak? Kamu takut sama saya ya? saya loh enggak gigit orang, atau karena saya atasan kamu jadinya kaku begitu? Santai ajalah, kita sama-sama manusia."
Deg, perkataan Pak Alvont sepertinya mengisyaratkan kalau dia tahu aku merasa canggung dengannya.
"Ah engga Pak" bohongku.
"Duh Lana masih manggil Pak lagi, bingung masak panggil mas, kayak sok akrab dan lama kenal gitu, ah sudahlah" batinku.
Tak terasa waktu menunjukkan pukul 22.00 WITA, Pak Alvont mengantarku pulang. Sejauh ini orangnya terkesan menyenangkan dan ramah. Dia tahu aku masih canggung dengannya.
YOU ARE READING
Hilir
Teen FictionSebut saja ia Lara, seorang gadis dengan dinamika kehidupannya. Terkadang dunianya tak seindah harapan, tak jarang sayapnya terasa patah namun tak berarti Ia menyerah. Kawan dan Lawan seringkali takada bedanya. Jatuh cinta, terluka bukan berarti der...