Untitled Part 1

1 0 0
                                    

Ternyata aku salah mengira,
Kehilanganmu membuat rongga besar menganga dalam diriku,
Tak bisa kututupi,
Semakin lama semakin besar dan terisi udara dingin,
Menindih dada,
Tiap tarikan nafas menjadi berat dan makin berat,
Hidup menjadi colase hitam putih nan pucat,
Berat menghimpit dan suram,
Di mana kamu? Jiwaku melayang mencari,
Cukup aku tak bisa lagi...(dan kubuka mata)
Kamu tertidur disampingku senyum,
Lalu tempias hujan membuatku terjaga; sepi.


07.15. Damn...terlambat lagi.

Knop gas di kendaraan roda dua itu aku putar sekuat-kuatnya. Dan motorku melesat kencang; setidaknya itu yang terpikir olehku. Namun kenyataannya; 100cc tetaplah 100cc. Ibu-ibu dengan matic terbaru mengasapiku dengan santainya. 

07.20. Gerbang sekolah itu akhirnya terlihat juga. Pagar telah tertutup. Ya, tentu saja. Ini 20 menit sejak bel masuk berbunyi; apa yang aku harap? Aku berhenti dan mencoba membuka pagar. Semoga tidak dikunci.

Satpam muda itu tergopoh menuju pagar, "Biar saya buka, pak" ujarnya.

Aku tersenyum saja. Antara malu terlambat dan  berbasa-basi. "Makasi, Ciko." "Siap, pak."

Aku kembali ke motor dan melaju dengan muka tembok. Toh, sudah biasa juga ini terlambat datang. Biar sajalah, apalagi Ciko bukan muridku lagi; sekarang dia telah menjadi rekan kerja. Jadi masa bodohlah kalau dia ngeh bekas gurunya ini tidak disiplin-disiplin amat.

Meskipun telat datang ke kantor, aku tidak telat masuk kelas untuk mengajar. Itu adalah kunci. Sebuah pembelaan bahwa absensi kehadiranku kebanyakan di garis merah; namun absensi dalam mengajar aku cukup baik. 

Apalagi, masuk sekolah jam 7 pagi itu adalah bentuk penyiksaan yang mutlak! Siapa sih yang pertama punya pikiran masuk sekolah itu mesti pagi-pagi sekali. Tadi subuh saja pukul 5.45. Jadi aku cuma punya waktu 1 jam 15 menit dari ba'da subuh ke bel masuk berbunyi; ga sempat bersantai sejenak dibuatnya.

Eh, ini apa karena aku saja yang memang dasarnya pemalas ya? lah, teman kerjaku yang lain santai badai dengan jadwal seperti itu; dan bisa tepat waktu terus. Bahkan yang rumahnya lebih jauh, tetap tabah dan bisa ketawa-ketawa tiap hari datang pagi.

Ah, pokoknya masuk pukul 7 pagi itu penyiksaan! Dengan jadwal seperti itu, aku harus memilih terlambat namun bisa melihat Alisa bangun dan menggendongnya untuk bersama-sama menghirup udara pagi; atau datang tepat waktu tetapi pergi tanpa bisa menyapa dan mencium Alisa.


5 menit menjelang tugas mengajarku, Adelia masuk ke ruanganku. "Pak wakil, ada wartawan datang mencari kepala sekolah," lapornya.

"Kepala sekolah sedang rapat di dinas,"
"Tapi dia mau bertemu,"
"Ya, suruh tunggu saja. Memangnya mau apa?"
"Dia mau wawancara tentang kasus pengadaan buku-buku perpustakaan."
"Owh...ya ga masalah."
"Kalau bapak saja yang menemuinya, gimana?"
"Lah, dia mau ketemu kepala. Ya sudah, suruh tunggu saja. Saya juga mau masuk kelas."

Aku masuk lokal dan mengajar para siswa. Kedatangan wartawan tersebut dan keinginannya mengorek kasus pengadaan buku itu tak jadi perhatianku. Meski sejatinya itu di bawah koordinasiku sebagai wakil kepala, namun aku tidak mengetahui detail permasalahannya. Kepala dan bendahara sekolah telah men-handle masalah itu secara penuh tanpa melibatkan wakilnya atau kepala pustaka. 

Namun, itu buyar ketika Adelia mengetuk pintu lokal tempatku mengajar.

"Permisi, pak."
"Ya. Kenapa, De"
"Itu wartawannya marah-marah, pak."
"Lah, kok jadi marah-marah?"
"Iya. Dia bilang sekolah tidak kooperatif dalam transparansi informasi publik."
"Tunggu, itu wartawan dari media mana, sih?"
"Kalau tidak salah, pak Ed bilang dari koran Gema Investigasi gitu,"
"Koran apaan itu? trus, apa maunya si wartawan?"
"Ya mau ketemu kepala sekolah, pak."
"Ya ampun. Kan sudah dibilang, kepsek lagi rapat di dinas. Pergi cari ke dinas, jangan ke sini,"
"Pak Ed minta bapak menemui wartawan itu,"
"Wakil yang lain gimana?"
"Bu Dila dan bu Lita lagi keluar. Mereka mengurus persiapan workshop besok."

Kelas itu pun aku tinggal. Dapat kulihat senyum merekah di wajah anak-anak itu. Ya iya lah, senang karena gurunya yang membosankan ini akhirnya meninggalkan kelas. Aargh...kenapa ya aku tidak bisa jadi guru kaya si Onizuka. Keren, santai, dan disukai murid-murid. 

Dengan si wartawan, aku menghabiskan waktu mengajarku. Meladeni orang ini bersilat lidah. "Kalau seperti ini, saya akan tulis kepala sekolah tidak berada di tempat saat jam kerja, pak." "Lah, memangnya rapat di dinas itu kongkow-kongkow sambil main domino?"

Setelah berbasi-basi sekian lama, ujung-ujungnya si wartawan minta uang transpor. Bangsat!
"Maaf ya pak. Di kami tidak ada anggaran untuk transpor wartawan."
"Di sekolah lain ada, masa di sini tidak ada?"
"Pak Ed, ada anggaran untuk transpor wartawan?
"Tidak ada, pak."

Setelah mengucapkan intimidasi halus tentang bagaimana dia bisa menulis di korannya, si wartawan pergi dengan wajah masam. Tak dapat yang dia inginkan dari aku. Walau sebenarnya tadi aku dapat bisikan dari Adelia kalau kepsek pesan supaya si wartawan di kasih uang transport. "Udah, bilang saja wartawannya terlanjur pergi," ucapku ke Adelia. Wartawan kayak itu bikin jelek dunia jurnalisme saja.

"Nanti kalau dia jelek-jelekin sekolah kita, gimana pak?" tanya Adelia
"Iya, pak. Kayaknya orang itu kesal banget," timpal Widya
"Tadi juga dia sempat tanya nama dan jabatan bapak,"
"Biar saja. Emang berapa sih oplah korannya? Kalian apa pernah baca korannya?"


Pak Ed menemuiku di ruang wakil. Dia akhirnya meminta tolong aku untuk ikut campur dalam kasus pengadaan buku perpustakaan itu. Dia pun bercerita seluk beluk kasusnya; dari awal pengadaan yang ada beberapa kealpaan dalam dokumennya, hingga kesalahan pelaporan. Aku pun mencecar pak Ed tentang penyelewengan keuangan. Dan secara tegas dia bilang kalau tidak ada sepeser pun uang buku itu masuk ke kantongnya atau kepala sekolah. 

Saat itu, aku pun tidak langsung menyatakan mau terlibat mengurus masalah itu. Aku bilang aku akan bicara dulu dengan kepala sekolah.


"Kamu kenapa tidak pulang makan siang? Aku capek-capek masak, tapi kamu tidak makan! Kamu memang tidak pernah menghargaiku," isi pesan WA Gina itu merusak mood siangku. 


JELAGAWhere stories live. Discover now