Untitled Part 2

1 0 0
                                    


"Haaaaah..."

Hembusan nafas sengal itu tetap tidak membuat sesak nafasnya hilang. Oksigen tak bisa dipompanya  untuk masuk ke paru-paru secara teratur. Hanya bisa pendek-pendek. Keringat membanjiri semua jengkal tubuhnya. Matahari pukul 9 pagi menyengat; serap ultraviolet sehat ini, perintah otaknya pada kulit.

Sepeda gunung full suspensi berwarna merah marun itu kembali didorongnya. Ini gue bukan sedang mountain bike tapi lebih pada tuntun bike, celoteh otaknya. Tapi biarlah, pokoknya harus sampai di puncak bukit ini!

Bajunya sudah lepek basah keringat. Bunyi free hub roda sepeda memecah kesunyian semak belukar. Jalan setapak itu makin menanjak. Di balik tanjakan pasti ada turunan, semangat hati pada kakinya yang berkali-kali terseok. 

Jarak singkat yang lama akhirnya sampai di puncak.

"Haaaaaah...."

Kembali dia hembuskan semua sisa oksigen yang ada. Lalu kembali dia tersengal menangkap oksigen di bawah pepohonan rindang itu. 

Selalu takjub dia melihat pemandangan dari puncak bukit ini. Kotanya yang sedang mengalami pergulatan dunia terhampar dihadapannya. Gedung-gedung tinggu satu persatu tumbuh. Amat berbeda dari tahun-tahun dia kecil dulu. Ada magnet yang selalu menariknya pada kota ini; dan perasaan takjub itu. Sudah banyak kota yang dikunjunginya; bahkan kota-kota yang dipuji dunia akan kecagihan, keindahan, atau kemegahannya.

Namun pada kota ini hatinya terikat. Mungkin karena ini adalah tempat dia lahir, rumah tempat dia tumbuh. Dan sejauh apa pun kakinya melangkah, kerinduan akan bau udara kota itu membuat langkah kakinya selalu ingin pulang. 


Setelah mengahabiskan setengah botol air minumnya, dia mulai mengambil ancang-ancang. Saatnya ber-mtb-an. 

Dengan sepeda merah marunnya, dia meluncur. Kini jalur sepedanya adalah turunan. Dan dia merasakan kecantikannya bertambah dengan merasakan udara berdesir saat mengontrol sepeda melahap semua jalan curam. Beberapa belokan tajam dilaluinya tanpa mengurangi kecepatan. Adrenalinnya meletup-letup. Jantungnya berdenyut kencang. 

Rute sepeda yang lurus berubah menjadi roler coster, jantungnya semakin berdegup. Dipereratnya pegangan pada handle. Lalu dengan yakin, dia menambah kecepatan dan memasuki roler coster dengan tangkas. Dikejauhan, dilihatnya beberapa pesepeda yang tengah berhenti di kiri-kanan jalur. Dan beberapa meter dari mereka, ada signal drop off. 

Meski masih berjarak beberapa meter, dia bisa merasakan orang-orang itu menatapnya. 

Ayo, memer sayang. Kita lalui drop off itu!

"Drop off...hati-hati!"  Masih bisa didengarnya peringatan tersebut. Namun, dia tidak menjawab. Fokusnya ditujukan pada momen beberapa detik lagi. Semua panca indranya difokuskan pada jalur sepeda yang membawanya pada turunan terjal. Satu-satunya cara agar dia bisa melalui itu adalah dia dan sepedanya melompati turunan itu menuju jalan setapak berikutnya.

Genggaman pada handle sepeda semakin dipereratnya. Kakinya berhenti mengayuh dan bersiap untuk mengangkat tubuhnya. Semua tubuhnya sudah teraliri adrenalin. Semuanya sudah dipersiapkan untuk hal terburuk; rasa sakit!

Dalam sekejap dia dan sepeda merah marunnya melayang di udara bersama dengan deguban jantungnya.


"Haaaaah..."

Kembali dihebuskannya nafas panjangnya. Kini bukan sengal yang dia dapatkan, tetapi ada perasaan lega. Jantungnya masih menggedor dadanya dengan kencang. Kaki dan tangannya masih merasakan getaran sisa adrenalin. Dia telah menyelesaikan secara sempurna singeltrack itu dengan puas. 

"Waah ternyata cewek!"

Dia menoleh ke belakang. Ada pesepeda yang baru keluar dari track. 

"Iya, gue cewek. Ada masalah!" 

"Oh maaf, bu. Saya tidak menyangka saja. Tadi ibu keren sekali di drop off, karena pakai helm fullface saya pikir cowok"

Dia cuma melengos dan menuju check point yang berupa sebuah kedai. Dan rombongan pesepeda yang dilewatinya tadi pun datang. Dan dia pun mau tidak mau masuk dalam basa-basi percakapan sesama mountainbikers.


Di tengah menikmati mie rebus dan teh manis, serta obrolan bersama teman-teman barunya, telpon genggamnya berdering. Supervisornya di kantor menelpon. Kenapa hari libur seperti ini masih menelpon?

"Ya, pak."
"Kamu di mana?"
"Saya sedang di areal bike park, pak."
"Saya baru mendapat informasi kasus. Biro kita harus memberikan penilaian awal."
"Kok terburu-buru, pak?"
"Saya juga kurang mengerti. Sepertinya ada kaitan dengan kebijakan sehingga atasan harus sudah bisa mengambil keputusan paling lambat siang besok."
"Jadi saya sudah menghubungi Beni, Aulia, dan Selli agar mereka ke kantor. Saya minta kamu menjadi ketua tim auditornya."
"Saya bisa minta tambah satu orang lagi?
"Siapa?"
"Deka, pak."
"Ok. Saya akan hubungi dia untuk bergabung. Sekarang segera ke kantor!"

Damn!


JELAGAWhere stories live. Discover now