Malam itu, gemerlap bintang bersinar dengan terangnya diantara hitamnya malam. Angin malam bersiur pelan ikut menerbangkan rambutmu yang berwarna seperti langit malam ini, hitam legam. Netra mu yang selalu bersinar memandang segala hal yang ada di dunia ini, terlihat layaknya bintang malam ini, bersinar terang.
"Kamu suka malam, Jendra?" Aku bertanya kepadanya. Ia menoleh dengan netranya yang melengkung sempurna mengikuti senyuman yang muncul, yaitu senyuman favoritku di bumi ini.
"Suka." Ia menjawab lantas kembali terdiam lalu mendongak perlahan melihat ke arah langit.
Aku mengangguk mengiyakan. Hening sejenak.
"Bagian apa yang kamu suka dari malam?" Tanyaku kembali sembari menoleh memandang wajah Jendra dari samping.
Selama beberapa saat, Jendra tidak menjawab pertanyaanku pun tidak menoleh ke arahku. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Aku tidak tahu apakah pertanyaanku sesusah itu untuk Jendra jawab. Hampir lima menit kami hanya mendengar suara ramainya orang-orang sekitar, suara kendaraan yang berlalu lalang serta suara nyanyian pemusik jalanan yang ada.
"Kamu tau kalau langit malam menyimpan banyak misteri?" tiba-tiba Jendra menoleh ke arahku yang sedang menatapnya. Netranya yang berwarna hitam menyorotku dengan pandangan yang aku tidak bisa jelaskan pun aku tidak paham dan mengerti.
Aku terdiam. Pikiranku mendadak membisu dan hanya bisa mengangguk menjawab pertanyaan Jendra.
Tangannya terangkat ke atas menunjuk langit malam yang luasnya tanpa batas. "Kamu lihat kan? Langit malam itu gelap. Gelap sekali. Kamu nggak akan tau apa yang akan ada disana. Apa yang bakal terjadi di sana. Langit malam punya rahasia dan punya misteri yang setiap manusia nggak akan bisa mengerti." Setelah itu telunjuknya tiba-tiba mengarah ke satu bintang paling terang di antara gelapnya malam. "Tapi coba lihat. Ada satu bintang. Dia sendiri tetapi bersinar terang sekali. Itu harapan manusia, Bia. Itu harapan mereka saat mereka memanjatkan doa di tengah malam kepada Sang Penguasa."
Aku mengangguk mencoba meresapi suara dan makna di setiap ucapan Jendra. Tatapanku beralih ke arah Jendra yang sedang menatap langit. Tangannya turun dan segera menggenggam tanganku. Jantungku berdetak sangat kencang ketika tangan Jendra mengisi setiap kekosongan yang ada di tanganku. Aku menunduk mencoba meredam detakan yang semakin keras serta semburat merah yang ada di kedua pipi. Saat itu juga, suara kekehan Jendra terdengar di kedua telingaku.
"Kamu ketawa?" Tanyaku dengan sedikit kesal.
Ia menggelengkan kepalanya pelan dan menatapku, "Enggak apa-apa kan aku ketawa? kamu lucu, sih."
Menghela nafas kesal kemudian aku menyenderkan kepala di bahu lebar nan kokoh milik Jendra. Percakapan yang lalu terhenti begitu saja. Kami menikmati masa-masa dimana hanya ada aku dan Jendra di bawah langit malam dengan angin yang bersiur pelan. Di saat seperti inilah aku merasakan kedamaian yang sebenarnya. Berdua bersebelahan dengan Jendra, mungkin hanya itu yang aku butuhkan. Kehadiran Jendra punya andil besar di dalam lima tahunku. Bersama Jendra itulah yang aku mau.
Anak bumi ini berbeda dengan anak bumi lainnya. Jendra berbeda. Pemikirannya terlalu susah untuk ditebak dan dijelaskan. Dia melihat sisi dunia dari berbagai sudut. Tidak hanya satu, tetapi banyak. That's one of the reason why i'm falling in love with Rajendra Al Barra. Dia memilik sesuatu yang tidak dimiliki anak bumi manapun di dunia. Dia dan segala pemikirannya. He's one of a kind, if i could said.
Aku menegakkan kepala sebentar lalu meletakkan dagu di bahu Jendra sembari melihat pahatan wajahnya yang rupawan dari dekat. Netraku menelusuri wajahnya, mulai dari mata Jendra yang selalu melengkung dengan sempurna bak bulan sabit saat ia tersenyum dan tertawa, hidungnya yang bangir serta tajam di ujungnya, rahang yang sempurna untuk ukuran laki-laki yang menginjak umur duapuluhan, dan segala yang ada di diri Jendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
katanya, dia suka malam
Fanfictiontentang jendra dan kesukaannya; langit malam.