[Bab 11] Quality Time

25 11 0
                                    

Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
[*****]

“Yumi,” panggil Sergio lembut, mendekatkan wajahnya pada wajah sang adik. Tak ada pergerakan sama sekali dari lawan bicaranya. Ayumi masih saja memejamkan matanya dengan tenang. Masih berada di alam mimpi yang sangat indah.

Sergio mencium pipi kanan Ayumi pelan. Melihat reaksi yang akan terjadi selanjutnya.

“Yumi,” panggilnya lagi.

Kembali dicium pipi kanan adiknya. Masih tak ada tanda-tanda Ayumi akan bangun.

“Yumi. Bangun, sayang!” serunya lembut. Diciumnya pipi kiri Ayumi. Lalu pipi kanannya. Sergio menyingkirkan rambut yang menutupi kening Ayumi, lalu menciumnya dengan perlahan.

“Emm … mmm,” gumam Ayumi tak jelas. Dia menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Akhirnya Ayumi menunjukkan tanda-tanda kesadarannya.

Biasanya, ibu selalu memarahi Sergio jika dia mengganggu adiknya seperti ini. Karena Ayumi pasti akan rewel jika tidurnya sudah diganggu. Sekarang baru pukul tiga pagi. Hari Minggu, dan sekolah libur.

Sergio berusaha menarik selimut Ayumi. Namun si adik terlalu kuat menahan selimut itu untuk berada di atas kepalanya. “Yuumm.” Sergio meninggalkan kasurnya, lalu naik ke atas kasur Ayumi.

Sudah dua malam ini Sergio tidur di kamar Ayumi. Si adik takut jika tidur sendirian. Apalagi setelah mengalami mimpi buruk di malam sebelumnya. Sergio tidur di kasur yang bawah, sedangkan Ayumi menempati kasur yang atas.

Tadinya, Ayumi ingin tidur di kasur yang sama dengan kakaknya. Tapi Sergio menolak, karena bagaimana pun sekarang Ayumi sudah bukan anak kecil lagi. Begitu juga Sergio yang sudah lebih dewasa. Dia takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan jika tidur di satu kasur yang sama.

Sergio menarik selimut Ayumi hingga terlepas. Begitu mudahnya tanpa perlawanan. Ternyata Ayumi sudah kembali ke alam bawah sadarnya. Sergio menciumi seluruh wajah Ayumi hingga dia terganggu. Lalu perlahan sadar kembali. “Ahh, Kakkk … jangan gangguuu!!” ujarnya nyaris tak jelas.

Ayumi berusaha tidur kembali, menjauhkan wajah sang kakak dari dekat wajahnya. Karena nyatanya mata Ayumi masih saja ingin terlelap. Sungguh, kantuknya ingin membawa dia kembali ke mimpi yang belum usai.

“Kaaakk!” rengek Ayumi ketika Sergio kembali menyerang wajahnya dengan ciuman-ciuman penuh kasih sayang. “Atuhlah, Kaaakkk … aku ngantuk banget!” ucapannya semakin pelan seiring dengan matanya yang kembali menutup.

“Bangun! Kamu teh, susah banget dibangunin!” Sergio terus saja memberikan ciuman-ciuman sayangnya sampai adiknya bangun kembali.

“Iya, iya. Aku udah bangun, inih!” Ayumi membuka matanya perlahan-lahan. Melihat wajah kakaknya berada di atas wajahnya membuat Ayumi menutup kembali matanya.

“Bangun! Ituh … jangan tidur lagi!”

Ayumi mendorong wajah kakaknya agar sedikit menjauh. Membuka matanya. Lalu mendorong tubuh kakaknya ke kanan, hingga dia terguling-guling ke kasur yang ada di bawah. Dan akhirnya terbentur ke lantai karena tak dapat menahan keseimbangannya.

“Eh! Kak … kak!” Ayumi kaget, menyingkirnya selimutnya, lalu turun dari kasur.

“Kak, gak apa-apa?”

“Sakit tauu!” Sergio bangkit perlahan, menumpukan tangannya pada kasur. Melihat Ayumi yang sudah berdiri di hadapannya. “Kayaknya patah, nih,” ujarnya sembari mengusap-usap punggung bagian bawahnya yang sakit.

“Lebay!” kilah Ayumi tak percaya.

“Ihh, bener siahh. Nihh … sebelah sini, nih!” Sergio membalikkan tubuhnya, menunjukkan pada Ayumi. “Kayaknya memar, deh.”

“Mana? Iya gituh?” tanya Ayumi percaya tak percaya. Mengangkat baju bagian belakang kakaknya. “Enggak ada, ah! Ngabohong!” kesal Ayumi menutup kembali baju Sergio.

Sedangkan Sergio langsung tertawa-tawa puas. Berhasil mengerjai adiknya dengan sangat mudah. Tidak mungkinlah Sergio bisa terluka hanya karena terguling seperti itu. Walaupun benar, kagetnya Sergio sampai terpental karena dorongan lembek Ayumi. Punggungnya memang sakit, tapi tak separah itu sampai menimbulkan memar, apalagi patah tulang.

“Ih, naon sih?! Teu lucu, ah!” Ayumi beranjak keluar dari kamar. Tapi langkahnya terhenti saat melihat jam yang tergantung di dinding. “Kakaaakk! Baru jam tigaa?!” kesal Ayumi, menekankan kata terakhir di kalimatya.

Sergio mendorong kasurnya memasuki kolong tempat tidur Ayumi. Melihat jam dinding, lalu melihat Ayumi yang sedang menatap kesal padanya. “Itu jam tiga lebih lima belas menit, Yumii. Kamu gak bisa baca jam?”

“Tetep aja, jam tiga. Belum jam empat. Belum azan jugaaa! Kenapa kakak ngebangunin akuuu?!”

Lalu terdengar suara azan berkumandang. Suaranya begitu nyaring, karena masjid memang berada tak jauh dari kediaman Bapak Kartawijaya.

Sergio menunjukkan wajah tak bersalahnya. Sambil meneruskan kekehannya dia mendorong Ayumi untuk keluar dari kamar. “Udah, jangan banyak omong. Ayo, mandi, yuk!”

[*****]

Sergio memang sudah tak waras. Bisa-bisanya dia mengunci Ayumi di kamar mandi. Tanpa memberikan sehelai handuk pun. Sedangkan dia berdiri di depan pintu, menunggu Ayumi selesai membersihkan tubuhnya.

Dengan terpaksa Ayumi mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Tanpa meninggalkan tetes air di kepalanya. Berwudu. Lalu pergi ke masjid setelah kakaknya mandi juga. Tertatih-tatih pulang dari masjid sambil menahan hawa dingin yang sangat menusuk.

Ayumi bergidig. Ketika dirinya kembali membayangkan saat-saat air dingin tadi mengenai kulitnya. Sungguh, dingin. Dia bahkan merasakan gemetaran sekarang. Lalu … Hatchu! Bersin lagi-lagi tak dapat ditahannya.

“Dingiiinn!” Ayumi kembali mengeratkan jaket milik Sergio yang melekat di tubuhnya. “Kenapa sih, kakak maksa-maksa aku buat—“ Hatchu! Ayumi kembali bersin hingga tak dapat menyelesaikan perkataannya.

Saat ini Ayumi sedang duduk bersila di kursi ruang makan. Menunggu Sergio yang sedang menggoreng makanan. Hanya tahu, tempe dan telur. Tanpa sambal kesukaan Ayumi. Sergio merasa, tak akan sempat jika harus memasak yang berat-berat, jadi dia memasak yang mudah dan cepat saja. Saat ini pasti Ayumi sudah kelaparan. Sergio takut maaghnya kambuh lagi. Dia harus cepat-cepat mengisi perut adiknya.

“Ihh, kok kamu bersin-bersin gitu sih?” Sergio meninggalkan tempe yang digorengnya. Lalu mendekati Ayumi. “Enggak panas, ah. Masa iya, gara-gara mandi air dingin kamu jadi demam.” Sergio menyentuh kening Ayumi dengan lelapak tangannya.

“Makanya, kan kata aku juga—“ HATCHIM! Lagi-lagi bersin mengganggu perkataannya. “Ituuh … kaak, itu gosong tempenya!” teriak Ayumi panik.

“Eh, iya … lupa!” Sergio langsung berlari ke dekat kompor, mengangkat tempe yang ternyata memang gosong di salah satu bagian. Ayumi yang tadi ikut berlari, melihat tempe dengan sedih. Padahal tempe adalah makanan kesukaannya.

“Yahh, gosong beneran, kan.”

Ayumi dan Sergio makan dengan lahap. Termasuk dengan tempe yang ikut serta. Ayumi memaksa bahwa Sergio juga harus memakan tempe bersamanya. Karena nyatanya, hanya terdapat gosong kehitaman di beberapa bagian kecil.

Selepas Sergio mencuci piring, Ayumi didorong keluar rumah. Padahal baru pukul 06.00 pagi, tapi Sergio sudah ngebet pengin berjemur. Saat pintu rumah dibuka, hanya semilir angin yang masuk. Belum ada tanda-tanda matahari yang akan menghangatkan tubuh.

Ayumi buru-buru masuk kembali ke dalam rumah, tapi tangan Sergio lebih cepat menahannya. Alhasil Ayumi terus saja didorong-dorong hingga kakinya menginjak rumput di halaman depan rumah. Dia menjerit kaget saat basahnya rumput menggelitik kaki.

Embun pagi bahkan masih menempel di rumput dan dedaunan. Hanya hawa dingin angin yang semakin terasa. Ayumi berjongkok memeluk lututnya, lebih mengeratkan jaketnya. Berbeda dengan Sergio yang sangat menikmati pagi yang menurutnya sangat menyegarkan ini.

“Ngapain jongkok? Ayo berdiri!” Sergio menarik Ayumi agar mau berdiri.

“Dingiiinnn, Kaaakk! Suer, deh. Aku sampai gemeteran, inih!” Ayumi berusaha jongkok lagi, namun tak berhasil karena Sergio menariknya lagi.

HATCHIIIMM!! Lagi-lagi Ayumi bersin. Persis mengenai wajah kakaknya. Sergio belum sepenuhnya berdiri, jadi kepalanya sejajar dengan Ayumi. “Tuh, kan! Ceuk aku ge ….” Ayumi langsung mengelap wajah Sergio dengan sapu tangan yang ada di dalam saku jaketnya. Entah mengapa ada sapu tangan di situ. Warna pink lagi.

“Ih, geuleuh! Bekas ingus kamu atuh!” Sergio menahan tangan Ayumi.

“Enak aja! Ini tuh belum aku pakai sama sekali.” Ayumi kembali mengelap wajah kakaknya sampai batas lehernya. “Lagian mana ada … aku, kan gak ingusan!” sekarang Ayumi mengelap sekitaran mulut dan hidungnya. Terdapat cipratan air liur yang menempel di sana.

Selesai Ayumi menyimpan sapu tangan ke dalam jaketnya kembali. Sergio mendekap Ayumi ke dekat tubuhnya. Mengusap-ngusap Ayumi penuh kasih. Dan Ayumi menikmati momen tersebut.

Ayumi selalu suka jika sudah berada di pelukan kakaknya. Terasa nyaman dan menenangkan. Pernah ada study yang menyebutkan, pelukan seseorang dapat membuat rileks. Bahan lebih ampuh daripada meminum obat penenang sekalipun.

Saat hangat matahari yang mulai terasa, Sergio melepas pelukannya. Membalikkan Ayumi agar dapat langsung terkena sinar matahari. Membuka jaket Ayumi, yang sebenarnya Ayumi tolak mati-matian. Seperti biasa, kakaknyalah yang menang. Jaket itu dilemparkan ke kursi yang ada di teras dekat pintu.

Sergio mengomel saat tahu Ayumi memakai celana training. Bahkan panjangnya sampai menutupi jari kakinya. Panas matahari jadi tidak bisa langsung mengenai kulit kaki. Ayumi tidak peduli dan bersikeras tidak mau mengganti celana dengan yang pendek. Seperti biasa keributan kecil khas adik-kakak kembali berlangsung. Selama berjemur di bawah sinar mataharai.

Setelah lima belas menit berjemur, Sergio masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Ayumi yang ternyata sudah mulai menikmati hangatnya mentari. Tak butuh waktu lama, Sergio muncul kembali di dekat Ayumi. Menyuruh adiknya itu ke warung untuk membeli sandal capit. Karena sandalnya yang lama sudah putus.

Ayumi berjalan menuju warung di tikungan. Namun, ternyata warungnya belum buka. Dia terpaksa berjalan lebih jauh lagi, menuju warung yang ada dusun sebelah. Sebenarnya rumah Ayumi berada di ujung dusun, tepat di perbatasan. Jadi lebih dekat ke dusun sebelah daripada ke pusat dusunnya sendiri.

Ayumi terdiam saat menyadari ada sekumpulan anak muda yang nongkrong di pos ronda. Sempat ragu meneruskan langkah kaki, namun akhirnya tetap jalan juga. Lagi pula hanya ada tiga orang yang berada di sana. Posisinya juga membelakangi jalanan. Ayumi jalan lurus-lurus. Berusaha berjalan cepat melewati pos ronda tersebut.

Akan tetapi, dirinya mendadak berhenti. Ketika terdengar namanya disebutkan. Lalu, diikuti suara orang yang satunya,

“Cantik,” ucapnya.

Simpang AyuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang