Tiga puluh menit setelah itu, selagi menikmati hirupan terakhir kopi enak yang diantarkan petugas rumah sakit yang baik hati itu, aku kedatangan tamu lain, tamu yang membuatku lebih tertegun lagi. Ayahku.
Pintuku dalam keadaan terkuak sedikit. Ia mengetuk, kemudian melangkah masuk tanpa menunggu jawaban. Kami berpandangan, dan tenggorokkanku terasa kering.
Rambutnya yang gelap sekarang bernuansa putih keperakan. Ia lebih kurus sedikit, namun masih tegap seperti dulu. Kacamata mengaksen mata hitamnya yang tajam, dan ada garis-garis dalam di dahinya.
Ibuku biasa mengomel, "Nam Gil, aku tahu kau tidak menyadarinya, tapi kau harus mencoba tidak mengerutkan dahi saat berkonsentrasi. Wajahmu akan seperti buah persik kalau kau tua nanti."
Yang pasti, ia tidak tampak seperti buah persik. Ia masih laki-laki tampan yang tidak kehilangan karismanya.
"Hello, So Eun," sapanya.
"Hello, Dad."
Aku bisa membayangkan apa yang ada di dalam pikirannya saat ia menatapku dalam pakaian rumah sakit murahan, rambut kusut berantakan, kaki dibebat perban. Yang jelas, bukan sosok bintang yang berkilauan dalam lagu kotak musik itu.
"Bagaimana keadaanmu, So Eun?"
Ternyata aku sudah lupa pada resonasi suaranya yang dalam. Nadanya yang tenang dan berwibawa mengundang respek Min Young dan aku selagi kami masih kanak-kanak, membuat kami merasa terlindungi, dan aku, setidaknya, amat mengaguminya.
"Aku baik-baik saja, terima kasih."
"Aku langsung kemari begitu mendengar tentang kebakaran di tempat Mrs. Choi, dan mendengar kau berada di sana waktu itu."
"Kau tidak perlu repot sebetulnya."
Ia berdiri persis di dekat pintu. Sekarang ia menutupnya, kemudian berjalan menghampiriku. Ia berlutut dan mencoba meraih tanganku. "So Eun, demi Tuhan, kau anakku. Kau pikir bagaimana perasaanku begitu mendengar kau hampir tidak lolos dengan selamat?"
Aku menarik tanganku. "Oh, cerita itu akan berubah. Pihak kepolisian menganggap aku yang menyulut api untuk membuat sensasi. Menurut mereka, aku mau cari perhatian dan simpati."
Ia tampak tertegun. "Itu konyol." Ia berada begitu dekat, sehingga aku dapat menangkap aroma krim cukurnya. Apakah aku keliru, ataukah ini memang aroma sama seperti yang kuingat? Ia mengenakan kemeja dan dasi, dengan jas biru gelap dan celana panjang abu-abu. Kemudian aku ingat ini hari Minggu, dan mungkin ia sedang bersiap-siap pergi ke gereja saat ia mendengar tentang kebakaran itu.
"Aku tahu kau bermaksud baik," ujarku, "tapi aku tidak ingin diganggu. Aku tidak membutuhkan dan mengharapkan apa-apa darimu."
"So Eun, aku sudah melihat situasimu. Yoo sangat berbahaya. Aku benar-benar mengkhawatirkan keselamatanmu."
Oke, setidaknya ada kesamaan pendapat antara aku dan ayahku. Kami sama-sama tahu Yoo Ah In pembunuh.
"Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku sudah melakukan itu lama sekali."
Ia menghela dirinya. "Itu bukan salahku, So Eun. Kau menolak berhubungan denganku."
"Kurasa memang begitu, jadi berarti kau bebas dari rasa bersalah. Jangan sampai aku membebanimu."
"Aku datang untuk mengundangmu, untuk memohon padamu agar tinggal bersama kami. Dengan begitu, aku bisa melindungimu. Kau tentunya ingat aku pernah bekerja di dinas patroli daerah selama tiga puluh lima tahun."
"Aku ingat. Dad tampak hebat dalam seragam. Oh, aku pernah menulis untuk berterima kasih telah menguburkan abu Mom dalam makam Min Young, bukan?"
"Ya, memang."
"Dalam sertifikat dinyatakan kematiannya disebabkan oleh gangguan fungsi hati, tapi kukira diagnosis yang lebih tepat adalah karena sakit 'hati'."
"So Eun, ibumu yang meninggalkan aku."
"Ibuku mencintaimu. Sebetulnya kau bisa menunggu sampai dia melewati masa berkabungnya. Sebetulnya kau bisa menyusulnya ke Florida dan menjemputnya pulang—menjemput kami pulang. Tapi kau memang tidak ingin melakukan itu."
Ayahku merogoh sakunya, kemudian mengeluarkan dompetnya. Aku berharap ia tidak nekat menawarkan uang padaku, tapi itu tidak terjadi. Ia mengeluarkan sehelai kartu nama dan meletakkannya di tempat tidur. "Kau bisa meneleponku kapan saja, So Eun, siang atau malam."
Kemudian ia pergi, namun masih meninggalkan aroma krim cukurnya. Aku sudah lupa kadang-kadang aku duduk di tepi bak mandi dan berbicara dengannya sementara ia bercukur. Aku sudah lupa kadang-kadang ia memutar tubuhnya, mengangkat tubuhku, dan menggosokkan wajahnya yang penuh krim ke wajahku.
Begitu jelas itu semua terbayang kembali di hadapanku, sehingga aku mengangkat tangan untuk menyentuh pipiku, nyaris berharap akan merasakan sisa busa lembap itu. Pipiku basah, tapi yang mengalir itu air mata, yang untuk saat itu, setidaknya, tidak bisa kutahan.
18/03/21
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy's Little Girl ✔
RomanceKetika Kim So Eun berusia delapan tahun, kakaknya, Min Young, tewas dibunuh di dekat rumah mereka di Oldham-on-the-Hudson. Ada tiga tersangka: Yoo Ah In, pemuda tampan dari keluarga kaya setempat, yang diam-diam menjalin hubungan dengan Min Young; P...