CINTA YANG BERBEDA
Karya :SEP
Kala itu aku adalah seorang gadis tomboi yang sangat cuek. Bukan hanya urusan penampilan, bahkan urusan berteman pun sangat cuek. Aku tidak pernah benar-benar punya teman dekat. Mungkin karena aku sudah merasa cukup dengan hal-hal yang aku kerjakan sendiri. Meskipun begitu aku memiliki banyak teman disekitarku, karena banyak sekali kegiatan sekolah yang aku ikuti. Mulai dari menjadi pengurus OSIS, kegiatan pramuka, ekstra, dan masih banyak lagi sebenarnya.Kata teman-teman masa SMA itu masa yang paling indah dan puber itu sudah dimulai. Namun, dari yang aku lihat, masa SMA adalah masa dominan untuk menemukan jati diri, eit tapi bukan hanya itu, dominan untuk mencari pacar juga lho dan Itu memang fakta yang ada. Namun anehnya dari kelas 10 hingga kelas 12 aku tidak pernah punya pacar. Aku sih sadar diri, karena aku bukan tipe cewek manis yang dikejar-kejar sama cowok untuk dipilih jadi pacarnya. Buatku itu bukan masalah besar, karena memang aku tidak berpikir untuk punya pacar sih di SMA. Tetapi, kadang sempat terpikir juga sih bagaimana rasanya kalau aku jatuh cinta dengan seseorang? Apakah akan indah? Apakah jantung ini akan berdegup kencang? Sehingga hilang kesadaran dan suka melamun seperti teman sebangkuku yang sering senyum-senyum kalau dapat pesan singkat.
Bagi ku, naik ke kelas 12 itu sebenarnya adalah momok. Tidak hanya memikirkan ujian nasional, tapi juga sibuk mencari tempat kuliah yang tepat dan juga terfavorite. Ketika sibuk-sibuknya mencari informasi mengenai tempat kuliah, tiba-tiba ada sms masuk. Aku mengintip nama yang muncul di layar ponsel ku yang mungil, ternyata dari seorang kakak kelas yang sungguh membuatku terperangah. Entah mimpi apa Aku semalam, tiba-tiba kakak kelas yang satu ini menghubungiku. Gak ada angin gak ada hujan, bahkan ini beneran di alam nyata bukan alam mimpi.
"Hai, Dek. Apa kabar?" Isi sms dari kakak kelas ku waktu SMA dulu, tapi sekarang dia sudah kuliah disalah satu universitas terfavotite.
Aku benar-benar kaget. Sudah lama juga aku tidak komunikasi sama kakak kelas ku ini. Semenjak dia tidak menjadi pengurus osis lagi waktu itu, karena dia sudah naik ke kelas 12 dan memang harus fokus dengan kegiatannya. Aku masih tertegun dan masih memandangi layar mungil ponsel ku. Akhirnya aku membalas sms dari kakak kelas ku itu dengan perasaan yang masih setengah tidak percaya.
"Kabar baik kak. Kakak apa kabar?"
Balasan sms yang aku layangkan 30 menit sudah berlalu. Namun, layar mungil ponsel ku belum juga memberikan signal ada balasan. Sambil ku pandangi ponsel yang ada dihadapanku, pikiranku jadi kemana-mana. Awal ketemu dengan kakak waktu itu, ketika aku MOS. Kakak adalah salah satu pengurus osis yang paling tampan di antara yang lainnya. Wajahnya yang oriental, kulit putih, dan gayanya yang ramah menambah nilai plus buatnya. Tentang kakak yang paling aku ingat sih dia itu menguasai beberapa alat musik. Dia bisa main piano, drum, dan gitar. Namun, dia terlihat sempurna ketika dia pegang gitar ditangnnya. Petikan dawai gitarnya dapat meluluhkan hati setiap wanita yang ada disekitarnya. Termasuk aku waktu itu. Betapa terpesonanya aku dibuatnya. Aku mencoba memberanikan diri waktu itu dan mendekatinya. Memintanya untuk mengajariku memainkan alat musik itu. Kebetulan di rumah aku sering memainkan alat musik itu bersama kakak sepupuku.
"Permisi kak"
"Iya ada yang bisa dibantu dek?"
Jawabnya sambil tersenyum renyah kearahku. Senyumnya mirip rengginang yang sangat renyah dan gurih. Saat itu rasanya sejuk sekali nelihat senyum ramahnya, berasa seperti minum seteguk es kelapa muda di pantai yang panas.
"Em, anu kak. Bisakah kakak mengajariku memainkan gitar itu?" Sambil ku tunjuk gitar yang tengah dipeluk olehnya.
"Owh, kamu suka sama alat musik ini?"
"Iya kak, aku sering bermain gitar di rumah dengan kakak sepupuku."
Tanpa menjawab satu katapun, kakak menepuk lantai disebelahnya, seolah memberi kode padaku untuk duduk disebelahnya. Aku pun tanpa sungkan langsung duduk di sebelahnya. Dia langsung memberikan gitar itu kepangkuanku. Dia mengajariku tahap demi tahap dengan sesekali menggodaku dengan kunci yang sengaja disalahkan olehnya. Di sinilah mulai kedekatan kita dimulai sebagai senior dan junior. Karena kejadian itu juga, Aku terpilih sebagai anggota OSIS dibagian seksi apresiasi seni yang dikoordinatori oleh kakak.
Namun cerita ku dengan kakak tidak seiindah itu juga. Ada salah satu siswa yang memang dari dulu suka sama kakak, dia selalu mengejar-kejar kakak dan selalu heboh kalau ada kakak. Suatu ketika, aku dan kakak sedang mengerjakan mading edisi terbaru, tiba-tiba dia datang ke ruangan kita dengan hebohnya.
"Halo, boleh aku bantu?"
Aku dan kakak langsung mengalihkan pandangan kita ke arah pintu. Berdirilah dia tepat di tengah pintu dan menghalangi cahaya yang masuk.
"Owh, ada Rina. Mau bantu kita? Boleh kebetulan kita juga lagi butuh bantuan"
Tanpa sungkan dia langsung berjalan ke arah kita, dan tanpa malu-malu langsung duduk menengahi kita. Seketika aku terdorong karena sengaja disenggol olehnya agar Aku menjauh dari kakak. Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum ke arah kakak. Kakak pun tersenyum balik ke arahku dengan manisnya.
"Kak, aku bisa izin ya. Kan ada Rina? 1 jam lagi aku ada ekstra volly nih."
"Iya pergi saja tidak apa-apa, biar aku yang bantuin kak Aris" sahut Rina dengan penuh semangat dan mendorongku untuk segera bergegas keluar ruangan.
Aku pun berkemas dan berpamitan dengan mereka. Sepertinya kakak agak berat aku meninggalkan mereka. Dia merelakan aku pergi dengan senyum yang terpaksa. Sebenarnya aku tidak enak dengannya, tapi aku terpaksa pergi karena Aku paham bagaimana Rina. Dia akan membully ku kalau Aku tidak peka dengan apa yang dia inginkan. Namun, semenjak itu Rina selalu mendekatiku dan bertanya-tanya mengenai kakak. Entah karena dia ingin menggangguku atau memang sengaja ingin membuat ku risih. Hingga saat ini Rina masih seperti itu kepadaku, padahal kakak sudah tidak di sekolah lagi. Malahan sekarang Rina satu kelas denganku. Dia sering sekali mendekatiku dan menceritakan tentang kakak kepadaku. Sampai telingaku merah dan ingin rasanya kubungkam mulutnya itu dengan kain lap, tapi hanya dalam anganku saja sih. Mana tega Aku melakukan hal seperti itu.
"kriiiinngg... Kriiiinnggg"
Aku tersadar dari lamunan ku, ternyata ada telfon masuk dan itu dari kakak. Aku bergegas menerima panggilan itu bahkan entah kenapa sangat bersemangat.
"Iya halo kak!"
"Halo dek, semangat sekali angkat telfonnya. Nada kakak terdengar sembari tersenyum kecil di seberang sana. Maaf ya lama balas sms-nya, tadi kakak ada kegiatan. Jadi aku langsung telfon aja, gak apa-apa kan, Dek?"
"Oh, iya tentu tidak apa-apa kak." Jawabku sambil tersipu-sipu.
Kakak menelfonnku lama sekali. Dia menanyakan banyak hal mulai dari kabar di sekolah dan yang pasti tanya mengenai rencana studi lanjutanku setelah SMA nanti. Dia menyarankan banyak pilihan tempat kuliah, salah satunya kuliah dijurusan yang sama dengannya. Dia masuk dijurusan Desain. Jurusan yang sangat aku inginkan juga suatu hari nanti. Dia sangat tahu aku sangat suka melukis dan menggambar. Sesekali aku juga membicarakan soal Rina yang masih sering menanyakan kabar kakak padaku dan masih sering menggangu ku dengan bercerita mengenai kakak. Kakak hanya tertawa mendengarkan ceritaku dan sesekali malah menggodaku dengan candaannya yang membuatku sedikit kesal dan gemas. Tidak terasa hampir 1 jam kita telfonan. Entah apa saja yang kita bicarakan sampai-sampai tak terasa sudah sebegitu lamanya.
"Dek, kamu gak apa-apa telfonan sama kakak lama begini. Pacar kamu marah lho nanti"
"Hahahaha... kakak ini jangan bercanda, sudah tahu Aku ini jomblo menahun masih aja diledekin. Mana ada yang mau macarin aku kak, tomboi gak ada cantik-cantiknya."
Kakak semakin tertawa dibuatku. Rasanya kali ini aneh. Tidak pernah kita ngobrol senyaman ini dan sedekat ini.
"Itulah yang membuat mu unik, Dek. Tidak ada duanya."
Deg. Rasanya jantungku berhenti seketika itu. Itu pujian apa hinaan. Apa aku sedang mimpi saat ini. Aku mencubit pipiku keras-keras dan terasa sakit. Ya Tuhan, ada apa dengan kakak?
"Heemm. Itu pujian apa hinaan ya?"
Terdengar suara tertawanya yang semakin menggemaskan jauh di sana. Aku pun masih tidak percaya dia bisa mengatakan itu. Gila, dia yang gak waras apa Aku ya yang sedang hilang kewarasan.
"Kakak. Stop ah menggodaku."
"Dasar , kamu itu masih aja menggemaskan, Dek. Gak ada berubah-berubahnya. Polos." godanya lagi.
"Iya. Terusin aja, Kak. Terusin, yang penting kakak bahagia. Balasku setengah sebal, tapi kakak malah tertawa ngakak di seberang sana.
Eh, Kak. Kita sambung besok ya. Aku lupa ada PR dari pacar kiler ku,Kak.
Lha. Katanya gak punya pacar? Lha ini.
Hahaha. Mantan wali kelas kakak watu SMA kan pacar kiler ku sekarang.
Astaga anak ini ya. Bisa aja. Ya sudah sana kerjain tugasnya, biar gak disuruh berdiri terus ganti pacaran sama papan nanti kamu, Dek.
"Iya kak, selamat malam ya."
Selamat malam juga, Dek. See you next timedeh kita sambung lagi.
Kakak segera menutup percakapan dan aku bergegas menyelesaikan tugas matematika ku. Bisa-bisa aku tidak akan duduk 2 jam pelajaran kalau tugas ini tidak ku selesaikan.
Matahari pun sudah menampakkan senyum indahnya yang ceria dan cerah. Aku membereskan buku-buku yang ada di meja belajarku dan memasukkan ke dalam tas ransel bututku. Aku sangat terkejut, tumben pagi-pagi gini ada sms masuk. Maklum nasib jomblo dimana-mana ya begitu, punya ponsel juga isinya cuma game kalau tidak ya sms spam. Aku membuka di menu pesan sambil melangkahkan kaki menuju nenekku dan berpamitan padanya. Aku tidak tinggal bersama orang tua ku, aku menemani nenekku karena nenek harus hidup sendiri setelah ditinggal sama kakek, jadi aku harus menemaninya. Sms pun ku buka dan ku baca, begitu kagetnya aku ketika yang mengirim pesan itu adalah kakak. Oh iya, sampai lupa. Kakak memiliki nama yang indah lho, Brian Aris. Sebenarnya biasa aja sih namanya, tapi orangnya yang gantengnya maksimal. Namun, panggilan manisnya ya, Kak Aris lah, so simple. Kak Aris!! Dia benar-benar menghubungiku lagi. Astaga, ada apa ini, sadarkan aku dari mimpi ini Tuhan. Kalau bukan mimpi, berarti aku dapat hadia manis dari Tuhan pagi ini.
"Selamat pagi, sudah berangkat sekolah?"
Aku jadi mulai terbiasa berkomunikasi sama kak Aris. Dia hampir setiap hari mengirimi ku pesan dan sesekali kita ngobrol lewat telefon. Rasanya aneh saja. Biasanya layar ponsel ku hampir tidak pernah sibuk untuk mengetik sms bahkan hampir tidak pernah ada yang menelefone ku. Sekarang? Entah setan apa yang merasuki kak Aris, hingga dia sekarang lebih sering berkomunikasi denganku.
"Dek, nanti ambil bimbingan belajar sebelum masuk perguruan tinggi di dekat kampus ku saja. Nanti biar aku bantu kalau ada yang tidak mengerti."
"Wah ide bagus kak. Siap laksanakan perintah. Teman-temanku juga banyak yang mau bimbel ke sana. Baiklah aku juga akan ikut mendaftar ke sana deh."
"Em, si Rina ikut juga gak dek?"
"Hayooo... kakak kangen sama Rina ya!!" Godaku jahil.
"Apaan... enggak lah."
"Hahaha. Enggak kak, entah dia rencananya mau kuliah di mana aku kurang tau."
"Dek. Semangat ya. Aku harap kamu cepat lulus dan bisa meraih impianmu."
Wih!! Amazing!! Itu siapa yang bilang kayak gitu ke aku? Saudra bukan, pacar bukan, hanya seorang kakak kelas, tapi rasanya ada perasaan nyyuuutttt didadaku. Ya Tuhan perasaan apa ini?!
"Dek, kamu kok diam? Ada apa?"
"Eh.. anu.. anu kak, gak apa-apa."
"Hayo. gak mau jujur" godanya. "Eh, Dek. Misal kakak bilang suka sama kamu, kamu percaya gak?"
"Whattttt!!!! Enggak!!!" Teriakku hingga terdengar oleh nenekku.
"Aya, ono opo toh ndug, kok suaramu keras kyok ngunu." Dalam bahasa Indonesia (Aya, ada apa kah nak, kok suara kamu keras sekali seperti itu).
"Tidak apa-apa nek,digigit nyamuk." Jawabku asal.
Terdengar suara cekikikan dari seberang sana, ternyata aku masih tersambung dengan kak Aris ditelefon.
"Kak. Bercandamu itu gak lucu tahu!"
"Aku serius dek. Aku gak bercanda. Aku suka sama kamu. Sudah lama sebenarnya tapi baru sekarang aku menyadarinya."
"Aahh... bohong ah. Pasti mau Prank Aku ini ya? Hayoo ngaku."
"Apa kedengarannya aku bercanda?" Nadanya terdengar seriusdan jelas.
"Em... tidak tahu juga sih, kak. Tapi ...."
"Beneran, Dek. Aku gak bercanda lho. Coba deh pikirkan dek apa yang barusan Aku nyatakan. Aku benar-benar menyukaimu. Setidaknya Aku sudah berkata jujur dan memberanikan bilang ini sama kamu lho. Kalau memang nanti kamu mau menerima rasa ini. Aku pasti senang sekali. Kalau tidak, mungkin memang kita hanya ditakdirkan berteman saja."
Rasanya aku ingin berteriak saat itu. Harus jawab apa? Disatu sisi aku belum percaya, disisi lain aku sangat bahagia. Baru kali ini ada cowok setampan dan sekeren kak Aris menyatakan suka padaku. Aku ini siapa? Cantik enggak,manis ada sih sedikit meskipun gak kelihatan.
"Dek, butuh waktu berapa lama untuk menjawabnya?" Tandasnya lagi seolah memintaku untuk segera mengambil keputusan.
"Em, jujur kak. Aku masih shock. Aku tidak tahu ini mimpi atau nyata. Biarkan aku berpikir lagi untuk ini ya. Aku janji besok, atau paling lama lusa aku putuskan. Ya. Oke ya."
"Baiklah. Aku tunggu. Sekarang istirahat, besok kamu harus berangkat pagi-pagi kan! Ada jam tambahan dari pacar kiler mu."
Kita mengakhiri percakapan. Aku masih sangat shock atas pengakuan kak Aris. Bukannya aku jual mahal dan tidak menyukai kak Aris. Jujur bahkan aku juga suka sama dia. Siapa sih yang tidak terlena oleh ketampanan cowok berwajah oriental itu. Tutur katanya yang lembut dan kalem itu pun akan meluluhkan setiap hati wanita. Aku hanya memikirkan, apa kata dunia kalau kak Aris pacaran denganku. Bisa-bisa aku dibully gadis seluruh dunia. Eh lebay banget sih. Berlebihan ya. Kembali kecerita. Aku juga memikirkan tentang Rina. Dia yg begitu getol mengejar-kejar kak Aris mulai dari kls 10 hingga kelas 12. Apa yang akan dia lakukan terhadapku ketika dia tahu kak Aris menyukaiku. Apalagi sampai tahu Aku jadi pacarnya. Bisa-bisa habis Aku dimakan oleh Rina. Aku harus memikirkan cara terbaik untuk hal ini. Haruskan aku menolaknya? Ataukah aku menerimanya? Jujur aku juga ingin mempunyai pacar yang seperti kak Aris. Ternyata ini rasanya menyukai seseorang, seperti ini ya. Oh Tuhan, bagaimana ini? Galau tingkat dunia perjombloan.
"Ayaa... Aku mau bicara denganmu." Seret Nur ke belakang kelas.
"Jelaskan ini padaku Aya?"
Nur adalah teman sebangku ku mulai kelas 10 hingga kelas 12. Dia adalah sahabat pertama katika aku masuk SMA ini. Dia selalu duduk sebangku denganku. Aku sih senang sekali sebangku dengannya, karena dia sangat pandai, dan aku sering nyontek kalau ada tugas. Itusih yang membuatku sangat bahagia.
"Apa. Ada apa sih, Nur. Apa yang harus Aku jelaskan padamu?" Bingungku.
"Kak Aris!!"
Deg. Jantungku berdetak gak karuan. Darahku tiba-tiba merasa panas dan dingin yang menyatu mengalir dalam tubuhku. Apa Nur tahu Aku menjalin hubungan istimewa dengan kak Aris.
"Astaga Aya!!! Apa yang sedang kamu lakukan? Ini kak Aris kakak kelas kita kan?!" Sambil menyodorkan ponselku yang ada padanya.
"Eh. Iya Nur. Tenang-tenang, ambil napas dulu, biar aku jelaskan."
"Bagaimana?"
"Maaf, aku tidak cerita padamu. Iya aku dan kak Aris. Kita pacaran. Dia memintaku. Aku tidak bisa menolaknya Nur. Jujur aku juga menyukainya."
"Bagaimana kamu... apa kamu sudah berpikir panjang? Rina?"
"Aku sudah memikirkan ini Nur. Aku membuat kesepakatan dengan kak Aris. Hubungan ini adalah rahasia antara Aku dan kak Aris. Hanya kita yang tahu. Tidak siapapun boleh tahu tentang ini. Tapi... kamu tidak sengaja tahu..."
"... ada pesan dari kak Aris buat mu. Aku tidak sengaja membacanya tadi."
"Duh. Kenapa dia sms waktu aku masih di sekolah sih!!" Kesalku. "Maafkan aku Nur, aku tahu ini gila. Tapi sudah terlanjur. Aku harap kamu merahasiakan ini dari siapapun. Ku mohon." Rengakku pada Nur.
Nur hanya mengangguk dan memelukku. Aku tahu meskipun Nur tahu, Dia akan menjaga rahasia ini sampai kapanpun. Dia bukan tipe gadis ember yang suka nyiyirin orang dan Dia sahabat yang dapat menjaga omongannya.
Hubungaku dengan kak Aris berjalan dengan lancar. Sesekali aku dibantu olehnya menyelesaikan tugas yang aku anggap sulit untuk dikerjakan. Dia selalu menyemangatiku dan memberi motivasi kepadaku. Rasanya belajar adalah hal yang paling aku inginkan saat ini. Supaya aku bisa mendapatkan nilai ujian nasional yang baik tentunya dan bisa segera mengikuti jejak kak Aris dan bisa satu kampus dengannya.
Seperti biasa, sepulang sekolah aku menuju lapangan Basket. Aku selalu menyempatkan diri untuk berolahraga agar aku tidak jenuh dengan mata pelajaran yang kian hari kian banyak yang harus dipelajari. Driyan. Dia Adik kelasku yang jago sekali bermain basket, karena memang dia ikut salah satu klub basket. Kita sering sekali bermain bersama sepulang sekolah. Kalau kita sudah bermain, kita sering lupa waktu.
"Dek, masih di sekolah jam segini?"
Astaga betapa terkejutnya aku dengan sapaan itu. Kak Aris!!! Apa yang dia lakukan di sekolah!!
"Kak?!!"
"Kok terkejut gitu. Kayak lihat hantu?"
"Kakak pulang? Kok nggak kasih kabar? Kok tahu Aku masih di sekolah!"
"Hmm. Pertanyaan mana ini yang harus Aku jawab duluan. Panjang amat pertanyaannya. Kamu Kakak telfon berkali-kali gak diangkat, sms gak dibalas. Akhirnya Aku ke rumah, kata nenek kamu belum pulang dari sekoalh. Eh, ternyata iya masih di sekolah. Napain juga sampai sore begini?"
"Kak Aya. Siapa ini?" Tanya Driyan penasaran.
"Oh, iya nih kenalkan. Ini kak Aris. Kak Aris ini Driyan anak kelas 10. Dia suka main basket bareng aku yang kadang aku ceritakan."
"Oh. Ini Driyan. Senang bertemu denganmu."
"Aku juga" Balas Driyan sambil menyambut uluran tangan kak Aris.
"Maaf, Driyan. Aku ajak Aya pergi dulu ya. Tidak apa-apa kan?"
"Oh, tentu kak tidak apa-apa."
Aku pun berkemas dan pergi bersama kak Aris. Sepanjang perjalanan dia hanya diam, tak terucap satu katapun dari bibirnya. Aku juga terdiam, aku takut untuk memulai pembicaraan. Aku tahu kakAris pasti kesal denganku. Lama sekali kita terdiam duduk berhadapan. Kakak hanya memesankan makanan dan kembali duduk di depanku.
"Kamu udah kelas 12, Dek. Kenapa masih saja main-main kayak gitu. Apalagi sampai sore begini!!"
"Maaf kak, aku hanya jenuh dengan belajar."
"Iya, Kakak hanya tidak mau belajarmu terganggu."
"Iya. Tapi kakak kok tiba-tiba pulang? Kakak libur?"
"Em, iya lupa. Kakak mau ada perlu ke sekolah."
"Apa?!"
"Jangan khawatir. Aku tidak akan menemuimu. Tapi aku tunggu sampai sekolah berakhir, kita pulang bareng, ya."
"Baiklah."
Rasanya punya pacar itu seperti ini, ada yang ngomeli, ada yang menasehati. Rasnya nano nano sekali. Akhirnya Aku merasakan puber yang sedikit terlambat sih dari teman-temanku yang lainnya.
"Kak, main basket yok?" Sambil merangkul bahuku seperti biasa.
"Maaf Driyan. Hari ini tidak bisa. Aku ada janji sama seseorang."
"Pacarmu?! Apa yang jemput kamu kemarin itu?" Nadanya kesal.
Driyan ini dekat sekali denganku. Dia ini anak orang kaya yang manja. Dia seperti adikku sendiri. Dia juga sering merengek minta dibantu untuk mendekati cewek incarannya di sekolah. Padahal dia populer di sekolah. Sudah tampan, tinggi, proposional, atlet basket pula. Tidak dipungkiri dia banyak dikejar-kejar cewek di sekolah. Tapi dia selalu saja memintasaran bahkan memintaku untuk memilihkan cewek yang bakalan Dia pacari. Aku kan jadi serbah salah. Bahkan aku sering dilabrak sama cewek-cewek yang menyukainya. Gilak emang tuh anak. Bikin Aku pusing saja.
"Iya. Itu pacarku. Ganteng kan ya."
"Enggak. Ganteng juga aku weekk." Sambil mengacak-acak rambutku dan lari menjauhiku.
"Driyaaaa... kebiasaan deh. Awas ya" teriakku.
Suasana sekolah sudah sepi, tidak ada satupun yang terlihat berkeliaran. "Aman." Gumamku.
Kak Aris ternyata sudah ada didepan sekolah. Dia melambaikan tangannya. Aku berlari menemuinya.
"Maaf harus kucing-kucingan kayak gini."
Kak Aris cuma tersenyum dan menyodorkan helm kepadaku. Ternyata masih ada satu orang yang tersisa di sekolah. Driyan. Dia tiba-tiba muncul dibelakang kita.
"Hati-hati di jalan ya kak" sambil menyalip kita dan mengangkat tangannya dan dia berlalu.
Wah bahaya. Dia bisa saja ember di sekolah. Aku harus membungkam mulutnya besok.
"Driyan sepertinya dekat denganmu dek?"
"Begitulah kak. Mungkin kerena punya hobby yang sama aja sih."
"Kalian nggak ada apa-apakan?"
"Kak?! Mana mungkin, kan Aku punya kak Aris. Lagian, pacarmu ini tidak secantik bidadari. Mempunyai pacar tampan kayak kakak saja seperti menemukan tumpukan emas."
"Hahaha... sejak kapan kamu segombal itu. Ingat pesan ku. Belajar yang rajin. Jangan banyak main-main."
Setelah pertemuan itu, kami malah jarang berkomunikasi. Mungkin kakak sibuk dengan kegiatannya. Aku sih tidak tahu tepatnya tapi aku sangat tidak nyaman. Seminggu ini tidak ada kabar dari kakak. Sms ku bahkan sudah jadi jamur. Rasanya aneh sekali. Apakah ini yang dinamakan perasaan galau itu ya?!
"Duaakkk" Suara bola mengenai kepalaku. "Augh... sakit"
"Kak!!! Kamu itu kenapa sih akhir-akhir ini? Sakit?" Driyan menghampiriku sambil mengusap-usap kepalaku.
"Maaf aku gak konsen tadi."
"Ada apa sih? Cerita sama Aku"
Akhirnya aku menceritakan semua pada Driyan. Dia mendengarkan keluh kesahku dari A sampai Z dengan hanya manggut-manggut seolah mengerti. Playboy mana ngerti galau.
"Kamu itu bodoh kak. Mau saja dikibulin sama itu cowok. Udah biarkan saja. Cuekin. Yakin dia bakalan hubungi kamu."
"Begitukah? Entar kalau tak cuekin dikira Aku yanggak respect sama Dia!"
"Percaya deh sama yang udah pengalaman." Godanya.
"Iya deh. Percaya aja deh sama playboy yang sudah melalang buana di dunia perbucinan." Balasku sambil ketawa.
Driyan ini selalu menghiburku dikala aku kesal akan sesuatu hal. Dia selalu ada dan selalu siap memberikan bantuan dan mendengarkan keluh kesahku.
"Ayo aku antar pulang. Biar sepeda bututmu itu taruh sekolah nanti aku bilang sama satpam."
Sepanjang perjalanan anak ini ngomong tanpa henti. Ada aja candaannya yang menjengkelkan hati.
"Kak."
"Apa?"
"Bagaimana kalau aku juga menyukaimu? Terus kita pacaran aja! Gimana."
"Jangan bercanda" sambil aku jitak kepalanya.
Anak ini memang playboy kelas kakap. Cewek mana di sekolah yang gak tergoda sama penampilannya yang sangat menawan. Sebenarnya tidak kupungkiri aku sedikit menyukainya. Tidak hanya tampan dan manis katanya. Tapi, perlakuannya kepadaku yang kadang membuatku semakin nyaman dan terbiasa bersamanya.
"Aku gak bercanda." Kesalnya.
"Eh playboy. Cewekmu mau kamu kemanain? Itu mereka berjajar siap mencabik-cabik ku."
"Bodoh ah. Ya kalau kita gak ngomong gak bakalan yang ada tau lah."
"Gila kamu ya?! Ngajakin nikung orang." Sambil kupukul lagi itu kepala.
"Kak. Aku gak bercanda. Faktanya Aku memang menyukaimu. Gak boleh? Hak ku kan. Sudah Ini sudah sampai. Masuk rumah sana, pikirkan baik-baik, aku suka sama kamu titik. Bye." Dia menarik gas motornya dan cepat berlalu dari hadapanku. Nanti, ku sms. Teriaknya sambil berlalu.
"Anak itu kesurupan apa coba? Dan yang jelas kenapa sih dengan hidupku tahun ini? Bodoh amat, ah. Capek hari ini."
Kacau sekali hari ini. Kak Aris tidak membalas pesan-pesanku sama sekali. Jengkel rasanya. Saking jengkelnya hari ini tidak ada satu buku pun yang aku pelajari di rumah. Mataku tak terasa terpejam, namun aku dikejutkan dengan suara ponselku yang bergetar di tempat tidurku. Aku senang sekali, mungkin itu kak Aris. Aku bergegas membuka pesan itu. Ternyata bukan, tapi sms dari Driyan si usil itu.
"Ah, si anak manja" aku coba mengabaikan pesannya dan melanjutkan tidurku tanpa aku baca. Ponsel ku bergetar lagi. Anak ini menjengkelkan ah. Perlahan aku buka smsnya.
"Kak, abaikan saja terus ya sms ku!
Sial ternyata dia peka juga. Mau tidak mau aku harus membalasnya.
"Hei manja. Aku lelah hari ini, tidak bisa bermain denganmu. Besok saja oke"
Aku meletakkan lagi ponsel ku, bukannya mengakhiri sms-nya, dia malah menelfonku.
"Apalagi?" Angkatku malas.
"Kak, aku serius. Jangan abaikan apa yang aku katakan. Percaya sama aku kak. Kamu gak akan aku buat galau. Kita kan selalu bersenang-senang. Kapan aku membuatmu kesal? Seperti yang dilakukan pacar gantengmu itu." Cerocosnya tanpa ada jeda.
"Sudah ngomongnya? Anak manja dengerin aku. Aku masih waras ya!! Mimpi apa sih dideketin cowok-cowok keren kayak kalian? Aku merasa dapat jackpot tau."
"Hahahah" terdengar suara ketawanya yang renyah itu.
"Bodoh. Pokoknya pikirkan saja apa yang aku katakan. Jawab aku ketika kamu berubah pikiran." Dia mengakhiri percakapannya sepihak.
"Dasar. Aahh... menjengkelkan sekali dunia percintaan. Bodoh amat, aku mau tidur."
Benar-benar aku tidak berkonsentrasi akhir-akhir ini. Mana boleh aku galau hanya karena beginian. Aku sudah kelas 12, sebentar lagi ujian nasional. Aku tidak boleh dikacaukan oleh perasaan yang tidak penting ini. Aku harus belajar menjadi professional sebagai siswa.
"Kakak bodoh." Tiba-tiba Driyan muncul dari belakang.
"Anak manja. Ngagetin aja!!"
"Habisnya ngelamun aja. Gimana tawaranku?"
"Masih aja ini anak ngeyel ya." Sambil aku jewer telinganya.
"Kak, sakit. Lepas ah, atau..."
"... atau apa?" Ku kepalkan tanganku.
"Ampuuuunnn."
Aku selalu bisa tertawa kalau ada didekatnya. Bodohnya, aku sepertinya mulai baper dibuatnya.
"Driyan."
"Apa?" Sambil melontarkan senyuman manjanya ke arahku dan mendekatkan wjahnya kea rah ku.
"Deg. Aku... jauhkan wajahmu dari ku." Ternyata jantungku berdetak kencang kali ini. Berbeda dengan yang lalu-lalu. Apakah Aku sudah memiliki rasa yang berbeda untuk Driyan!
"... kamu kenapa? Pipimu lhomemerah." Godanya.
"Aku lapar ayo beli bakso bang Im..." Elakku untuk mengalihkan pembicaraannya yang membuat wajah gantengnya itu ditekut-tekuk.
Aku tidak paham takdir apa yang akan dibuat oleh Tuhan buatku. Tapi aku percaya, Tuhan akan memberikan yang terbaik buatku. Aku mencoba membuat hidupku kembali seperti dulu. Cuek, bebas, dan tanpa beban. Aku sangat merindukan diriku yang dulu.
"Kak Aya. Kamu sekarang banyak diam ya? Padahal aku suka kamu yang ceria dan bersemangat lho."
Anak manja yang satu ini memang paling bisa dan paling pandai mengeluarkan kata-kata manis dari mulut kecilnya itu. Sebenarnya dia bukan anak manja seperti yang aku julukkan padanya. Dia hanya manja ketika dia merasa membutuhkan motivasi yang mungkin tidak pernah dia dapatkan dari keluarganya. Maklum keluarganya terlalu sibuk dengan bisnis masing-masing. Impian terbesarnya adalah bisa ikut turnamen bola basket tingkat nasional. Dia begitu giat berlatih. Aku berharap anak manja ini bisa mendapatkan mimpinya.
"Sudah makan saja, jangan cerewet. Eh, Driyan. Itu Diisty sepertinya nyariin kama. Samperin sana!"
"Malas ah. Dia menyebalkan lama-lama." Kesalnya sambil memlingkan muka.
"Hm... itu pilihanmu lho. Kamu harus menyingkirkan pesaingmu untuk mendapatkan dia."
"Itu karena kompetisi, Kak. Sebenarnya..."
"... Honey, aku cariin kamu dari tadi lho. Kamu ke mana saja sih? Eh, Ternyata di sini sama kak Aya."
"Hai. Disty, sini ikutan makan bakso. Bang Im, satu porsi lagi ya."
"Eh, aku juga mau bang In satu porsi." Tiba-tiba Rina muncul diantara kita.
"Aya, aku lagi seneng banget. Kemarin aku telfon kak Aris. Aku ngobrol panjang lebar sama dia. Seneng banget rasanya."
"Benarkah?!"
Nyuuutttt. Rasanya sakit sekali. Driyan langsung berbalik memndangku dan mencoba untuk membuatku tenang dengan mengedipkan mata. Aku hanya menghela nafas pendek, mencoba mengatakan pada diriku sendiri untuk bersabar dan menahan diri.
"Baksomu biar aku yang bayarin deh Aya, aku lagi bahagia banget ini."
"Kak, kita sekalian dong." Sahut Disty bersemangat.
"Oh, ada best couple sekolah kita ternyata. Beres, mau nambah juga boleh."
"Yeeeyyyy. Makasih kak."
Rasanya bakso bang Im kali ini tidak begitu nikmat. Kenapa kak Aris mengangkat telfon si Rina? Kenapa dia tidak membalas sms dari ku dan tidak mengangkat telfon dari ku! Apa sih maunya kak Aris?! Kesal sekali rasanya.
"Kak, Aya. Jangan pulang dulu. Tunggu di sini. Jangan kemana-mana. Aku antar Disty pulang dulu sebentar. Oke."
"Terserahlah. Sana-sana pergi."
"Beneran lho. Awas kalau kamu pulang sebelum aku datang."
Menyebalkan sekali hari ini. Aku tidak tahu harus marah ataukah diam saja. Jelas-jelas dari seminggu yang lalu aku menghubungi kak Aris, tapi dia tidak meresponku. Hari ini malah Rina dengan senangnya pamer kalau dia habis ngobrol sama kak Aris. Ah sudahlah.
"Kak. Jangan dipikirkan, kan masih ada aku yang selalu disampingmu. Aku juga gak peduli kamu itu cantik atau gak cantik. Tapi beneran kamu itu unik."
"Mulai, mulai itu gombalnya muncul. Sudah konsentrasi aja nyetir motornya."
"Kak. Aku ini serius gak lagi ngegombal." Bentaknya kesal.
"Oh, kamu bisa serius juga ya."
"Bodoh ah. Kak, dengerin aku. Sudah terima saja tawaranku. Aku bakalan buat kakak bahagia. Kakak sebentar lagi ujian lho. Pengumuman SNMPTN juga lho. Udah kita buat hari-harimu bahagia saja. Kita jalan ya?"
Sebenarnya aku paling tidak suka lihat orang menikung milik orang lain. Tapi entah kali ini setan apa yang masuk ke dalam otakku. Aku melakukan perbuatan jahat seperti ini. Semoga saja hal ini tidak akan menyakiti hati siapapun.
"Hah!! Kenapa hanya 2 minggu kak?"
"Kalau kamu gak mau dengan syarat itu, ya sudah lupakan saja."
"Oke. Oke fix. Aku setuju. Kita jalan 1 minggu sebelum ujiau dan kita berakhir 1 minggu setelah ujianmu selesai. Yakin begitu!"
"Iya. Deal ya. Yakin."
"Hmm, syarat macam apa ini. Tidak adil sama sekali."
"Owh. Tidak mau, ya sudah."
"Kak. Kenapa sesingkat itu? Baiklah baiklah dari pada tidak."
"Anak baik. Itu karena aku sayang kamu dan tidak mau kehilangan kamu sebagai sahabat juga adikku."
"Baiklah cinta." Godanya manja.
"Hei. Diam. Geli tau kamu bilang gitu. Lagian ini sekolah!!" Sambil ku bungkam mulut cerewetnya itu.
"Hahaha... bye sampai ketemu nanti pulang sekolah di lapangan ya cinta. Godanya lagi yang membuatku kesal tapi tersipu.
Entahlah apa ini hal yang benar apa salah, tapi aku menyukainya. Keceriaan ku mulai pulih. Semangat belajarku juga mulai kembali seperti semula. Ujian di depan mata. Aku juga sudah mempersipkan segala sesuatu untuk bimbel nanti setelah ujian nasional berakhir. Ujian nasional tinggal beberapa hari lagi. Sebelum itu di mulai, Driyan membuat janji denganku. Dia mengajakku nonton hari ini. Aku sudah bersiap dari pagi. Aku menunggunya lama sekali. Sms tidak dibalas, telfon juga tidak diangkat. Kecewa, sangat kecewa hari ini. Driyan tidak menepati janjinya.
"Beb, maaf tidak bisa nonton hari ini. Harus antar Ayah ke luar kota." Ada pesan dilayar hp-ku dari Driyan.
"Gila... tau nggak aku nunggu kamu dari pagi. Baru ngabari sore gini."
"Maaf. Lain kali ya."
Aku masih tetap kecewa. Entah apa yang aku pikirkan. Tiba-tiba aku pencet nomor telfon rumahnya.
"Selamat malam. Ini dengan Bapak Syam. Ada yang bisa saya bantu?"
"Malam juga, Om. Em, Driyan ada Om?"
"Driyan keluar dari tadi pagi. Katanya sih mau ke tempat Viola. Ini belum pulang."
Nyyuuuttt. Rasanya sakit sekali ini dada. Ternyata dia juga sama saja dengan si Aris.
"Makasih Om."
"Ada pesan buat Driyan?"
"Tidak Om. Bilang saja Aya telfon. Makasih om selamat malam."
Sakit rasanya. Kecewa benar-benar kecewa. Kali ini air mata ini tidak bisa terbendung. Dia menetes tanpa henti. Mereka ini mempermainkan ku. Bodoh. Bodoh sekali. Tanpa sadar ada dua sms masuk. Satu dari Driyan dan satu lagi dari... Kak Aris!!
"Maaf"
Mereka berdua menulis itu dipesan yang mereka kirim. Gila ya. Setelah membuatku seperti ini. Mereka menuliskan hal itu. Gila. Ini gila. Aku sudah muak dengan semua ini. Aku berharap tidak mengenal mereka. Aku mengabaikan pesan-pesan yang mereka kirim. Aku akan fokus ujian. Bodoh amat sama mereka. Aku pun selalu menghindari Driyan ketika aku berada di sekolah. Setiap kali Driyan mencoba menemuiku aku selalu pergi menjauhinya. Rasanya sakit sekali. Sebentar lagi aku juga bakalan lulus dari sekolah ini dan aku tidak akan bertemu dia. Dan juga kak Aris. Lupakan dia.
Aku melangkahkan kami melewati gerbang sekolah.
"Hhmm, capek sekali hari ini. Besok aku harus mencari materi lagi di perpustakaan" Sambil ku angkat tanganku ke atas, kurenggangkan otot-otot lelahku. Saat aku alihkan pandanganku ke sekitar area luar pagar sekolah. Aku lihat ada dua orang yang aku sangat kenal. Ada Driyan di sebrang kiri jalan dan ada Kak Aris di seberang kanan jalan.
"Apa yang mereka lakukan?!"
Aku bergegas masuk kembali ke dalam halaman sekolah. Ponsel ku tidak ada henti-hentinya berbunyi. Aku mengabaikan semua panggilan dan sms masuk yang ada. Kenapa aku harus ada pada situasi seperti ini. Aku mencoba melihat keluar di sekitar. Ternyata mereka sudah pergi. Lega rasanya. Aku kembali masuk ke dalam halaman sekolah menenteng tas ranselku.
"Kenapa kamu sepertinya tidak suka aku datang?"
Aku langsung menoleh dan memastikan apa ini benar suara kak Aeis?
"Kakak!!"
"Apa kabar, Dek?" Sambil mengacak-acak rambutku dan aku masih saja terdiam dan hanya memandangnya.
"Lapar kan? Belum makan? Ini." Menyodorkan tas plastik yang aku kenal sekali aromanya. Chikenyum. Ah, benar-benar menggoda aromanya. Makanan favoritku, lapar.
"Duduk. Makan dulu aku temenin." Menyeretku disalah satu bangku taman sekolah. Kak Aris dengan cepat membuka tas kresek itu dan menyodorkan kepadaku.
"Makan. Habiskan." Sambil tersenyum tanpa rasa bersalah sedikitpun. Masa bodoh lah. Aku lapar. Masalah bisa dibicarakan nanti setelah perutku terisi. Dia sangat tahu kelemahanku. Makanan enak. Kak Aris hanya memandangiku sambil tersenyum. Rasanya yang berbuat jahat bukan dia, tapi aku. Perasaan apa ini. Sadarkan dirimu Aya.
"Kak..."
"... maaf aku sudah mengabaikanmu selama ini. Ternyata aku sangat merindukanmu."
Gila... apa ini. Kenapa dlam sekejap rasnya sakit hati yang selama ini aku rasakan hilang seketika. Hanya dengan beberapa kata yang gombal banget seperti itu.
"Maaf ya" sambil mengusap-usap keplaku.
Aku tidak bisa berkata apapun. Aku hanya tersenyum dan menganggukkan keplaku. Rasanya duniaku kembali. Sore itu semuanya baik-baik saja. Rasnya udara sejuk sekali.
"Apa??!! Kamu memaafkan dia dengan mudahnya?!" Teriak Driyan ditelfon.
"Hei. Jangan teriak seperti itu. Aku juga marah lho sama kamu."
"Em, jangan diungkit lah. Iya maaf aku sudah jahatin kamu. Bohongin kamu. Janji gak akan ulangi."
"Ah. Laki-laki itu semua sama. Pembohong, bermulut manis."
"Tapi kamu suka kan!!!" Godanya.
"Ih... apaan sih."
"Cie...cie... sudah ketawa. Aku juga dimaafkan nih."
"Aku gak pernah marah kali. Cuma kesal aja."
"Hm, gitu dong. Miss u. Besok kan ujian nasional. Semoga lancar sukses dan lulus dengan nilai yang bagus ya."
"Amin. Siap. Doakan ya."
Keadaan sudah kembali seperti semula. Aku, dia, dan dirinya. Aku menjalani ujianku dengan penuh semangat. Tinggal menunggu hasilnya. Pengumuman SNMPTN juga sudah diumumkan, tapi sayangnya aku belum berhasil. Aku mempersiapkan diri untuk bimbingan ke luar kota. Seperti yang aku rencanakan dulu. Hubunganku dengan Driyan pun sudah berakhir. Kita kembali menjadi sahabat lagi. Tapi sebenarnya aku masih sangat menyukainya. Benar-benar menyukainya. Driyan sempat tidak mau ini berakhir, tapi komitmen tetaplah komitmen dan harus diakhiri.
"Kak. Aku harap kamu mendapatkan apa yang kamu impikan." Pesan dia sebelum aku berangkat ke tempat kos ku di luar kota.
"Aku harap kamu juga mendapatkan impianmu itu ya."
Driyan memelukku erat. Serasa enggan melepaskannya.
"Heisudah. Lepas ah. Kita masih bisa ketemu kalau kakak libur. Akan aku temani kamu main basket sampai kamu puas."
"Janji ya." Sambil tersenyum girang.
Aku menjalani masa-masa bimbel ku untuk persiapan SBMPTN. Tempat bimbelku tidak jauh dari kampus kak Aris. Sesekali aku diajak dia ke tempat kosnya. Entah ini tangan jahil sekali. Ketika Kak Aris membelikan makanan buatku. Aku tidak sengaja menyalakan komputer yang ada dihadapanku. Aku buka-buka tiap folder yang ada. Banyak sekali gambar desain rumah yang indah. Namun, ada satu folder yang janggal dan tidak wajar menurutku. Aku mencoba membuka folder itu dan ingin tahu isinya. Ketika aku buka, ternyata... ini kah penyebab dia mengabaikanku selama ini. Seketika itu aku merasa sangat malu karena terlalu banyak berharap. Ternyata ini sebuah kesalahan yang tidak seharusnya terjadi.
"Makanan datang. Lagi apa dek?"
"Mau main game kak." Bohongku.
"Kak, bisakah aku kembali ke tempat kosku. Ini teman-teman ngajakin ke toko buku buat diskusi nanti malam."
"Owh. Begitu. Baiklah. Makan dulu ya. Sayang udah tak belikan lho ini."
Sepanjang jalan aku hanya diam dan berasa aneh. Kak Aris hanya memandangiku dari kaca sepion motornya. Aku sesekali melihat tatapan matanya yang seolah curiga akan sesuatu, tapi aku mencoba menghilangkan rasa curiganya itu.
"Makasih kak, sudah diantar dengan selamat. Kakak hati-hati ya baliknya. Maaf aku tidak memintamu mampir, karena aku buru-buru."
"Iya tidak apa-apa. Aku pergi. Daa.."
Ternyata ini jawaban atas semua ini. Aku sudah tahu. Aku tahu diri. Aku hanya butuh waktu yang tepat untuk menyelesaikannya.
"Hai gingsul. Dari mana aja kamu?" Suara teriakan Fian dari kos seberang. Fian ini teman dari sekolah lain kebetulan satu tempat bimbel denganku. Dia teman dari teman satu kosanku. Dia ini anak yang jahil dan lucu. Dia selalu memanggilku gingsul. Menyebalkan kan!!
"Pacarmu yang tadi?"
"Bukan, hanya kakak kelas."
"Bohong... tampan juga. Seleramu bagus juga."
"Hei ndud. Sudah sana. Panggil yang lain katanya mau ke toko buku."
"Cie.. cie... mengalihkan pembicaraan."
Aku di sini memiliki teman-teman baru yang sangat menyenangkan. Teman satu kos yang kompak. Bermacam-macam karakter dan beda sekolah. Semoga ini menjadi awal yang baik.
"Aya, sini ikut aku sebentar." Fian menarikku paksa agar aku mengikutinya.
Fian ini anaknya tidak begitu tampan, tidak populer di sekolahnya, bisa dibilang norak sih. Tapi dia ini lucu banget.
"Hei. Fian, mau kamu bawa ke mana Aya?" Teriak Diana.
"Tenang, kamu nanti pasti akan tau."
Anak ini selalu menjahiliku. Ada saja yang dia lakukan untuk membuatku kesal tapi ujung-ujungnya aku tertawa karena kenorakannya itu.
"Ngapain kamu bawa aku ke tempat seperti ini?"
"Cinn, tolong ubah dia jadi gadis manis ya." Perintahnya pada salah satu perugas salon kecantikan.
"Heiii... norak." Teriakku yang tidak dihiraukan oleh Fian.
"Diamlah. Sudah ikuti saja apa yang dilakukan sama mereka. Aku keluar sebentar."
Selama 1 jam aku berada di salon ini. Apa saja yang sudah dilakukan sama mbak-mbak salon ini padaku. Fian juga belum kembali. Siapa yang bakal bayarin ini semua? Gila masak aku? Pas-pasan ini uangnya. Tak lama Fian muncul sambil membawa beberapa tas kresek.
"Sudah selesai?"
"Sudah bos." Jawab petugas salon.
"Ganti bajumu." Menyodorkan beberapa tas kresek dan mendorongku ke ruang ganti.
Apa-apaan ini si Fian?! Menyuruhku ini itu. Siapa dia berani seperti itu. Tapi anehnya aku nurut saja sama dia.
"Gimana? Ini aja ya?"
"Perfect" Fian memandangiku tanpa berkedip.
"Kamu macan sekali hari ini."
"Macan?"
"Manis cantik."
Sontak aku tertawa. Anak ini gila. Norak. Bagaimana bisa ada orang norak kayak gini.
"Dandan kayak gini, biar pacarmu yang tadi gak malu jalan sama kamu.
Udah dibilang bukan pacarku, masih aja ngeyel.
Bodoh, ah. Aku lapar. Makan yuk. Kamu yang traktir uangku habis buat beliin kamu tadi."
"Siapa suruh?!! Tapi terima kasih."
"Sama-sama. Ayo makan." Rengeknya.
Aku sudah memikirkan matang-matang apa yang harus aku lakukan pada kak Aris. Aku memintanya datang ke kafe sebelah tempat lesku. Selang beberapa menit aku menunggunya datang. Kulihat dia dengan senyum ramahnya itu menghampiriku.
"Tumben ngajak ketemu dijam begini. Kamu bukannya harus ada jam les? Sebentar kamu hari ini beda dek? Kamu dandan!!"
"Ah, ini kerjaan teman-temaku kak."
"Tapi kamu cantik dek. Kenapa tidak dari dulu kamu kayak gini?"
"Bukannya Kak Aris suka sama Aku karena Aku unik ya! Oke, sekarang Aku tahu harusbagaiman. Aku mau bicara serius sama kakak."
"Bukan begitu maksud kakak, Dek!
"Gak apa-apa kok, Kak. Maafkan aku yang selama ini ke-PD-an. Aku tidak akan lama-lama karena 10 menit lagi aku harus masuk kelas. Aku cuma mau bilang. Maaf aku harus putus sama kakak."
Raut wajah kak Aris saat ini sangat membuatku tidak tahan. Rasanya aku masih tidak rela untuk mengatakan ini. Biarlah aku yang jadi jahat dalam cerita kita. Kalau aku tidak mengakhiri cerita ini, tidak hanya aku yang terluka tapi ada gadis lain juga yang akan terluka. Gadis yang ada difoto bersamanya yang aku lihat dikomputer milik kak Aris. Mereka sangat serasi. Kelihatannya kak Aris sangat bahagia ketika bersama gadis itu. Maafkan aku. Sebelum kakak yang memutuskan ini. Biar aku yang memilih jalanku.
"Kamu kenapa dek? Apa gara-gara ucapanku tadi!"
"Enggak kak, beneran enggak. Aku hanya menyukai cowok lain kak. Dia sekarang sedang menungguku di seberang sana." Aku menunjuk Fian yang sedang berada di depan gerbang tempat kita les. Sebenarnya bukan suatu kebetulan. Aku tadi sms Fian. Aku minta dia menungguku di depan gerbang, karena aku harus bertemu seseorang dulu di kafe depan. Fian melmbaikan tangannya. Aku mencoba membalas lambaiaan tangannya.
"Benarkah kamu sudah..."
"... maaf kak. Ini keputusanku. Selamat tinggal. Aku harap kita masih bisa berteman."
Saat itu rasanya seperti tersambar petir. Aku mencoba kuat dan membendung air mata. Namun, kekuatanku ternyata tak sehebat itu. Aku menangis di depan Fian.
Persaingan untuk masuk perguruan tinggi sudah siap dimulai. Tinggal 1 minggu lagi. Aku sudah bisa sedikit melupakan kejadin waktu itu bersama kak Aris. Berkat teman-teman baruku.
"Teman-teman. Ternyata aku diterima di universitas lain waktu SNMPTN. Aku dapat undangan tertulis untuk melakukan registrasi. Tapi jurusan itu tidak aku minati sama sekali."
"Astaga Aya. Kamu itu beruntung tau. Kalau aku jadi kamu. Aku bakalan milih itu. Sudah pasti itu Aya." Tandas lisa
"Iya. Ambil saja Ay." Tambah Novi antusias.
"Iya. Kata orang tua ku juga begitu. Mereka ingin aku tetap registrasi. Tapi aku juga masih boleh ikut tes ini sama kalian."
"Nah itu. Ikuti deh apa kata orang tua mu Ay. Kita di sini masih tes belum tentu kita masuk." Tambah Diana
Aku segera pulang saat itu juga. Aku harus melakukan registrasi ke universitas itu. Aku tidak tahu kalau universitas ini juga sangat favorit dikalangan siswa SMA. Katanya aku cukup beruntung diterima di universitas ini.
"Kak. Apa kabar?" Ada sms masuk dari Driyan.
Aku sangat terkejut dan sangat terharu ketika mendapat sms dari dia. Secara dia habis dikarantina karena impiannya terwujud. Dia lolos dan ikut turnamen bola basket tingkat nasional.
"Kabar baik. Kamu sudah boleh pegang hp?" Balasku cepat.
Driyan tidak membalas sms ku, tapi dia langsung menelfon ku.
"Halo kak. Senang bisa mendengar suaramu lagi."
"Aku juga senang sekali. Bagaimana? Bagaimana? Cerita dong!"
"Ceritanya panjang kakak sayang. Kalau kita ketemu bakalan aku ceritakan A sampai Z. Tunggu aku pulang ya. Gimana kuliahmu?"
"Aku sudah keterima SNMPTN dek. Jurusan yang aku ceritakan dulu padamu."
"Selamat ya. Kak, nanti aku sambung lagi. Ini kita mau jalan dlu."
Driyan. Dia masih baik saja seperti dulu. Suaranya manjanya itu tidak pernah berubah. Seperti apa dia sekarang. Hampir 3 bulan aku tidak komunikasi dengannya. Bukan karena sengaja, tapi dia tidak boleh membawa alat komunikasi apapun selama karantina.
"Aya. Lho kamu masih pakai piyama?"
"Lho emangnya ada apa, Na?"
"Sudah buruan ganti baju. Cepet cepet."
Bodohnya Tanpa bertanya aku langsung menuruti apa kata Diana. Bergegas aku ganti piyamaku dengan kaos oblong dan celana.
"Aya, kamu dicari Fian!" Panggil Lisa dari luar pintu kamar.
"Fian??"
Aku semakin penasaran, kenapa Diana menyuruhku ganti pakaian? Kenapa Dian tiba-tiba mencariku? Ada apa sebenarnya.
"Sudah siap? Kalau sudah ayo pergi?"
"Pergi?"
Aku sempat bingung. Dari belakang pintu teman-teman kosku pada tertawa cekikikan.
"Sebentar Fi, aku masuk dulu."
Aku masuk ke kamar dan ingin meminta penjelasan dari teman-teman resekku.
"Apa-apaan ini?"
"Hahaha... ssttt. Sudah pergi sana sama Fian. Tadi kita ketemu dia. Kita jahilin dia. Habisnya kalau sama kita pelit amat. Dia baiknya sama kamu aja Ay."
"Terusss..."
"Kita bilang Aya pengen beli martabak spesial. Tapi gak ada yang mau anterin. Kita bilang saja sama Fian buat anterin kamu."
"Resek ya... kalian yang ngidam aku yang jadi umpan."
"Pleasee..." Rengek mereka semua.
"Dasar... baiklah aku berangkat."
"Si Fian gayanya gak nahan. Pakai kaos berkerah, di masukkan, pakai ikat pinggang, celana kain. Aduh makk, necis amat." Ledek lisa
"Jahat kalian" timpalku agak kesal. Tapi aku tahu mereka tidak berniat jahat padaku.
"Kenapa waktu itu kamu menangis setelah dari kafe itu, Ay?"
"Perlu ya aku ceritakan sama kamu, Fi?"
"Aku sih tidak ingin tahu sebenarnya. Tapi kamu menangis di depanku."
"Maafkan aku, Fi."
"Tidak usah diceritakan kalau memang gak mau cerita."
Kadang Fian yang norak ini bersikap sangat dewasa. Dia bijaksana dalam menanggapi suatu permasalahan. Diantara teman-temannya yang lain dia memang terlihat paling norak. Namun, untuk ukuran kedewasaan Fian juaranya.
"Fian. Kamu mau aja sih dikerjain sama teman-teman."
"Aku tidak merasa dikerjain kok. Kan kamu juga senang dibelikan martabak telor spesial."
"Widihhh... siapa juga yang senang."
"Dia itu pacarmu ya? Kalian bertengkar? Apa kalian putus? Ganteng lho dia."
"Fiaaannn... katanya tadi gak kepo. Kenpa tanya lagi."
"Haha... maaf habisnya masih penasaran."
"Dia sekarang sudah jadi mantan pacarku. Puas!!"
"Owh, baguslah."
"Eh. Ini anak, ledekin aku ya. Marah nih Marah."
"Mau marah tapi bilang-bilang. Dasar gingsul."
Pertempuran bersaing untuk masuk perguruan tinggi favorit sudah dimulai. Sialnya kenapa tempat tes ku ada di kampus kak Aris. Semoga saja dia tidak muncul dihadapnku. Bagaimanapun aku tidak boleh lengah hanya gara-gara masalah ini. Anggap saja ini ujian terberat selama hidupku dan aku harus melewatinya.
"Selesai juga tesnya. Sangat tidak mudah mengerjakan soal-soal tadi." Keluhku sambil membereskn peralatanku.
"Kamu tes di sini dek?"
"Astaga" aku benar-benar terkejut. Suara ini tidak asing, jangan-jangan?!
"Kak Aris!!!"
Seperti biasa dia tersenyum renyah kepadaku. Tapi sayangnya aku tidak bisa membalas senyumnya dengan tulus. Rasa sakit itu akhirnya kembali kepermukaan. Aku tidak tahu harus bagaimana memulai untuk bicara.
"Sayang... kamu kenal sama dia?" Tiba-tiba ada gadis dari belakang kak Aris dan menggandeng tangannya.
"Oh, ini adek kelasku waktu SMA."
"Owh. Hai."
"Hai, juga. Baiklah kak. Aku permisi dulu ya."
"Iya hari-hati." Sambil menjulurkan tangannya ke arahku. Mau tidak mau aku meraih tangan itu. Tangannya masih lembut seperti waktu itu. Aku bergegas melepaskan tanganku dari tangannya dan pergi dari situ. Itu gadis yang aku lihat dikomputernya. Ternyata gadis itu satu kampus dengannya. Pantas saja. Remuk rasanya. Semoga ini bukan menjadi hari yang buruk buatku.
Pandangan mata kak Aris tadi saat melihatku masih terngiang dipikiranku. Seolah dia ingin mengatakan sesuatu yang tertahan dibibirnya. Aku kalah kali ini. Aku menangis sejadi-jadinya.
"Gingsul. Kamu boleh menangis di depan ku. Tapi hati-hati jangan menangis di tempat umum seperti ini."
"Fian" aku melanjutkan tangisanku.
"Bodoh. Untung saja badanku besar bisa menutupi badanmu yang kecil ini yang sedang menangis. Astaga."
"Maafkan aku. Aku tidak tahan untuk tidak menangis."
"Kak Aya ada?"
"Mau cari Aya?"
"Iya. Benerkan ini kosnya kak Aya?"
"Bener. Sebentar." Lari masuk ke kamar.
"Ay. Gila bener ada cowok ganteng nyariin kamu lho."
"Jangan bercanda. Paling juga Fian. Hahaha."
"Beneran. Aku gak bercanda Ay. Buruan dah keluar."
Dengan langkah kaki malas aku turun dari tempat tudur. Aku tengok di teras. Tidak ada siapa-siapa, ah si Lisa bohongin aku. Tapi tadi aku emang denger sih ada yang ketuk pintu. Tapi gak ada orang.
"Kak Aya." Tiba-tiba muncul dari samping rumah. "Eh. Maaf aku pikir kak Aya."
Mungkin Driyan pangling melihatku dengan perubahan penampilang yang dibuat oleh Fian waktu itu. Aku hanya tertawa kecil melihat tingkah Driyan.
"Maaf. Kak A..."
"Astaga!!! Driyan?? Ini Aku. Jangan bercandabegitu kayak orang amnesia."
"Kak Aya?? Beneran!! Kok. Feminim."
"Kejutan."
"Harusnya aku yang membuat kakak terkejut. Tapi malah aku yang terkejut."
Si Manja ini masih sama seperti lalu-lalu. Sebenarnya Aku sungguh terkejut dan benar-benar terkejut sampai tidak mempersilakkan dia duduk.
"Sial. Jauh-jauh aku dibiarkan berdiri."
"Eh. Maaf. Ayo duduk Sini."
"Nah... gitu dong. Minumannya mana."
"Astaga kamu ya... datang-datang tapi resek."
Kedatangan Driyan sungguh tidak disangka-sangka. Tiba-tiba dia muncul dihadapanku. Dia dapat alamat kos ku dari mana coba. Apa aku yang lupa udah kasih tau dia sebelumnya. Aku sangat merindukan anak manja yang satu ini. Saat ini aku benar-benar terhibur oleh kedatangannya. Dia menceritakan kegiatannya waktu dikarantina. Dia sangat bahagia. Dia juga terlihat jauh lebih tampan dari sebelumnya. Yang paling penting, dia sudah agak dewasa sedikit.
"Yan. Kamu sudah nemuin pacarmu?"
"Kenapa tiba-tiba tanya itu?"
"Ya iyalah, orang pertama yang ingin ditemui ketika kembali ya orang yang disayangi lah."
"Berarti aku menyayangimu. Aku menemuimu lho."
"Huuuu... mulai mulai."
"Aku putus sama Dia. Aku tidak bisa pacaran sama orang yang hanya bisa menghalangiku dan tidak mendukungku."
"Driyan. Apa yang kamu lakukan. Manusia bisa berubah."
"Nggak. Itu pilihanku. Sudah jangan bicarakan itu. Aku ke sini itu karena merindukanmu. Bukan untuk membahas anak itu."
Kehadiran Driyan yang secara tiba-tiba membuatku kembali bersemangat. Driyan hanya mampir untuk beberapa waktu. Dia tidk bisa lama, karena dia bersama clubnya.
"Ay. Itu kan pemain basket yang di TV kemarin kan?"
"Ah. Masak sih."
"Ahhhh... kenapa kamu dekat dengan cowok-cowok keren sih. Irikan aku." Rengek Lisa.
"Sudah ah hanya kebetulan."
"Kapan hari sama kakak ganteng yang di kampus itu. Sekarang sama pemain basket. Habis ini siapa lagi coba?!"
"Hei hei sudah hentikan. Gajahku lebih mempesona." Tindas Diana.
"Huuuu mana ada kecap nomor 2."
"Wah. Fian lihat nggak ya tadi. Saingannya berat."
"Apa? Fian? Saingan? Sama siapa?"
"Ups. Keceplosan. Enggak lupakan."
Kita di sini hanya tinggal 2 minggu lagi. Setelah itu kita kembali ke rumah masing-masing sambil menunggu pengumuman hasil tes.
"Aya. Tadi itu yang ikut Timnas bola basket kan ya?" Tanya Ariya.
Ariya ini julukannya 'Gajah'. Diana sangat menyukai si Ariya. Tapi Ariya tidk pernah peka terhadap perasaannya Diana. Diana sangat menjaga sekali perasaannya agar tidk begitu terlihat oleh siapa pun. Hanya aku dan lisa yang tahu betapa Diana menyukai Ariya.
"Em. Iya Ar. Kamu kok kenal dia?"
"Enggak kebetulan aku dulu juga mantan Atlet basket. Tapi sekarang sudah nggak. Waktu seleksi kebetulan aku lihat dia."
"Owh, begitu."
"Dia adik kelas mu kan? Kalian sepertinya dekat."
"Oh.. enggak kebetulan saja aku sama dia sering main basket kalau pulang sekolah."
"Cowok ganteng lagi. Nangis lagi lho." Sahut Fian.
"Siapa Fi?"
"Bukan siapa-siapa Ar, aku cuma ngomong sendiri aja. Ayok katanya mau beli makan. Nitip gak Ay?"
"Em, nggak kalian aja."
Menyebalkan sekali hampir saja Ariya tahu. Dasar Fian ember. Godain mulu. Tak seharusnya aku berbuat bodoh menangis. Tapi sesekali menangis itu tidk apa-apa. Karena dengan menangis hati akan merasa sedikit lega. Pada akhirnya kita kembali ke rutinitas masing-masing. Bimbel sudah usai. Suasana kos juga sudah tidak ada lagi. Mungkin aku tidak terlalu berharap dengan hasil yang akan aku peroleh. Karena aku sudah masuk di salah satu universitas favorit waktu SNMPTN. Mungkin teman-temanku masih menunggu dan sedang harap-harap cemas menantikan hasil tesnya keluar.
"Aku lolos Ay." Teriakan si Diana.
"Aku juga" sahut Lisa.
"Bagaimana denganmu Ay?"
"Gak ada namaku." Jawabku biasa saja.
"Ah. Kamu nggak ada sih gak masalah. Kamu udah diterima di universitas itu."
"Hehehe. Iya. Tapi kita akan terpisah. Aku di utara. Lisa di timur. Diana sama novi di selatan. Tapi aku bahagia kalian semua lolos."
Waktu pengumuman ternyata aku gagal. Namun tidak apalah, universitas yang akan aku tempati nanti juga universitas yang cukup favorit sih. Entah tiba-tiba aku kepikiran Fian.
"Bagaimana hasilmu?" Sms ku padanya.
Dia tidak pernah membalas sms dariku. Entah ke mana dia. Jejaknya tiba-tiba hilang begitu saja.
Waktu terus berlalu dan berlalu begitu cepat. Sudah hampir satu tahun aku menjalani masa kuliahku. Rasanya dunia berputar begitu cepatnya.
"Apa kabar kak?" Sapa ketua OSIS kepadaku.
Ada acara pensi di sekolahku dulu. Kebetulan alumni mendapat undangan untuk ikut meramaikan acara pensi.
"Kakak bucin." Bisik seseorang yang sangat aku kenal.
"Jangan panggil aku bucin. Anak kuliahan ini."
"Gayamu kak. Percaya yang udah kuliah." Sambil duduk di sebelahku dan merangkul pundakku seperti biasa.
"Hei manja. Ini sekolah. Lepas."
"Bodoh amat lah kak. Suka-suka aku lah."
Ini anak emang suka seenaknya sendiri. Dari jauh ada yang memandangiku dan Driyan. "Kak Aris!!"
"Mana?" Sambil menolehkan keplanya kekanan dan kekiri.
"Aku harus pergi dek. Ketemu nanti ya di rumah."
"Nggak, jangan pergi. Aku butuh penjelasanmu kenapa kamu menghindarinya!"
Driyan menahanku. Bahkan dia membawaku ke belakang panggung untuk bertemu dengan kak Aris.
"Lepas kali Yan. Jangan bertindak bodoh."
Aku mencoba melepaskan genggaman tangan Driyan. Tapi sudah terlambat. Kak Aris berada tepat di depan kita.
"Hai kak." Sapa Driyan.
"Hai. Kalian juga di sini?"
"Em. Anu... aku sudah mau balik kok."
"Kalian marahan? Kenapa gak dayang bareng?"
Mulut Driyan emang gak bisa direm. Kacau ini, pasti aku yakin akan terjadi seauatu yang buruk."
"Kita udah putus."
Mimik wajah Driyan langsung berubah. Dia seolah tidak percaya dengan apa yang kak Aris katakan.
"Aya sudah mengakhiri hubungan kita."
"Hubungan siapa yang berakhir? Jelaskan padaku?" Tiba-tiba suara itu muncul dari belakangku. Rina.
Astaga apa ini!! Hari ini harusnya hari yang menyenangkan. Ini pesta sekolah. Bahkan bisakah ini disebut pesta kalau kejadiannya seperti ini.
"Rina. Rina. Dengarkan aku."
"Nggak Ay. Kamu... sama Kak Aris?! Gak mungkin, kamu bohong kan Ay?"
"Nggak Rin. Aku pernah memintanya untuk menjadi pacarnya." Jujur kak Aris.
"Kalian mempermainkan ku. Kalian tahu kan aku suka banget sama kak Aris."
Rina bergegas meninggalkan kita. Kacau sekali hari ini. Tanpa berkata apa-apa aku mengikuti jejak Rina meninggalkan mereka.
"Kak. Kak. Ku mohon berhentilah. Bicaralah padaku." Driyan mencegahku sebelum aku keluar dari gerbang samping sekolah.
"Mau apa lagi sih. Sudah cukup hidupku kacau karena kalian."
"Kakkk, maaf aku tidak tahu kalian sudah putus. Kenapa kamu tidk cerita padaku?!"
"Untuk apa? Agar aku bisa terlihat menyedihkan?!"
"Bodoh, kau anggap apa aku selama ini kak? Pernahkah kau melihatku sekali saja sebagai seorang pria?!"
"Aku..."
Driyan memelukku erat. "Maafkan aku kak, perasaan ini benar-benar tidak bisa aku kendalikan."
"Apa yang kalian lakukan?"
Suara itu!! Disty. Aku mencoba melepaskan diri dari pelukan Driyan.
"Ini tidak seperti yang kamu lihat, Disty." Belaku.
"Jadi karena ini kamu meminta putus dari ku Driyan? Karena kak Aya!! Jadi selama ini kalian berdua bukan sekedar sahabat? Kalian... jahat ya. Benar-benar jahat kalian." Disty berlari entah ke mana. Driyan hanya diam saja tanpa kata.
"Astaga. Kekacauan macam apa ini?!"
"Ayo aku antar pulang."
"Sudah biarkan aku sendiri. Jangan menyentuhku, cukup atas kekacauan ini."
Rasanya hari ini berat sekali bagiku. Ingin ku putar ulang waktu di mana aku masih belum mengenal mereka.
"Kenapa kamu gak bilang sama aku kalau kalian dulu pacaran, Ay?"
"Maafkan aku, Rin. Aku hanya tidak mau melihatmu terluka. Tapi malah semua jadi kacau seperti itu. Maafkan aku ya Rin."
"Sudahlah Ay. Itu masa lalu. Cinta monyet kita. Aku sudah memaafkanmu."
"Makasih ya Rin."
Hidup memang penuh lika liku. Itu yang akan membuat hidup jadi lebih berwarna. Hanya saja tinggal bagaimana kita menjalaninya.
"Kak Aya kan?" Sapa seseorang memastikan benar aku atau bukan.
"Siapa?"
Dia melepaskan kacamatanya. "Aku kak, Driyan."
Betapa kagetnya aku seketika itu. Semenjak kejadian itu aku mengganti nomor ponselku. Menutup akun media sosialku. Mengganti semuanya dan mencoba menghilang dari kehidupan mereka. Kenapa ini Driyan ada di hadapanku!!
"Lama sekali aku tidak melihatmu." Sambil duduk dikursi yang berada di depanku.
"Iya." Canggungku.
"Kamu bersama seseorang?"
"Iya. Aku sedang menunggu seseorang."
"Pacarmu?"
"Tunanganku."
"Hebatnya kamu kak. Aku yang selama ini mencarimu, masih mengharapkanmu, memendam rasa bersalah kepadamu yang begitu besar. Dan. Ketika kita dipertemukan. Kamu sudah menjadi milik orang lain? Selama ini ternyata hanya Aku yang terlalu menyukaimu, hingga aku hamper gila mencari keberadaanmu. Sekarang kamu ada dihadapanku, tapi semua sia-sia, Kamu sudah bertunangan!!"
"Driyan..."
"Apa Tuhan sudah merencanakan hal ini?! Kenapa bukan aku yang disamping mu saat ini. Jujur pernahkah kamu menyukaiku sedikit saja? Bahkan hanya sebetar! Melihatku sebagai seorang pria, bukan hanya sahabatmu bahkan sebagai adikmu?"
"Driyan. Ku mohon!"
"Aku gak bercanda kak. 3 tahun ini kamu menghilang. Tahu nggak aku mencarimu. Mencari tahu tentangmu. Aku bahkan hampir menyerah akhir-akhir ini. Tapi Tuhan mempertemukan kita di sini. Dengan status barumu 'Bertunangan' hebatnya."
"Driyan..."
"Kenapa!! Bukan aku!! Jelas-jelas kamu tahu. Aku menyukaimu dari dulu. Baca." Driyan menyodorkan ponselnya ke arahku. Aku membaca pesan yang dia kirimkan untukku dinomor ponselku yang lama. Banyak sekali. Bahkan curhatan-curhatannya. Masih tersimpan didraf pesannya. Aku hanya bisa terdiam. Hampir saja air mata ini menetes tapi aku harus bisa menahannya. Aku tahu ini tidak akan pantas dilakukan gadis yang sudah bertunangan. Ini akan membuatku goyah.
"Itu masa lalu. Lupakan aku dan aku harap kamu menemukan seseorang yang bisa memahamimu." Sambil aku hapus satu draf yang isinya pesan singkat kepadaku.
"Apa itu yang kamu mau? Mudah ya bagimu!"
"Iya, itu pilihanku. Kamu harus menghargainya. Aku sudah bertunangan dengan seseorang. Maafkan aku."
Driyan meraih tanganku. "Apakah kamu yakin?"
"Driyan. Kumohon. Hentikan. Aku tidak akan merubah keputusanku."
Driyan perlahan melepaskan genggamannya dijariku. Dia menghela napas dalam-dalam. Dia berdiri. Menatapku. Aku pun berdiri berbalik menatapnya.
"Terima kasih telah membiarkanku menyukaimu selama ini. Baiklah. Hari ini, di sini aku akan berhenti menyukaimu."
Rasanya jantungku berhenti berdetk. Terasa seperti es membekukan tubuhku. Aku hanya bisa melihat Driyan bernjak dari hadapanku.
"I Miss You so much Driyan. Maafkan aku harus memilih ini. Karena ini yang terbaik menurutku." Batinku yang kala itu teriris-iris rasanya. Mengapa Tuhan harus mempertemukanku dengannya lagi disaat Aku sudah baik-baik saja. Kini, perasaanku jadi sedikit goyah. Namun, saat ku lihat sosok laki-laki yang ada di seberang sana, sedang melambaikan tangan dan menebarkan senyuman manisnya yang tulus. Dialah yang akan menjadi masa depnku kelak. Laki-laki yang pernah melindungiku dari rasa sakit. Laki-laki yang hanya aku kenal sebentar tapi menumbuhkan kesan yang mendalam. Laki-laki yang tanpa aku tahu kalau dia adalah anak dari sahabat orang tuaku. Laki-laki yang tidak disangka-sangka pernah berjung bersamaku meraih impian. "Fian" aku melambaikan tanganku. Aku tidak akan pernah menoleh kebelakang. Karena dia adalah masa depanku. Semua orang mempunyai masa lalu. Tapi masa depan adalah milik kita.(THE BEST THINK)
-Tamat-
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE IS NOT A CHOICE
Teen Fiction... "Kenapa!! Bukan aku!! Jelas-jelas kamu tahu. Aku menyukaimu dari dulu. Baca." Driyan menyodorkan ponselnya ke arahku. Aku membaca pesan yang dia kirimkan untukku dinomor ponselku yang lama. Banyak sekali. Bahkan curhatan-curhatannya. Masih tersi...