Fatimah mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Motor matic keluaran 2009 itu terlihat usang dan butut. Ya maklum, gajinya sebagai guru honorer SD belum mampu untuk membeli motor baru. Yang penting, motor bututnya itu masih sanggup melewati medan jalan di daerahnya yang rusak dan berlubang. Andaikan hujan, lebih mirip kolam ikan daripada jalan antar kota. Padahal, pemilu sebentar lagi dilaksanakan, tapi jalanan rusak semakin mangkrak. Apakah yang bertanggung jawab tidak malu kerjanya dinilai gagal?
Pemilu akan dilaksanakan tahun depan. Partai politik berlomba-lomba menawarkan citra diri masing-masing. Baliho elit partai pun dipasang besar-besaran, menjual kalimat manis untuk merayu masyarakat mengabdikan hak pilihnya. Bendera merah dan kuning adalah dua bendera paling mendominasi di daerah Fatimah. Berkibar di kanan dan kiri jalan seolah saling menunjukkan siapa yang paling superior.
Kurang lebih lima belas menit perjalanan dari tempat Fatimah mengajar sampai di rumah. Sesampainya di rumah, ia disambut Suprih, ibu kandungnya yang tengah memberi makan kucing peliharaan mereka.
"Assalamu'alaikum, Mak." Ucap Fatimah memberi salam.
"Wa'alaikumsalam. Udah pulang, Nduk?" tanya Suprih.
"Sudah, Mak. Bapak kemana?"
Fatimah mencari bapaknya di setiap sudut ruangan. Biasanya jam-jam siang begini bapaknya itu sedang tidur di lincak bambu, namun dilihatnya hari ini ia tidak ada disana.
"Bapakmu lagi di rumah Pak RT. Katanya ada pejabat dari kota kesini,"
"Pejabat? Pak Bupati, Mak?" Fatimah penasaran.
"Bukan, itu lho Mah, apa namanya, calon DPRD."
"Oalah, ada kampanye, toh."
"Ya pokok e itu lah!"
Fatimah mengambil piring dan menyendokkan seentong nasi ketika tiba-tiba ibunya itu menyeletuk.
"Bapakmu tadi lho semangat banget. Wong kampanye nggak bikin kita kaya. Ya to, Cing?" tanya Suprih pada Sicing, kucing peliharaan mereka yang dibalas dengan suara mengeong.
"Cing Cing..., dokan anakku Fatimah sukses, ya. Biar bisa ngasih kamu makanan enak,"
Fatimah menggeleng mendengar ucapan ibunya.
"Mak, minta doa itu sama Gusti Allah, bukan sama binatang." Kesal Fatimah.
"Lho belum tau kamu, doa kucing untuk pemiliknya itu bisa diijabah,"
Fatimah menghela nafas. Perempuan setengah baya itu memang keras kepala. Fatimah mengakui, lebih mudah mengajar anak SD daripada orang tuanya, apalagi Suprih, ibunya. Fatimah selesai mencuci piring, ketika bapaknya itu datang dengan tergopoh-gopoh seperti dikejar setan. Di belakangnya diikuti Fajar, kakak laki-lakinya. Pakaian Fajar basah kuyup dari batas pinggang ke bawah. Fatimah yakin kakaknya itu baru pulang ngancul[1], pekerjaan yang dilakukannya setiap hari. Rumah mereka berada di daerah waduk, sehingga mencari ikan adalah sumber penghasilan. Ikan yang didapat kemudian di jual pada pengepul ikan atau kadang dijual sendiri di pasar.
"Ada apa to, Pak? Lari-lari kaya dikejar hutang,"
"Bukan hutang Bu, ini duit. Duit, Bu!" teriak bapaknya semangat seperti baru saja menang lotre.
KAMU SEDANG MEMBACA
50 Juta
Short StoryFatimah adalah seorang guru honorer SD. Ia dikelilingi keluarga yang sangat keras kepala. Suatu hari, musibah menimpa keluarga Fatimah. Tiga ratus ribu melayang, 50 juta yang dijanjikan hilang.