"Nafis istriku, kami sudah menikah di kota. Pernikahan kami sah dan dia istri sesungguhnya bagiku. Sedangkan kau, bagiku kita hanya kawin kontrak." Syarif bicara dengan tangan terus menggenggam jemari seorang wanita di sampingnya.
Zahra yang belum genap sebulan dihalalkan oleh Syarif berdiri mematung di lobi hotel. Perona merah di pipinya tak bisa menyamarkan keterkejutan akan kabar yang baru saja didengar. Nafis istri Mas Syarif? pikirnya.
Satu bulan yang lalu sebuah lamaran datang ke rumah Zahra. Gadis yang baru menyelesaikan pendidikannya itu tak kuasa menolak perintah ayahnya. Selain karena masih ingin menggapai cita-cita, dia juga belum mengenal pria yang akan menjadi imamnya.
"Saat ini Syarif sedang di kota. Kami akan secepatnya meminta dia pulang. Kondisi kakek memburuk dan pernikahan ini tidak boleh ditunda lagi," kata Pak Kusno, ayah kandung Syarif.
"Kami ikut saja apa kata juragan, kalau memang ingin secepatnya, kami juga tidak menolak," jawab Pak Kardi, bapaknya Zahra.
Gadis berjilbab lebar yang sedari tadi berdiri di dekat pintu ruang tengah itu diabaikan. Kedua keluarga tak memberinya kesempatan untuk berpendapat. Seolah-olah dia hanya barang yang diperjual belikan.
Hari yang dijanjikan tiba. Rangkaian prosesi pernikahan dilakukan. Mulai dari pingitan, siraman, hingga ijab qobul. Barulah saat itu Zahra bertemu dengan calon imamnya. Tidak! Pria itu sudah sah sebagai imam dalam bahtera rumah tangga yang akan dijalani oleh Zahra.
Pria bertubuh tegap dengan jambang tipis dan kulit putih bersih itu bak pangeran India dengan balutan busana khasnya—piyama kurta— yaitu atasan seperti jubah selutut dan bawahan dalam bentuk celana panjang.
Zahra yang mengenakan gaun lebar penuh gemerlap dan kerudung panjang di samping sang pria membuatnya tampak seperti Hrithik Roshan dan Aishwarya Rai dalam film Jodha Akbar. Duduk bersanding di atas puadai bak raja dan ratu.
Zahra diam-diam melirik dan tanpa sadar mengagumi wajah tampan suaminya. Senyum Syarif begitu memukau dan membuat Zahra terbius akan pesonanya. Dalam sekejap dia jatuh cinta dan berjanji menjadi istri yang sempurna untuk suaminya.
Pesta megah yang digelar dua hari dua malam itu akhirnya selesai. Zahra langsung diboyong ke rumah besar keluarga Syarif. Wanita lulusan pesantren itu sedikit kesulitan untuk beradaptasi. Pasalnya, Syarif begitu dingin. Sejak akad terucap hingga hari itu, tak ada sepatah kata pun terucap dari bibirnya.
Di dalam mobil keduanya saling membisu, meski duduk berdampingan di kursi belakang. Hanya sopir dan Syam—saudara tiri Syarif—yang asyik mengobrol tentang daerah sekitar. Suasana benar-benar canggung bagi Zahra.
Tiba-tiba Syarif terbatuk-batuk. Dengan cekatan Zahra mengambilkan botol minum. Namun, Syarif mengangkat tangan sebagai tanda penolakan, lalu berpura-pura tidur. Sikapnya itu membuat Zahra malu bukan kepalang. Hingga akhirnya wanita itu memutuskan untuk diam. Meskipun sesekali mencuri pandang.
Dua jam berlalu, mobil sedan putih itu akhirnya masuk ke dalam halaman sebuah rumah besar. Rumah dua lantai dengan kubah besar di bagian tengah bangunan itu begitu indah bak istana. Pilar-pilar besar terlihat di setiap sudut bangunan. Dinding bercat putih bersih menambah kesan klasik pada bangunan itu.
Mobil berhenti tepat di kaki sebuah tangga yang lebarnya sekitar dua meter. Syarif segera membuka pintu dan turun dari mobil meninggalkan istrinya. Namun, tak lama Syam membantu Zahra dengan membukakan pintu di sisi lainnya.
"Terima kasih," ucap Zahra.
"Dengan senang hati Kakak Ipar," jawab Syam.
Zahra masih berdiri di kaki tangga hingga mobil yang mereka naiki berlalu menuju garasi. Wanita itu memandang punggung suaminya yang terlampau dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madu di Bawah Tangan
General FictionSyarif Affan Ghaffar yang telah menikah siri dengan Nafis Fauziah-kekasihnya di kota-menyembunyikan statusnya dari keluarga besarnya di kampung. Dia bahkan menerima perjodohan dengan Ghadis Siti Zahra-gadis pilihan kakeknya-demi mendapatkan hak seba...