remaja. banyak kendala, di tengah maraknya bencana di semesta. kata ku remaja bisa di artikan sebagai seekor angsa putih jelita yang terkena panah si pemburu. meraung kesakitan, tak sanggup, lelah, menangisi semuanya namun berusaha melepas panah dari daksa sesakit apapun itu, akan terus dicoba
sesampainya sang rasa sakit lenyap di tiup sang bayu. aneh, pemikiranku bisa sampai disini memang malam begini pikiran suka beravontur entah kemana, tetapi setidaknya mampu menghibur separuh kehidupan di masa muda tanpa adam dan hawa yang biasanya disebut orang tua.mengoles roti gandum dengan selai aprikot yang lusa aku beli di mini market, dengan tungkai lemas waktu itu seharian banting tulang tanpa ingat penghuni perut sedang mengaduh kesakitan. menyantap selembar roti saja aku sudah sangat bersyukur, lalu bagaimana diluar sana para remaja sering mengeluh dikala mereka; hidup dengan jelita. nirmala, makan dengan semestinya, disekolahkan, tidur dikamar dengan kasur selembut krim bayi. yang penting dari semuanya mereka hidup bersama orang tua, mengapa mereka harus mengeluh? apa yang kurang? tidak kah mereka membuka mata melihat diluaran? manusia itu buta. mereka buta akan hal yang dimiliki, selalu melotot kapan saja melihat apa yang orang lain miliki.
efek siang tadi, aku terlalu banyak meminum kafein tuk menyapu bersih rasa kantuk di kedua netra coklat terang ku. efeknya masih ku bawa hingga pukul dua pagi masih terjaga dengan nyanyian para nokturnal.
selalu pukul dua pagi, nostalgia.
melihat selusin botol yogurt serta polaroid yang aku potret seminggu yang lalu ada malaikat di dalamnya, iya, ia malaikat. malaikat yang menemani ku seminggu dikala berada di siklus terpuruk. aku rindu padanya, ingin mengeluh mengapa seminggu saja sih, ia menemani ku? mengapa tidak selamanya? ku urungkan niat ku mengeluh. lebih baik seminggu daripada sama sekali tak bertemu.ceritera ku, bukan delusi. aku mengalami sebuah hari dimana sang malaikat menyamar sebagai kasir di mini market ketika aku terjaga di jam dua pagi, karna atma gaduh di dalam sini perihal masalah diri.
mari menyelam, kembali pada warsa yang sama. seminggu sebelum hari ini, dimana hari aku mengenang dan merindu.
"nona, jika kau tak bisa menjaga dirimu. maka ijinkanlah aku yang menjaga. ini pukul dua pagi, bagaimana jika ada hal yang tak di inginkan terjadi? orangtua mu pasti akan sakit hati" ujarnya. tepat aku meletakan selusin yogurt yang aku beli di pukul dua pagi, di meja kasir.
"belakangan ini aku sering melihatmu, nona. maaf lancang sebelumnya, tetapi jika kau butuh seorang teman tuk menceriterakan kisahmu. aku bersedia, jangan sungkan, kemarilah. datang kapan saja padaku, aku selalu ada,"
aku merasa pemuda—kasir mini market ini lumayan cukup lancang seukuran orang asing langsung menawarkan diri menjadi tempat menebar kisah ku. netra nya teduh sekali aku tidak bohong, rasanya begitu nyaman berada di dekatnya. seperti sudah lama mengenal dirinya, dorongan darimana aku mengizinkan dirinya. tersihir oleh betapa hangat tawanya, hangat yang kurasa layaknya pelukan hangat orangtua yang selama ini ku damba namun mampu ku bayangkan dalam benak sahaja.
menelan yogurt hingga masuk ke dalam kerongkongan, yogurt yang kelima sepertinya. ia masih disini menemani, wajah tampannya senantiasa dihiasi ukiran sabit di labium cherry nya, "tidak kah, hidup ku miris sekali tuan? sembilan belas tahun hidup di dunia. aku sendiri, tidak ada mama papa, bahkan keberadaannya, aku.. tidak tahu.. apakah ini adil?"
ia mendekapku, "maaf nona, lagi-lagi aku lancang. namun bagi sebagian orang berujar. bahwa sebuah pelukan sangat membantu seseorang dikala sendu."
"kau hebat nona. hebat sekali, kau seharusnya bangga dengan dirimu. aku senang kau masih ada disini walaupun hanya seorang diri, aku ingin berterima kasih. terima kasih sudah berjuang, kau hebat. dunia adil, meski disini sendirian setidaknya kau nirmala serta mampu berjuang bertahan hidup, soal orangtua mu. doakan dimana pun mereka berada semoga Yang Diatas selalu menjaga, "