02. Kita berbeda

4 0 0
                                        

Gadis itu berdiri disana, bersandar pada pilar dinding sekolah. Hujan memang tak terlalu deras, tapi kenyataan bahwa hujan selalu datang keroyokan, mampu membuat siapapun lebih memilih untuk menghindar.

"Kapan sih hujannya berhenti?" tanyanya tak sabar dalam hati. Berkali-kali gadis itu mendongakkan kepala guna memastikan sederas apa hujan kali ini mengguyur. Tangan mungilnya pun berulang kali terulur, untuk sekedar merasakan tetesan hujan di sore hari ini.

Biasanya dengan senang hati ia membasahi permukaan kulitnya dengan rintik hujan. Membiarkan aliran air itu bersatu, seiring mengalirnya permata dari pipi. Namun, kali ini nampaknya hal itu urung ia lakukan. Kenyataan bahwa ia tak memiliki seragam pengganti, jadi mau tak mau harus menunggu langit berhenti menangis.

"Aku gak lihat tanda-tanda hujan bakal reda dalam waktu dekat. Bisa-bisa dimarah Ayah kalau telat pulang." Tangan kanannya mencoba memijat pelan kepala yang mulai terasa berat.

"Nggak tepat banget waktunya." Gadis itu terus saja menggerutu di dalam hati. Andai saja dia bisa mengeluarkan kekesalannya saat ini.

"Lo belum pulang juga?" tanya seorang pria, yang berdiri tak jauh darinya.

Menyadarkan gadis itu dari rasa sakit. Dia sedikit melingak ke belakang. Matanya menyipit, mengamati sosok laki-laki yang berjarak sekitar empat meter dari tempatnya berdiri saat ini.

"Pria itu ...." Itu adalah pria yang sering berpapasan dengannya setiap kali pulang sekolah. Sadar bahwa pria tersebut menunggu jawabannya, ia buru-buru menggelengkan kepala.

"Kenapa?" tanya pria itu kembali. Suaranya terdengar cukup jelas, walau tentu derasnya hujan lebih mendominasi.

Gadis itu meraih tas ransel yang terlihat sobek di beberapa bagian, lalu mengeluarkan sesuatu. Jemarinya dengan lihai menari di atas alat tulis tersebut.

"Lo nulis apaan? Ngomong aja, lagian gue juga gak tuli," ucap pria itu sembari ikut menyandarkan diri pada pilar di sebelahnya.

Bukannya bersuara, ia masih tetap berkutik pada alat tulisnya. Kedua sudut bibirnya tertarik sempurna, memperlihatkan senyuman tulus. Setelah selesai, gadis itu mengarahkannya pada pria tersebut.

'Aku akan pulang setelah hujan reda.' Itu adalah isi dari sepenggal kalimat yang ia tulis.

Awalnya Kama merasa bingung. Gadis itu menunjukkan papan tulis magnetik yang sering dimainkan oleh anak-anak kepadanya? Pria itu bertanya-tanya apa yang dimaksud gadis itu.

"Lo nulis apaan?" Laki-laki itu mencoba menyipitkan matanya, tapi percuma saja, tulisan itu tak terlihat sama sekali. Buram. Pada akhirnya ia menyerah. Pria itu memijat pelipisnya yang terasa pegal. "Ngomong aja, gue denger kok walau hujannya cukup deras."

Gadis itu menghiraukannya lagi, dia malah kembali berkutat dengan alat tulisnya, lalu menenteng ransel miliknya di pundak dan berjalan mendekati tempat Kama berdiri.

Tanpa menunggu sang pria berkata, gadis misterius dengan kuncir ponytail itu mengarahkan papan tulis magnetik tersebut tepat beberapa senti dari wajahnya.

'Aku akan pulang setelah hujan reda. Kamu sendiri, kenapa belum pulang juga?'

Lelaki itu mendengus kecil. Sesulit itukah gadis di hadapannya ini bersuara? Kenapa harus repot-repot menulisnya?

Pria itu lantas membuka penutup kepalanya, gadis itu terlalu misterius hingga membuatnya kesal. "Gue gak suka hujan. Lebih tepatnya, gue benci basah karna hujan."

Setelah mengatakan hal itu, gadis di hadapannya ini malah terdiam. Entah benar-benar tidak mendengar perkataannya karena hujan, atau hanya sekedar pura-pura tuli.

Cukup lama ia menunggu gadis itu bersuara. Namun, dilihatnya sang pemilik manik coklat itu hanya acuh. Bola matanya memperhatikan gadis itu dengan seksama. Cukup familiar, karena mereka memang sering berpapasan walau hanya beberapa detik saja. Tetapi baru kali ini ia melihat gadis itu dengan jarak yang cukup dekat, memandang indahnya manik mata yang dimiliki gadis misterius ini.

Satu yang menjadi pertanyaan di benaknya, apakah gadis yang saat ini berdiri bersamanya adalah gadis aneh yang selalu menjadi topik utama di sekolah mereka?

Gadis itu masih tetap diam, dengan papan tulis magnetik yang ia lingkarkan di leher. Setidaknya dia merasa bersyukur karena ada seseorang yang bisa di ajaknya untuk berbincang walau sesaat.

Gadis itu meniup telapak tangannya, lalu mengusapkannya pada permukaan kulitnya, untuk mengurangi hawa dingin. Baju seragamnya tidak cukup tebal untuk membuat tubuhnya menghangat.

"Lo kedinginan?"

Pria itu berjalan mendekati dan membuka lebar jaket miliknya.

"Lo pake aja." Sadar bahwa gadis di hadapannya terlihat ragu, ia kemudian mencoba menyakinkannya. "Tenang aja, ini jaket gak bau keringet gue, karena khusus gue pake kalau ketemu doi doang."

Hampir saja Mara tertawa mendengar penuturan pria tersebut. Dia kembali meraih papan tulis miliknya dan menuliskan kalimat yang ingin di ucapkan.

'Kalau aku yang pakai, kamu bisa kedinginan. Kamu bisa basah karena hujan.'

Kama tertawa sejenak setelah membaca tulisan itu, kemudian ia berdehem dan langsung menatap netra gadis di hadapannya. “Mama gue ngajarin untuk menghormati perempuan dan lo sendiri perempuan, gue cuman menjalankan apa nasihat mama doang. Lagipula, emangnya orang gila mana yang mau nerobos hujan.”

Kama memang tampak acuh, dia tampak tak begitu memperdulikan sekitarnya, bersandar pada pilar bangunan dan pikirannya menerawang jauh di antah berantah. Baru setelah Mara menyentuh pundaknya, kesadaran pria itu kembali sepenuhnya.

'Terima kasih sudah menolongku, kamu sungguh baik.'

"Jangan lebay, deh." Kama mengacuhkan deretan kata yang telah ia tulis. "By the way, nama gue Kama." Dengan sopan, pria bernama Kama itu pun mengulurkan tangannya. Perkenalan mereka yang pertama kali harus berkesan baik, bukan?

Gadis itu menerima uluran tangannya, dapat ia rasakan telapak tangannya cukup kasar. Seakan menyadari perubahan raut wajahnya, gadis itu buru-buru menarik tangannya, dan membungkukkan diri 90 derajat seperti meminta maaf.

Lagi-lagi, ia menyerahkan papan tulis magnetik itu pada Kama.

'Namaku Mara.'

Gadis ini benar-benar membuatnya jengah. Lagi pula apa yang sulit jika hanya menyebutkan nama. Namanya cukup bagus, tapi sayangnya gadis bernama Mara ini terlalu menjengkelkan. "Lo bisa ngomong aja nggak sih? Lagian gue udah bilang, kalau gue itu gak tuli," ujarnya sembari menekankan kata 'gak tuli'.

Gadis itu terlihat menunduk sejenak, tatapan yang tadinya terlihat ceria kini memancarkan kesenduan. Detik berikutnya, ia kembali tersenyum setelah beberapa detik senyuman itu luntur dari bibirnya.

Namun, kali ini tangannya sedikit bergetar menuliskan rentetan kata yang akan ia tunjukkan. Entah ini efek dinginnya hawa saat ini, atau karna hal lain. Terlihat keraguan dalam pancaran matanya.

"Lo nulis apa lagi? Astaga! Semerdu apasih suara lo, sampai-sampai sayang banget di keluarkan. Sombong banget jadi cewek!" Kalimat itu terlontar begitu saja, ketika gadis ini menguji kesabarannya. Kama benar-benar tak habis pikir dan hampir kehilangan akal sehatnya. Dia tak akan sanggup menghadapi gadis sombong ini lebih lama lagi.

Masih dengan tersenyum, gadis itu menyerahkan papan tulis tersebut kepadanya. Namun, bukan senyuman seperti yang ia lihat pertama kali.

Kama membaca kalimat yang hanya terdiri dari beberapa kata tersebut. Hatinya mencelos seketika. Apakah begini caranya memperlakukan seseorang yang istimewa? Sungguh, jika waktu bisa di putar, Kama akan menarik semua perkataannya yang menyakitkan itu. Kekesalannya pada gadis itu hilang begitu saja, tergantikan oleh rasa bersalah.

'Bukan kamu yang tuli, hanya saja aku yang bisu.'

One In A MelonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang