Chapter One

493 72 13
                                    

Satu tamparan mengulum hening. Suaranya nyaring hingga bergema, meninggalkan keributan yang masih ada didetik lalu.

"Dasar sampah-" Wanita berusia 50 tahun itu mengumpat kasar, telunjuknya terangkat tinggi penuh amarah. Mengutuk satu-satunya anak perempuan yang ia lahirkan ke dunia. Tidak ada yang berani berbicara atau sekedar bergerak. Seluruh mata hanya memandang lekat, ekspresinya serupa dengan mulut terbuka.

"INIKAH BALASANMU PADA KAMI, UTAHIME?!" 

Yang diteriaki belum juga menjawab. Wajah perempuan itu masih berpaling, dengan mata tertutup poni dan pipi semerah bijih panas. Utahime terpaku. menyesap sensai pekak pada telinga yang berdenging ngilu. Teriakan Ibunya memang sanggup memecah kaca. Tidak berubah sedikitpun walau tiga dekade telah berlalu. Dia terkekeh kecil. Dalam hati bertanya-tanya, bagaimana bisa gendang telinganya belum juga robek setelah ia melewati ribuan teriakan sang Ibu.

"Berani kau tertawa, Utahime?! Dasar sampah! Seharusnya kau kubunuh saja sebelum lahir!"

Utahime tidak bisa menyangkal sensasi timah panas dalam dada ketika mendengar ucapan tersebut. Sejak beranjak remaja, wanita itu tahu dengan jelas keberadaannya tidak begitu diinginkan. Namun, setelah mendengar kata-kata itu secara langsung keluar rasanya sungguh di luar ekspetasi. Hatinya yang telah berlubang, kini melapur tak bersisa.

Ayahnya menahan sang istri ketika hendak kembali menampar. Pria tua itu menatap anaknya dengan pandangan alot dan masam. Dari sudut mata, Utahime bisa melihat rahang Ayahnya yang gemetar. Entah jijik atau marah, wanita itu tidak mau menerka lebih. Suasana yang kian menegang membuat anggota keluarga lainnya undur diri dari ruang makan. 

"Utahime, kami sangat kecewa padamu. Bagaimana bisa kamu menolak lamaran Himura? tidakkah kau tahu dampak keputusan itu pada keluarga ini?!" seru sang Ayah dengan mata melotot. Ibunya kembali menunjuk Utahime, memastikan jari telunjuk itu menekan dadanya hingga terasa cukup sakit.

"Kau seharusnya bersyukur, Hime! dia satu-satunya orang yang mau denganmu, dasar bodoh!"

Utahime tidak menjawab, menyangkal, ataupun setuju. Wanita berusia 31 tahun itu hanya terpekur di posisinya. Menatap lantai dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Sang Ayah menghela nafas berat,

"Utahime, jangan kembali sebelum kau temukan solusi." ujarnya, datar dan dingin. Dia lantas membalikan badan dan memapah Ibunya yang masih bergetar marah ke ruangan lain.

"Kau pikir banyak yang mau denganmu hingga menolak seperti itu? lihat dirimu sendiri di kaca Utahime, memalukan sekali!"

Suara pintu yang terbanting dan makian itu menjadi penutup jamuan makan malam. Meninggalkan Utahime dalam keheningan dan emosi yang berkecamuk.

Ia menghela nafas dan  kembali duduk, melanjutkan makan hingga sendok terakhir. Perempuan itu tidak akan melewatkan hidangan di piringnya saat ini jika nanti akan kesulitan mengunyah selama berhari-hari.

Damn, saat inipun pipinya sudah mulai sakit untuk di gerakan. Jika begini ceritanya, Utahime mungkin akan kehilangan berat badan. 

Setelah meneguk habis sup miso, dia langsung menenteng tasnya keluar rumah. Melewati lorong tatami dan mengabaikan tatapan menghakimi dari sanak saudara. Utahime menutup pintu dengan pelan. Berjalan pulang dan menghiraukan tiket kereta yang sudah ia pesan pagi tadi.

Satu bar favoritnya di Tokyo menjadi rumah berpulang Utahime malam ini. Wanita itu masuk dan membelah kerumunan untuk mencapai satu meja yang telah ia pesan seorang diri.

Teguk demi teguk ia lewati tanpa henti. Suara deram musik DJ tak lagi memekak telinga, pandangannya mulai kabur dan kakinya terasa melayang. Utahime tersenyum untuk yang pertama kali di hari ini. 

Ready to Fall (Gojo Satoru X Iori Utahime)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang