I Will Wait For You

Prologue

*Edited*

Draco memandang dengan kosong pada foto-foto yang merekam kenangannya bersama mantan kekasihnya itu. Tak satupun air mata mengalir dari matanya, meskipun dalam hatinya terasa pedih yang begitu mendalam. Bagaimanapun, ada apa yang harus dia tangisi dari seorang pria seperti Potter?

Seandainya Draco bukanlah Slytherin atau seorang Malfoy, mungkin dia akan meratap dan menangis tersedu-sedu karena kekasihnya pergi dan menikahi orang lain. Namun, Draco bukanlah orang yang pandai mengungkapkan perasaannya. Lebih tepatnya, dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya hanya karena cinta.

Ketika Draco teringat akan kata-kata Harry yang selalu ada di sisinya, dia tertawa dengan penuh rasa terpaksa, merasa bahwa itu hanyalah omong kosong belaka. Rasa marah menguasai dirinya, dan tak ada yang tahu betapa marahnya Draco pada Harry Potter yang memberikan janji palsu padanya. Dia ingin pergi ke altar pernikahan Harry Potter, menampar wajahnya, menendangnya, bahkan mungkin merusak acara pernikahannya.

Mungkin itu akan memberikan kepuasan bagi Draco, membalas sakit hati yang ia rasakan. Tapi, apakah itu sudah cukup? Bagaimanapun juga, Draco bukanlah orang yang primitif atau kasar.Draco menyadari bahwa tidak ada gunanya membuang-buang energi untuk membalas sakit hatinya pada Harry Potter. Ia terus melihat foto-foto tersebut untuk kali terakhir, kemudian dengan mantap membakar semua foto tersebut tanpa menyisakan satu pun dari album-album yang berserakan.

Setelah semua itu terbakar, Draco mengambil sebuah kartu nama dari dalam jubahnya. Dia memandang kartu itu sejenak, kartu yang diberikan oleh kepala penyembuh yang merekomendasikan pekerjaan di dunia muggle.

"Sepertinya inilah saat yang tepat bagiku untuk pergi," bisik Draco.

Lumos.