Awan gelap pada siang itu membuat buram kaca mobil yang masih dikendarai. Suara guyuran hujan memecahkan fokus telinga pada klakson-klakson pengendara lainnya yang mulai memekik. Dengan kecepatan tinggi pengemudi itu membanting stir tanpa tau apa yang tengah dihadapi. Dalam hitungan menit Honda jazz menghantamkan tubuhnya ke trotoar setelah sempat memutar dalam beberapa detik.
Selang beberapa jam, sirine ambulans terdengar, semakin membuat cemas ratusan orang di tempat kejadian peristiwa. Tak satupun dari mereka yang berani mendekat. Hanya mampu menyaksikan dua bangkai mobil yang hancur dan mengepul asap berapi. Sepasang suami istri berhasil di evakuasi. Tak lama setelah itu menyusul lelaki dewasa dua puluh tahunan menggendong anak perempuan bersamanya. Lelaki itu berlari ke mobil ambulans dengan berlumuran darah. Baju yang ia kenakan hampir semua memerah. Meski begitu ia masih sanggup memedulikan orang lain.
Setibanya di rumah sakit lelaki itu melongok ke jendela ICU. Seorang lelaki setengah baya terbujur tak berdaya dengan beberapa selang terpasang dibagian dada dan hidungnya. Ia melihat dokter tengah berusaha keras berkutik dengan alat pacu jantung. Beberapa kali mengejutkan pada dada lelaki setengah baya itu. Monitor menunjukkan ketidakstabilan pasien. Pada akhirnya garis lurus dari monitor menjadi penutup perjuangan tenaga medis.
Lemas rasa hati lelaki dua puluh tahunan itu. Sebut saja Azam. Pertama kali dalam hidupnya menyaksikan terenggutnya nyawa seseorang, yakni ayah dari anak perempuan yang digendongnya itu. Air mata penyesalan tak terbendung. Mengapa kecerobahannya menjadi malapateka untuk orang lain. Kalau saja ia mengontrol emosi ketika mengemudi tak akan pernah ada nyawa yang terenggut.
“Papa—paa—paaa.” Anak perempuan itu mulai merintih meyaksikan ayahnya. Bahkan terus menjerit. Ketakutan mulai mengalir dalam darah Azam.
“Sayang, papa lagi capek mau istirahat sebentar yaa. Kita tengok mama yuk.” Azam mencoba meredam tangisan anak perempuan dengan menahan sesak dalam dadanya.
Kakinya melangkah menyusuri lorong rumah sakit. Mencari kamar nomor 206. Menengok kanan kiri supaya tak terlewat. Perlahan tangisan anak perempuan itu mereda. Sambil bertanya dengan beberapa suster yang melewatinya. Salah satu diantaranya menunjukkan kamar yang Azam tuju. Perlahan membuka pintu ruangan itu dengan berdo’a supaya keadaan pasien yang di dalamnya baik baik saja.
Bismillah. Azam mengucap dalam hatinya. Gagang pintu ia dorong perlahan. Benar, didalamnya adalah wanita yang ia tabrak tadi. Belum sampai kaki Azam melangkah, anak perempuan itu seketika menjerit memanggil mamanya yang tengah berbaring di ranjang. Dengan ragu Azam melangkahkan kaki mendekati ranjang. Anak perempuan yang digendongannya itu beranjak turun dan mulai berlari memeluk wanita itu. Langkah ku mengikutinya.
“Syeril, Syeril yang cantik anak mama. Syeril sama oom yaa,” dengan tersengal wanita itu berusaha mengatakan apa yang ingin ia katakan. Beberapa senyuman menghiasi bibirnya dengan sesekali mengusap anak perempuan yang ia panggil sebagai Syeril.
Tangan kanannya melambai memberi isyarat pada Azam supaya mendekat. Wanita itu perlahan menggenggam telapak tangannya.
“Aku tak lama lagi, tolong jaga anak yang cantik ini.” Tangan kirinya mengambil tangan Syeril menyatukan dengan tangan Azam.
“Syeril sudah ada yang menjaga. Aku sudah tak khawatir lagi.” Lanjut wanita itu. Sebelum ia terlelap panjang beberapa menit yang lalu setelah nafas terakhirnya menjadi isak Syeril.
Beberapa tahun kemudian Syeril tumbuh dengan kasih sayang Azam. Bahkan menjadikan Syeril sebagai prioritas diatas kepentingan-kepentingannya yang lain. Berbeda dengan Mama Azam yang sama sekali tak menerima keputusan anak semata wayangnya itu. Sering kali Azam menemukan Syeril menangis ketika ia baru sampai di rumah sepulang dari kantor. Hingga pada suatu hari Azam mendengar dengan telinganya sendiri, melihat dengan mata kepalanya. Mama Azam bermain tangan kepada Syeril.
“Syeril, jangan nakal jadi anak ya, masuk rumah sepatu di lepas!” Suara pekikan dari seorang wanita terdengar keras di lantai bawah. Seketika azam turun dari balkon melihat apa yang terjadi di bawah. Dilihatnya tangan wanita itu beberapa memukul kaki Syeril.
“Mama.. sudah cukup, hanya umpatan kah yang bisa keluar dari mulut mama?” Azam menunjukkan kekesalannya. Menarik lembut tangan Syeril ke sisinya.
“Terus saja bela anak ini, sampai kapan kamu mau hidup membujang dengan anak yatim ini” Mama Azam berteriak keras.
“MAMA!!” Azam menggelengkan kepala. Syeril melepas sepatunya dan lari ke kamar. kemudian meninggalkan mama di ruangan itu.
“Anak kurang ajar, enggak tau diri!” Mama Azam terus memaki Syeril. Tanpa berpikir panjang Azam menyusul Syeril ke kamar. Mengetuk pintu dengan halus.
“Syeril.. Ayah masuk yaa.” Azam memanggilnya dengan lembut. Memasuki ruangan mendekati tempat tidur Syeril. Terlihat Syeril terisak menutupi wajahnya dengan bantal. Seragam sekolahnya yang masih lengkap terpakai terlihat kusut.
“Syeril.. Maaf yaa, ayah enggak jemput Syeril di sekolah. Syeril kesal yaa,” nada Azam membujuk penuh Syeril yang masih terisak.
“Ayah enggak perlu antar jemput Syeril lagi ke sekolah, ayah enggak perlu lagi bertengkar dengan nenek” Syeril menangis kencang.
“Syut..syut. Syeril ganti baju yaa..” Azam mengelus rambut Syeril. Mengecup keningnya dengan tenang. Ia seka air mata anak kecil itu.
“ I love you.” Azam memeluk erat Syeril yang duduk dipangkuannya itu dengan hangat. Anak perempuan itu masih sesenggukan.
“Ayah.. itu.. bub.. bukan.. ayah Syeril,” suara lembut Syeril semakin merendah di hadapan Azam. Azam tersenyum mendengar ucapan anak perempuan yang sudah seperti darah dagingnya itu. Menyadari Syeril sudah semakin mengerti keadaan. Anak cerdas yang selalu ia iringi langkah mainnya, yang kini senyumnya menjadi senyum Azam, sedihnya menjadi sedih Azam pula. Tak sedikit bahkan bahkan sedetik pun ia meragukan ketulusan Syeril.
“Syeril.. Syeril dengar yaa.. Syeril itu anak ayah, jadi ayah wajib membuat Syeril tertawa, tersenyum, gembira,” suara Azam meledak tertawa. Tangannya menggelitik membuat Syeril tertawa seketika. Dengan kejadian itu Azam semakin merasa bahwa dirinya telah jatuh jati pada anak yang beberapa tahun lalu membuat dirinya sebagai wali.
“Ayah.. Syeril mau ketemu mama papa,” kata Syeril setelah mengganti pakaiannya.
“Syeril mau ketemu mama?” tanya Azam memastikan.
“Syeril kangen mama papa.” Perlahan air mata Syeril mengalir.
“Cup..cup.. Syeril ke bawah dulu yaa.. ayah siap siap.” Rasa bersalah yang sangat besar pada Syeril membuatnya tak bisa menolak satupun permintaan yang keluar dari mulut mungil itu.
Setelah siap Azam menemui Syeril yang ternyata menunggu di depan kamar. Ia menggandeng tangan lembut nan halus itu berjalan seirama. Sampai di ruang tamu Azam melihat Mama yang masih berwajah kesal.
”Ma.. Azam sama Syeril mau ke pemakaman, mama mau ikut?” Azam selalu berusaha mencuri hati mama untuk bisa menerima dan menyayangi Syeril sebagaimana ia menyayanginya.
“Tak sudi aku berjalan dengan anak yatim itu.” Ungkapan kasar tak pernah lepas dari mulut Mama Azam untuk Syeril.
“Azam.. Mama sudah muak dengan tingkah mu mengasihani anak yatim ini.” Hati Azam tesayat mendengar kalimat itu muncul dari mulutnya. Mengatakan di depan Syeril yang hanya bisa menunduk.
“Ma.. Syeril tanggung jawab Azam, nyawa orang tuanya hilang karna Azam, apakah pantas mama menyia nyiakan anak yang tidak bersalah ini.” Azam terus merintih berusaha memberi pengertian pada wanita yang melahirkannya itu.
“Cukup.. Mama sudah tidak tahan, kamu pilih mama atau anak yatim ini!” Perkataan mama bagai petir yang menyambar. Hati Azam tercabik tak karuan.
“Ma.. Tugas Azam berbakti pada mama, tapi Syeril adalah tanggung jawab Azam. Silahkan mama jika mau membenci Azam. Azam tak akan pernah membenci mama. Azam pamit. Assalamu’alaikum.” Dengan tegar Azam memperjelas keadaan dan berlalu. Menuntun Syeril untuk mengikutinya.
Sore itu Azam dan Syeril tiba di tempat pemakaman mama dan papa Syeril. Syeril sedikit berlari riang mebawa rangakian bunga yang telah ia persiapkan untuk mama dan papanya. Azam tersenyum melihat pemandangan itu.
Sesampainya di kuburan mama dan papa Syeril menaburkan bunga diatasnya. Sambil mengelus batu nisan yang masih jelas terukir nama mama dan papanya.
“Mama.. Papa.. Syeril udah pintar. Syeril enggak mau merepotkan ayah dan nenek. Syeril sayang ayah dan nenek. Syeril boleh enggak nyusul mama dan papa di surga?” kata Syeril yang terdengar sangat polos.
Seperti mawar yang masih basah di tanah pemakaman mama dan papa Syeril. Hati Azam belum siap dan bahkan tak akan pernah siap menerima orang baru. Semenjak peristiwa haru itu Azam berjanji akan selalu memabahagiakan Syeril seutuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AYAH SYERIL (Telah Terbit)
Short Storycerita seorang lelaki yang terpaksa menjadi wali seorang anak yang orang tuanya tewas berkat kecelakaan yang menimpa mereka saat itu.