Menuju Negeri Impian

15 5 0
                                    

Keras terdengar suara hentakkan highheels seorang gadis muda yang tampak bergegas menuju tempat yang terletak di tepi jalan nan sesak dengan belasan orang di sana, masing-masing orang itu sedang menunggu bus sembari sibuk dengan ponsel yang digenggam. Suasana pagi dengan langit mengabu, udara dingin terasa menusuk kulit melalui pori-pori, teriakan pedagang asongan yang mengganggu pendengaran pun tak mengurangi semangat gadis muda ini untuk beraktivitas.

Bus berwarna biru bernomor 21 pun tiba, gadis muda itu berdiri dengan cepat sambil menjinjing tas yang dia bawa masuk ke dalam bus itu. Gadis itu duduk di kursi dekat dengan jendela terbuka, rambut panjang yang tergerai terombang-ambing menerpa wajah berkulit putih mungil cantiknya. Netra kecokelatan itu memandang ke luar jendela, sesekali memejam sambil menghirup udara pagi yang tak mungkin terasa sangat segar di kota metropolitan ini.

Dua puluh menit kemudian bus itu perlahan berhenti tepat di tempat tujuan gadis itu. Setelah turun dari bus dia kemudian melangkahkan kaki jenjangnya menuju gedung pencakar langit, dia mendongak membaca nama gedung itu. "Fantasia Ballet." Dia masuk ke dalam gedung itu dan disambut dengan senyum oleh gadis sebaya yang berpapasan dengannya.

"Rina," teriak seorang perempuan yang berdiri tak jauh dari gadis itu.

Ballerina Anastasya, nama gadis muda itu, dia adalah seorang penari balet handal, seperti namanya, Ballerina. Dia berasal dari keluarga yang berdarah seni, maka tak heran jika dia handal dalam berprofesi sebagai penari balet. Merasa dipanggil, Rina pun menoleh lalu tersenyum seraya melambaikan kedua tangannya. "Keisya." Rina berteriak dan berlari ke arah sahabatnya.

"Tumben pagi," ujar Rina.

"Ih, aku selalu pagi kali, gak pernah kesiangan," sanggah Keisya tak terima.

Rina tertawa. "Iya, iya, aku bercanda, Sya. Ya sudah, yuk, kita ke ruang ganti."

Di ruang ganti Rina menatap dirinya di depan cermin, tubuh indahnya terlihat saat dia menggunakan setelan balet miliknya. Rina melebarkan senyumannya sambil berputar-putar layaknya seorang balerina. Beberapa saat kemudian seorang balerina berambut pirang bernama Falia dengan sengaja menyenggol lengan Rina dan membuatnya terjatuh.

"AW!" teriak Rina kesakitan.

"Maaf tidak sengaja," ucap Falia ketus.

"Kamu kalau jalan liat-liat dong," kata Rina dengan raut wajah marah.

Falia dan Rina adalah dua orang penari balet yang selalu tampil di panggung yang sama namun, keduanya tak pernah sedikit pun akur, karena Falia selalu merasa iri kepada Rina yang menjadi pemeran utama. Pertengkaran itu tak berlanjut, karena mereka mendengar pengumuman yang mengharuskan penari balet segera menuju belakang panggung untuk bersiap memulai pertunjukan.

"Mari kita saksikan penampilan balet berjudul Cinderella, oleh Ballerina Anastasya dan kawan-kawan!" ucap MC untuk mengawali acara itu.

Penonton berteriak dan bertepuk tangan menciptakan gemuruh tegang kepada Rina, dia menghela napas berat seraya memasuki panggung saat musik diputar. Rina menari meliuk-liukkan tubuhnya, berputar, wajahnya mengeluarkan ekspresi seakan dia berbicara bahwa dia sedih, senang, kecewa. Tarian itu sangat indah membuat penonton hanyut dalam tarian itu. Rina merentangkan tangan dan kakinya sambil mendongak diikuti dengan musik yang memelan itu menandakan bahwa tarian telah selesai.

Para penonton berdiri sambil bertepuk tangan meriah mengapresiasi penampilan para balerina yang sempurna. Momen itu tak berlangsung lama, tepuk tangan berganti dengan jeritan histeris dari penonton maupun balerina, semua disebabkan oleh lampu sorot yang bergantung tepat di atas Rina jatuh dan menimpa dirinya. Dengan dahi yang berlumuran darah, Rina tersungkur lalu tak sadarkan diri.

Suatu ruang bercat putih dengan suara mesin elektrokardiograf menemani gadis bernama Rina yang tengah terpejam. Di samping brankar, sosok wanita paruh baya tak lepas menatap wajah putrinya yang pucat. Wanita itu terperanjat saat tangan putrinya bergerak. "Nak," ucapnya lembut sambil mengusap rambut Rina. Perlahan Rina membuka mata, semua tampak gelap membuatnya ketakutan.

"Ibu di mana? ini gelap, bu, Rina takut ...." Rina terus mengulang kata itu dengan teriakan. Ibu Rina bergegas memanggil dokter, dengan satu suntikan obat tidur berhasil membuat Rina kembali terpejam.

Setelah pulih Rina kembali ke rumahnya. Tetap sama, gelap, dia tak bisa melihat apapun, kini dia berjalan dibantu dengan tongkat dan Ibu yang senantiasa menemani. setelah ibunya pergi, Rina menghamburkan semua benda yang berada di sekitarnya. Kamar yang semula rapi gini tampak seperti kapal pecah, berantakan, di waktu bersamaan, Keisya datang dia ikut berlari dengan Ibu Rina menuju kamar Rina.

Keisya memeluk tubuh Rina. "Kamu ga boleh gini, Rin."

"Aku sudah hancur, Sya, aku udah ga bisa menari lagi."

"Nggak, kamu bisa!"

"Dengan mata ini? Apa harapannya, Sya."

Bulan depan adalah bulan di mana dia harusnya berkompetisi menampilkan sebuah balet berjudul Giselle. Namun, dengan kondisi ini, tidak memungkinkan dia bisa. Rina berjalan dibantu oleh Keisya menuju ruang latihan pribadinya. Di ruang itu banyak sekali peralatan balet tersusun rapi. Rina melepas gandengan itu, dia mulai menari lalu terjatuh, begitu terus berulang, Keisya tak tahan lagi dia menghentikan Rina yang telah menggila.

"Rina!" bentaknya, "kamu hanya menyakiti dirimu lebih dalam! Kamu nggak akan bisa jika membawa semuanya dalam emosi, ingat kamu adalah balet dan balet adalah kamu! Kamu harus menyatu agar bisa seperti biasa!"

"Seperti biasa ucapmu? Aku saja tidak bisa melihat!" bentak Rina tak kalah keras. Rina meraba-raba dia ingin menggapai tangan Keisya. Seakan paham, dia lalu menjulurkan tangannya dan menggenggam erat tangan Rina.

"Sya," kata Rina, "kamu tahu, aku gak akan pernah bisa menari balet lagi."

Kesiya menggeleng. "Nggak! Kamu bisa! Kamu ingat kata dokter, bahwa kamu bisa transplantasi kornea, dan kamu bisa melihat seperti semula."

Rina tersenyum kecil. "Hal itu bisa terjadi, tapi butuh waktu lama, Sya. Sedangkan Giselle sudah menunggu di depan mata." Rina menghela napas. "Kamu harus bisa menampilkan Giselle menggantikanku. Kamu tau, jika kamu berhasil menang melawan balerina lain kamu bisa tampil di Italia bersama balerina di seluruh dunia."

"Itu impian kamu, Rin. Bukan aku," jawab Keisya.

"Tetapi, impian itu tak lagi bisa aku gapai, aku tau kamu bisa, dengan adanya aku di panggung, kamu tidak pernah menunjukkan bakat itu, sekarang saatnya, Sya."

Keisya dan Rina saling berpelukan mereka menangis dengan keadaannya masing-masing.

Satu bulan itu berlalu begitu cepat, Keisya telah tampil membawakan Giselle dan disaksikan pula oleh Rina yang hanya mampu mendengarkan setiap alunan musik. Kejadian itu merenggut penglihatannya dan membuat dia harus menerima kenyataan itu. Waktu pembacaan pemenang pun tiba, Keisya dan peserta lain berdiri sejajar bersiap untuk mendengar nama siapa yang akan menang.

MC mengetuk mikrofon dan mulai membacakan. "Pemenangnya adalah ... Keisya dari Fantasia Ballet!"

Keisya menangis sambil berlari memeluk Rina. Rina turut menangis dalam lubuk hatinya dia senang, juga sakit dengan kenyataan bahwa sahabatnyalah yang mewakili Fantasia. Tetapi Rina tetap bahagia walau bukan dirinya, melainkan sahabat yang mewakili Fantasia ke Italia.

"Mimpi itu mungkin saja tak kudapatkan kali ini, tapi aku berjanji, aku akan pulih dan menggapai mimpiku, walau bukan Italia tempatnya," batin Rina.

----

Tak selamanya yang hebat akan selalu menang, kegagalan bisa saja menghampirinya kapanpun.

Hidup tak selalu tentang kesempurnaan, ada kalanya kamu akan disadarkan bahwa kamu bisa memiliki kekurangan.

Kamu bisa saja terhenti, tetapi kamu hanya diijinkan untuk beristirahat bukan berhenti untuk selamanya.

----

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 27, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menuju Negeri Impian {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang