Secangkir kopi hitam yang terbuat dari biji kopi asli dan sempat melalui proses fermentasi dengan bantuan organ tubuh hewan disodorkan padaku oleh seorang pramusaji berdasi kupu-kupu. Senyum ramahnya menambah suasana kedai berdinding kayu menjadi semakin hangat malam ini. Mungkin dia-lah alasan beberapa gerombolan pemuda yang tengah berbisik-bisik dengan sesekali melirik wanita berambut sebahu itu rela duduk berjam-jam di kursi yang lumayan keras itu.Kubalas senyumnya dengan tak kalah manis. Ya, karena aku juga seorang wanita. Pasti ada terbesit juga di pikiranku untuk menarik semua perhatian lawan jenisku yang ada di sini untuk menambah kepercayaan diriku.
Kumainkan cangkir putih berlogo khas kedai "Match Coffe". Jika di artikan dalam bahasa ibuku menjadi 'kopi Jodoh' sungguh sangat ambigu bagiku. Tapi suka-suka sang owner mau mengartikan kata itu dengan apa, dan aku tak peduli. Yang terpenting bagiku cita rasa kopi di sini tiada duanya.
Sama seperti sekeping kenangan milikku yang pernah kuukir di tempat ini. Bukan karena pramusaji yang sangat cantik dan tampan alasanku duduk manis menikmati tempat ini. Ada dua alasan yang selama ini terbungkus rapi dalam ingatanku. Satu, bagaimana cita rasa secangkir minuman yang sangat kurindukan. Dan yang kedua, alasanku adalah menepati sebuah janji yang pernah terucap di suatu malam.
Sebuah malam tahun lalu seseorang berhasil mengacaukan hatiku . Seseorang yang mengatakan bahwa dia manusia paling beruntung karena dapat memiliki seseorang yang paling sempurna di matanya.
Kala itu kami saling menautkan kelingking hanya untuk mengikat janji secara lisan. Kami harus bertemu kembali entah bagaimana-pun keadaannya di tahun bershio kerbau ini.
****
Dua cangkir kopi panas selalu berada di meja saat kami kemari. Dengan ditemani sepiring macaroon berwarna-warni kesukaanku. Kami merasa hari-hari itu adalah hari milik kami berdua. Saling melempar senyuman manis tak henti-hentinya kami lakukan. Setahun bersama dengannya adalah hari-hari di mana aku benar-benar menjadi target bucin seorang pria bergelar pria tertampan di kampus. Kemampuan memanfaatkan aktingnya dalam seni peran dalam drama kampus membuatnya rela menjadi seseorang yang diidolakan banyak kaum hawa.
Hingga saat ini aku masih belum mengerti, alasan apa yang membuat pria tertampan itu memilihku menjadi penyemangat hidupnya. Aku bukan siapa siapa, wajahku juga tak begitu sempurna, kelebihan saja aku tak punya. Apalagi soal penampilan, aku hanya gemar mengenakan busana yang ala kadarnya.
Uno begitulah aku memanggilnya. Dia selalu tersenyum ramah pada semua orang yang berhadapan dengannya. Terkadang rasa cemburuku selalu muncul saat Uno melakukannya. Dan tak butuh waktu lama dia dapat menenangkanku kembali.
"Rara, senyumku boleh untuk semua orang. Tapi hatiku hanya milikmu seorang."
Kata-kata sederhana itulah menjadi senjata andalan Uno saat aku mulai cemburu buta padanya.