:)

5 3 0
                                    

Besok adalah hari ulang tahun Aludra yang ke-4 tahun. Jam sudah menunjukkan pukul 11:45 malam. Aludra menunggu di atas kasur, menatap jarum jam yang terus berjalan. Hingga detik terakhir ditanggal 17 September, Aludra mematikan lampu utama di kamarnya. Hanya ada lima lampu kecil berbentuk bintang di atas meja belajarnya.

“Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, untuk Aludra Daora.” Aludra bernyanyi sambil menghidupkan bintang-bintang yang dia punya.

“Ini bintang untuk Mama,” Aludra memindahkan satu bintang lalu menempelkannya ke dinding, “Ini bintang untuk Papa ... ini bintang untuk Kakek dan Nenek, dan ini bintang untukku.”

Setelah membagi bintang itu, aku berdoa sambil menatapi kelima bintang itu.

“Tuhan, Mama sayang sama Aludra kan? Aludra sayang banget sama Mama ... Tuhan, kapan Mama mau ngerawat Aludra? Aludra pengen dipeluk Mama, disayang Mama, duduk di pangkuan Mama, disuapi Mama, manja-manja sama Mama,” pintanya sambil menahan air matanya.

“Tuhan, jaga Papa Aludra baik-baik di sana. Bilang ke Papa, jangan lupa makan. Nanti, kita bertemu di surga. Aku bawa Mama nanti. Aludra dengar dari teman Aludra. Kata Papa dia, surga itu sangat indah ... Papa, Aludra kangen Papa. Malam ini, Papa sibuk? Kalo Papa ga sibuk, temani Aludra tidur, ya. Mama ga mau temani Aludra tidur. Soalnya Mama benci sama Aludra.” Dia tersenyum hambar sambil menangis.

“Papa, kenapa Mama benci sama Aludra? Padahal, aku ga pernah melakukan kesalahan.”

“Papa, peluk Aludra,” pintanya sambil menatap bintang untuk Damian.

“Tuhan, Aludra mohon, jangan bawa Kakek sama Nenek, ya. Kalo mereka Tuhan panggil, Aludra sama siapa? Aludra punya Mama, tapi Mama ga menganggap Aludra ada ... Tuhan, buka hati Mama untuk Aludra, sesingkat apa pun itu, gapapa kalo cuman bisa sebentar. Aludra cuman mau dipeluk mama.” Aludra membiarkan air matanya kering dipipinya.

Aludra tidak kuat menahan air matanya untuk keluar sedikit demi sedikit. Tiba-tiba dia menangis sepuas mungkin ketika mengingat wajah Mamanya yang membencinya itu. Hatinya yang masih kecil itu, sudah terluka begitu dalam.

“Aku harus kuat. Aku ga boleh lemah. Aku masih punya Kakek dan Nenek. Mereka sayang sama aku. Mereka ga mungkin pergi meninggalkanku seperti Mama,” ucapnya. Tapi, dia tetap tidak bisa meninggalkan Amora, “Mama, Aludra sayang Mama. Aludra bakalan tunggu sampai Mama sayang sama Aludra.”

Aludra menyudahi acara ulang tahunnya dan tidur. Dia tidak bingung jika David dan Batya lupa akan hari ulang tahunnya. Karena mereka sudah cukup tua.
Untuk tidurnya malam ini, Tuhan memberikan mimpi yang sangat indah.

“Aludra, sini peluk Mama,” teriak Amora.
“Mama, Aludra senang Mama mau peluk Aludra,” ucapnya.

Setelah berpelukan, semua ruang menjadi terang. Setiap sisi menjadi sepi. Semua rasa menjadi hampa. Semua jiwa seolah mati.

Cukup sampai di situ, Aludra dibangunkan oleh suara seseorang mengetuk pintu sambil memanggil namanya.

“Aludra sayang, bangun, sudah pagi,” Batya sedikit berteriak memanggil Aludra.

Perlahan-lahan Aludra mengedipkan matanya yang indah itu. “Iya, Nenek. Aludra sudah bangun.”

Aludra turun dari kasurnya, kepalannya menoleh ke arah dinding yang masih dihiasi oleh bintang-bintang miliknya. Aludra tiba-tiba tersenyum manis.

“Selamat pagi Mama, Papa. Bagaimana kabar kalian?”

“Kabar kami berdua baik, anakku sayang,” ucap Aludra seolah-olah Mama dan Papanya menjawab.

Setelah itu, Aludra mencium kedua bintang yang diperuntukkan untuk Mama dan Papanya. Lalu dia mendekatkan jidatnya ke bintang milik kedua orang tuanya. Seolah-olah, Mama dan Papanya turut menciumnya.

Aludra pergi mandi lalu sarapan. Menyapa Kakek dan Nenek kesayangannya.

“Hai Kakek, Nenek. Aludra sudah cantik.”

“Wow, Kakek ... terpesona, aku terpesona, saat melihat Aludra, dengan gaun merahnya,” David bernyanyi gemas ketika melihat penampilan Aludra.

“Bukan begitu liriknya Kakek,” sahut Nenek, “Begini ... terpesona, aku bukanlah supermen, aku juga bisa nangis, jika kek–” David memotong nyanyian Batya.

“Sudah istriku, kita sudah tua.”

“Memang, kenapa kalo kita sudah tua?” tanya Batya sambil menaruh sarapan di atas meja makan. Aludra hanya tertawa kecil melihat mereka berdua.

“Karena, tulang-tulang kita sudah tidak mampu menampung semua yang terjadi di dunia ini,” jawab David dengan nada yang sok bijak. Batya hanya diam mendengarkan jawaban suaminya, sambil memasang wajah datarnya.

“Sudah, kita sarapan dulu,” ucap Aludra memecahkan keheningan.

“Lapar ya?” tanya David sambil mengangkat kedua alisnya berkali-kali.

“Iya, soalnya tadi malam Aludra mengeluarkan banyak tenaga.”

“Aludra ngapain?” tanya Batya

“Menahan rindu ke Papa sama Mama.” Tubuhnya melemas.

David dan Batya terdiam. “Sudah ... tidak ada yang membenci kamu,” ucap David memecahkan keheningan.

“Ya sudah, kita makan dulu,” ujar Batya. Aludra hanya menganggukkan kepalanya. Dia berdoa, lalu memakan makanan miliknya.

Setelah selesai makan. Aludra kembali ke kamar. Kamarnya kecil saja. Di sana, penuh foto Amora. Aludra tidak memiliki foto Damian. Dia bahkan tidak tahu bagaimana wajah jagoannya yang satu itu.

Aludra tidak peduli tentang bagaimana wajah Damian. David dan Batya pun sangat ingin memberi tahu, tetapi waktu belum pas untuk David dan Batya memberi tahu kepada Aludra karena usianya yang masih sangat muda.

—|••|—
"Peluk Aku Sekali Lagi"
Oleh : Lima Aludra

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Peluk Aku Sekali LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang