TiM || Jane's Wedding

27 22 3
                                    

Tibalah hari yang sangat dinantikan oleh Jane. Pesta pernikahannya jauh lebih sederhana dari pesta pernikahanku bersama Harry.

Pesta kecil yang diadakan di belakang halaman rumah Daniel dan Anna hanya dihadiri oleh dua pihak keluarga mempelai dan beberapa teman dekat. Bahkan aku masih bisa menghitung jumlah tamu hari ini.

Selama acara pemberkatan, tangan Harry tidak lepas dari pinggangku. Sesekali ia tersenyum padaku begitu pula dengan Anna yang berdiri di samping kiriku.

Ingin rasanya aku melepaskan diri dari Harry. Tapi tidak dapat ku pungkiri, aku merasa nyaman berada di dekatnya. Aku merasa nyaman dengan tangannya yang memeluk pinggangku seperti ini.

Sampai acara pemberkatan selesai, Harry masih memeluk pinggangku sambil memperkenalkanku pada tamu undangan yang juga rekan bisnis keluarganya. Aku hanya melemparkan senyum terbaikku.

Mataku menangkap Anna yang sedang duduk di dekat kolam ikan seorang diri. Ia nampak sedang bersedih. Bagaimana mungkin ia bersedih di hari bahagia putrinya?

"Harry, aku ke sana sebentar," bisikku padanya sambil menunjuk ke arah Anna. Ia menaikkan alisnya sebelum akhirnya mengangguk dan mencium keningku. Aku menelan ludah yang mendadak terasa pahit. Ia mencium keningku di hadapan orang banyak dan rekan kerjanya.

Rasanya benar-benar aneh. Tidak–seharusnya tidak aneh seorang suami mencium kening istrinya. Hanya saja ... sudah lah.

"Anna, apa yang kau lakukan?" Aku bertanya setelah mengambil posisi duduk di sebelahnya.

"Barbara." Ia mengusap matanya buru-buru dan tersenyum padaku.

Harus aku akui, ibu mertuaku ini sangat cantik sekali. Dibalik riasan wajah yang sederhana dan balutan gaun warna hijau pupus tidak akan ada yang percaya jika usianya sudah kepala 5.

"Kau sakit?" tanyaku setelah memerhatikannya. Wajahnya terlihat sedikit pucat. Sewaktu aku menyentuh tangannya–suhu tubuhnya dingin. Padahal acara ini berada di luar dan matahari sedang tinggi-tingginya.

"Tidak, Nak. Aku hanya kelelahan." Dia membelai wajahku masih dengan senyum yang sama.

"Mau aku antar ke kamar?" Aku menawarkan. Entah kenapa hatiku selalu iba setiap kali melihat Anna dan Jane.

Anna mengangguk dan bangkit dari kursinya lebih dulu. Tubuhnya terhuyung ke depan dan aku segera berdiri untuk menahannya. Ia benar-benar sakit.

"Maaf," ucapnya ketika nyaris menginjak kakiku.

"Tidak apa, ayo!" Aku menuntunnya memasuki bagian dalam rumah besarnya. Kamarnya berada di lantai bawah, untung saja.

Anna sudah berbaring di atas ranjang besar miliknya. Terdapat tiang yang dilengkapi selang infus menggantung di sudut ruangan. Apakah Anna benar-benar sakit sampai harus di infus di rumah?

"Barbara, boleh tolong ambilkan aku tissue?" tanyanya seraya menunjuk kotak tissue yang berada di atas lemari kecil di dekat tiang infus. Aku mengangguk dan berjalan untuk mengambilnya.

Mataku menangkap sebuah botol ampul yang berada di dalam keranjang sampah di samping lemari. Avastin. Aku menoleh ke belakang–Anna sudah memejamkan matanya.

Aku mengeluarkan ponsel dari pouch dan mengetikkan Avastin pada penelusuran google dan betapa terkejutnya aku saat melihat hasilnya.

Avastin merupakan obat yang digunakan untuk mengobati sejumlah jenis kanker dan penyakit mata tertentu. Untuk kanker diberikan dengan suntikan lambat ke pembuluh darah dan digunakan untuk kanker usus besar, kanker paru-paru, glioblastoma, dan karsinoma sel ginjal.

Trapped in Marriage || HarbaraWhere stories live. Discover now