Zone 00 : Choose Your Fighter

212 34 17
                                    

Jakarta, 2023.

Banyak yang berubah di tahun 2023. Mulai dari satu demi satu bangunan yang terganti oleh bangunan baru yang lebih megah juga mengikuti perkembangan zaman, bertambahnya syarat serta ketentuan pada ranah pekerjaan mau pun pendidikan, hingga lalu lalang kepergian yang tersayang lalu membawa kepada orang baru.

Tangguh ada di sana, melihat semua dengan segala yang ada di dirinya tanpa jeda. Temannya menikah, punya anak, dan kerap membagikan kisah rumah tangga atau pengapnya beban kerja pasca berkeliarga. Sementara dirinya masih begini, seorang diri setiap waktu.

Ey, seriusan. Kata single bukan hanya sebagai pelengkap status macam bio Instagram, tapi Tangguh betulan hidup sendiri. Seperti Hachi yang ditinggal ibunya, Tangguh anak yang sebatang kara bedanya ia gak mencari orang tuanya sampai ke sarang semut  api. Karena ditinggal sang bapak pergi lebih dulu ke pangkuan Tuhan tiga tahun lalu.

Gak usah mengasihani atau berusaha menghibur, soalnya Tangguh—seperti namanya—ogah menerima perlakuan semacam itu. Sejak kecil ia ditempa menjadi laki-laki kuat yang harus hidup seperti namanya. Tangguh Waruna, laki-laki yang tangguh juga kuat seperti dewa.

“Woy, nyet.”

Di tahun 2023, Tangguh sudah menuntaskan perkuliahannya dan bekerja di salah satu perusahaan konstruksi ternama di Indonesia. Bukan cabang, melainkan pusatnya. OC Holdings, perusahaan kontruksi adidaya milik seorang miliuner asal Indonesia, Riano Hartanto.

Nampaknya nasib baik mengikuti Tangguh di tengah himpitan hal tak menyenangkan yang menimpa hidupnya.

“Hapah?” Itu maksudnya apa, yang jawab lagi makan bakwan malang pengganjal perut di jam makan siang. Beberapa teguk air hangat membawa serta sisa bakwan menuju pemberhentian selanjutnya. “Mau minjem duit ya lo?”

“Anjeeeng, mana mungkin gue nelpon lo cuma buat minjem duit doang Tangguuuh!” Barusan yang menjawab via panggilan suara namanya Kala, Loka Senjakala. Teman akrab Tangguh sejak SMA. “Malem lembur gak lau?”

“Gatau, lembur kali.”

“Deh geblek, kebiasaan lu ya. Keseringan lembur nanti kerempeng badan lu, Nyet!”

“Yang kerempeng kan badan gue, bukan badan lo.” Lagi Tangguh bersuara, “Mau ngapain ntar malem? Traktiran pesta bujang lo?”

“Boleh-boleh aja si, cuma sapa calonnya anjim? Lo mau jadi calon gue?”

“Gila kali.”

Di ujung sana Kala terbahak. Bisa jadi ludahnya ikutan loncat muncrat ke pelantang suara gawainya. “Ares balik.”

“Balik juga tuh anak, kirain mau menetap di Bandung terus.” Ditaruhnya dua lembar uang pecahan sepuluh ribuan di dekat tempat tisu lalu berkata setengah teriak, “Din, nih duitnya gue taro sini ya!”

“Okidoki, Mas Tatang!”

Dan kalau dulu Tangguh marah pada orang-orang yang memanggilnya Tatang, kini enggak. Gak marah-marah amat sih, paling cemberut atau mendengus doang. Gak sampai tubir kaya pas jaman kuliah.

“Jadi gimane, Jendral?”

“Yaudah, nanti kalo bisa gue dateng.”

“Sepdah.

“Hm.”

Teriknya mentari pukul setengah dua di kawasan Rasuna dan sekitarnya sudah gak asing bagi Tangguh, tapi rasanya tetap menjengkelkan. Keringat mengucur, baju bercampur bau, dan bisa bikin rambut juga muka kucel. Salahnya dia gak bawa topi hari ini, padahal biasanya selalu dibawa ke mana-mana sepaket sama permen kaki dan geretan.

It's Okay To Not Be Okay | BrightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang