"Anda ngomong apa sih?"
Cengiran jahil yang tadinya menghiasi wajah manis Cempaka perlahan memudar. Gadis awal dua puluhan itu berdiri, memandang sengit pada Tangguh. Sementara lawan bicaranya masih memasang ekspresi tenang.
"Gak usah pura-pura bego, lo gak punya tampang itu." Kuku Cempaka yang terbalut cat berwarna merah gelap menyentuh dagu Tangguh, namun ketika lelaki itu berusaha mengelak tak sengaja mencipta gores cukup panjang di sana. "Ups, gue gak sengaja."
Selama hidup, Tangguh sudah sering menahan emosi menghadapi kejadian tak terduga. Baik yang sengaja cari ribut atau bikin kepalanya spaneng juga banyak. "Boleh saya kasih saran?"
"Apa tuh?"
"Kukunya coba dirapikan. Takutnya yang kena sial bukan cuma saya, daripada nambah korban 'kan." Beda sama Cempaka yang rasanya tidak mengenal kata sabar lebih dari dua sekon. "Saran aja, Mbak. Kalau sayang sama duit buat perawatannya, yaudah gak usah. Usahain aja jangan sampai begini lagi."
Dan omongan Tangguh yang sama sekali gak bernada nyolot atau memerintah langsung memancing darah Cempaka naik menuju puncak alias emosie jiwa. Matanya membelalak. walau jelas dia mengusahakan wajahnya tetap kelihatan santai, jiwanya terbantai.
"Dan tolong," ucap Tangguh lagi. Satu tangannya menyingkirkan tangan Cempaka dari wajahnya. "Jangan sembarangan sentuh saya. Kita gak saling kenal."
Langsung saja Cempaka mendengus sebagai respon atas ucapan Tangguh barusan. Gila, apa katanya? Kalaupun Cempaka gak kenal Tangguh, itu wajar. Tapi, Tangguh gak kenal Cempaka? Wah, pasti ada yang salah dengan orang ini.
"Gak usah geer," serang Cempaka datar. "Gue gak minat kenalan sama lo."
"Sama, saya juga."
"Hei!"
"Apa lagi?" Tangguh berkata tanpa menatap Cempaka. Dia berusaha menghubungi beberapa rekan kerjanya untuk lekas memperbaiki revolving door, karena pintu ini akses utama masuk ke kantor. "Halo? Jan, pintu utama rusak lo bisa tolong cek bag-"
"Gue ngomong sama lo, Tangguh." Namun, Tangguh tak tahu betul dengan siapa ia berhadapan kini. Cempaka bukan hanya bermulut songong, tapi juga rebel. Selagi kemauannya belum diuruti, keusilannya terus berlanjut. "So you have to look at me when I'm talking to you."
Ponsel genggamnya direbut dan begitu Tangguh mau mengambilnya kembali, Cempaka malah menukar ke tangan lain. Benar-benar cari perkara. Giliran darah Tangguh yang mendidih. Ini bocah kematian muncul gak pas banget ya Tuhan, batinnya.
"Ada hal yang lebih penting yang harus diberesin sekarang dan saya bisa simak omongan anda sambil ngecek pintu ini." Masih berusaha sabar, Tangguh bernegosiasi dengan Cempaka. "Jadi, tolong kembalikan handphone saya. Sekarang."
Ditilik dari dandanan dan perilakunya, Cempaka gak mungkin seumuran dirinya atau sudah berkepala dua. Paling banter usianya baru sembilan belas tahun. Tangguh jadi ngeri dengan pergaulan dan pertumbuhan anak muda zaman sekarang yang semakin ajaib. Bukan tidak mungkin mereka bertingkah lebih dari ini jika dibiarkan terus-terusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Okay To Not Be Okay | Bright
Roman d'amourCempaka pernah jatuh cinta. Jatuh dalam artian tersungkur, terperosok, terjerembab, terkatung-katung sampai pada titik dia ingin mengerahkan bala tentara para dukun nusantara demi merebut kembali hati orang terkasihnya. Tangguh juga pernah jatuh cin...