Setiap Syafa melangkahkan kaki memasuki kelas, ia merasa sangat tertekan dengan tatapan itu. Ia merasa, kenapa harus dia yang dikambing hitamkan.
“Didepan aja ngomongnya gitu, eh dibelakang beda!”
“Sok cantik, dih!”
“Kayak cantik aja, nglabrak-nglabrak!”
“Sok lugu yah!”
Sindiran-sindiran dari teman kelas dan juga ada yang tersenyum kecut, tak percaya.
Setiap hari Rabu mereka harus mengganti posisi tempat duduk. Syafa memilih duduk di barisan bagian belakang tempat di samping jendela kelas.
Akhir-akhir ini, Syafa sering menyendiri di kelas. Bagaimana tidak, yang menyapanya saja tidak ada. Syafa kadang juga sering melamun ke arah luar jendela. Mengingat tentang Genk Lionnya, mereka sudah jarang menemui Syafa. Mereka juga jarang terlihat di tempat biasanya dulu berkumpul.
~~
Waktu istirahat, Syafa pergi ke perpustakaan. Disana, dia mengambil satu buku dan memilih duduk di sudut belakang perpustakaan. Matanya menatap pada buku di depannya, pandangan matanya kosong.
Tes....
Tanpa disadari, sebulir air matanya jatuh begitu saja. Mengingat dirinya yang selalu dikucilkan, dan tidak pernah dianggap teman-temannya di kelas. Syafa menelungkupkan kepalanya ke dalam dekapan tangan di atas meja. Disitulah ia kini menangis tanpa suara. Sepasang mata dari tadi menyaksikan gerak-gerik Syafa.
Seorang yang pernah di-bully pasti akan merasakan tertekan dan depresi. Setelah cukup lama ia menangis dalam kesunyian, Syafa mengangkat kepalanya dan menyeka pelan air matanya. Ia segera pergi ke toilet dekat perpustakaan untuk mencuci matanya. Kemudian, kembali ke kelas.
Syafa duduk di bangkunya sambil membaca buku, matanya memang seperti membaca, padahal pikirannya sedang melamun.
“Heh, mundurin mejanya, sempit nih!” suruh Adel dengan nada tinggi.
Syafa mendongakkan kepalanya menatap Adel, kemudian menatap bangku depan barisan Adel.
“Yang luas kan depan kamu,” jawabnya dengan muka datar.
“Eh, tinggal mundur ya mundur! Lagian, belakang kamu, ‘kan masih luas, gitu aja susah amat!” bentak Adel, membuat seluruh pandang mata teman-teman tertuju padanya.
“Tau tuh, protes aja, Lo! Lakuin sana!” timpal Ando.
“Lo tau bahasa manusia gak, sih? Ha? Lo gak tau mundur?!” teriak Adel penuh amarah.
“Tau lah, ‘kan, aku juga manusia,” jawabnya santai.
“Dih, sok lugu, jijik deh,”
“Sok lugu, tapi nyatanya beda, cih!”
Akhirnya Syafa memilih mengalah berdebat dengan Adel, lalu memundurkan mejanya. Hati ini, Syafa memang mengalah. Namun, mengalah bukan berarti kalah, oke?
Beberapa hari setelahnya, Syafa mendengar kabar bahwa sekarang Bima berpacaran dengan kakak kelas yang bernama Dita.
Hari ini kelas Syafa jam kosong, padahal sekarang waktunya ulangan harian bahasa Indonesia. Adel dan beberapa siswi lainnya sedang berdiskusi di pojok kelas.
“Woi, temen-temen, kita mau ngrencanain bikin jaket couple-an sekelas gitu. Gimana, mau gak?” tanya Adel.
“Boleh,” jawab Bima.
Ketika berkeliling menawari teman-temannya, Adel dan teman-temannya tadi tidak menawari Syafa. Mereka hanya melewatinya. Bahakan Adel melirik sinis pada Syafa.
Adel tersenyum licik menatap Syafa, lalu menawari pada Dinda.
“Din, kamu mau pesen juga gak?”
“Gak deh, makasih,” jawabnya.
Dinda agak tidak suka dengan Adel karena selalu pilih-pilih. Menurutnya, dia terlalu membenci Syafa.
Adel melanjutkan menawari teman-temannya yang lain.
Syafa hanya diam, santai. Ia tak peduli perihal dia tidak ditawari oleh Adel. Menurutnya juga tak penting, jadi Syafa tak mempedulikan.
‘Kalau aku gak dianggap juga gak papa. Aku akan buktikan sama mereka kalau aku bisa tanpa Bima. Kalau aku gini terus, mereka juga semakin seenaknya. Aku bakalan tunjukkin kalau aku bukan Syafa yang lemah. Aku harus bangkit, dengan caraku menjadi anak yang berprestasi, aku bisa!’ Syafa membatin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Itu Pacaran?[SUDAH TERBIT]
Teen FictionJangan lupa follow sebelum baca yah🤗❤️ • • • Syafa Putri, gadis lugu, yang lebih nyaman bergaul dengan laki-laki dibandingkan perempuan. Dia berse...