—Maaf, anakku.
Suji menahan napas dan langsung meremat surat berwarna hijau toska di tangannya. Bersamaan dengan itu, jendela mobil di sebelah kirinya diketuk dari luar. Seorang pria berusia 40-an tahun berkumis tipis tampak memberi isyarat tangan. Suji pun segera menyimpan surat tadi ke dalam saku jaketnya, kemudian menurunkan kaca jendela. Sebelum itu, tak lupa ia menyamarkan raut suram di wajahnya dengan seulas senyum polos khas gadis remaja.
"Iya, Om Pengacara?"
"Katanya cuma mau rapihin rambut, kok lama sekali?" keluh pria berjas rapi itu. Namanya Ferdi, tapi Suji memanggilnya demikian karena memang pria itu seorang pembela di meja hijau. "Ayo cepat turun! Saya sudah kepanasan, nih." Menyeka keringat di pelipisnya, Ferdi benar-benar menunjukkan bahwa cuaca terik siang ini berhasil membuatnya cosplay sebagai pelanggan sauna.
Suji pun menertawainya. "Salah sendiri pakai jas begitu, pasti gerah lah," cicit gadis itu.
Ferdi memberikan tatapan tajam, lebih terkesan tegas karena pria itu tidak sedang marah.
Suji akhirnya mencebikkan bibir. "Iya, iya. Duh, nggak sabaran banget!" gerutunya sambil turun dari mobil. Pintu kendaraan tersebut ditutupnya dengan sedikit keras. Dakk!
Kesal? Tidak sama sekali. Itu cuma tingkah yang dibuat-buat agar terlihat natural di depan Ferdi. Suji hanya berusaha menyembunyikan perasaannya. Karena kalau boleh jujur, Suji sebenarnya mau menangis saat ini juga.
Tahan, Jie. Jangan sekarang, nanti aja kalau udah gak ada yang lihat. Dalam hati, ia menguatkan diri.
"Wahhh! Ini beneran rumahnya, Om? Gak salah, Om?" Suji membelalakkan mata, takjub dengan bangunan bercat putih di hadapannya. Terlalu megah untuk disebut rumah, pikirnya. Lebih cocok disebut istana.
"Ya, memang inilah kediamannya Pak Sena. Rumah ini yang diwariskan beliau ke kamu. Mulai sekarang tempat ini seratus persen hak milikmu."
Cewek bersurai panjang itu mengulas senyum tipis, kepalanya mengangguk ringan sambil memandangi sekitar. Tampak gerbang tinggi dengan cat merah kekuningan berdiri gagah di hadapannya. Seolah-olah dua pilarnya menjadi pembatas ke sebuah dunia yang berbeda.
"Rasanya ini tuh mimpi, anak panti kayak aku bisa pindah ke tempat sebagus ini," gumam Suji sambil berdecak kagum. Dengan sepasang mata bulat yang berbinar, tak hentinya ia berkata 'wah'. "Apa ini yang dinamakan takdir?"
Ferdi yang masih bisa mendengar ucapan remaja di sebelahnya itu pun menyahut, "Entah ya. Anggap aja ini hadiah dari Tuhan untuk anak baik kayak kamu," tuturnya dengan maksud menghibur.
Suji lantas terkekeh kecil, menghargai usaha Ferdi dan tak lupa berterima kasih pada pria yang mengaku kuasa hukum dari ayah kandungnya itu.
"Ya udah, ayo buruan masuk! Kok malah panas-panas di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐑𝐀𝐒𝐔𝐉𝐈
Teen FictionGara-gara mengantar tugas ke rumah guru dan berakhir tersesat di wilayah Mahi, Jie menjadi titik balik dari keterlibatan Arashi pada perseteruan antar geng di ibu kota. - ©eruuuniverse, 2024 "semoga suka dan cocok seleranya"