Uno

22 1 1
                                    

Bukan Aira namanya jika ritualnya tidak dipenuhi. Aku heran, gadis berambut panjang dan berponi itu selalu membuatku kagum dengan kepribadiannya.

Setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah ia selalu menyempatkan dirinya untuk Uno, Uno adalah kucing liar yang tak sengaja kami temukan tergapar lemas di toko dekat halte.

Saat itu kondisinya sungguh mengenaskan, bulu-bulunya rontok, matanya merah sebelah dan kakinya pincang.

Kira-kira 2 tahun lalu ketika sepulang sekolah, kami menemukan Uno. Sebenarnya dulu Aira tidak tega dan ingin membawa kucing liar itu kerumahnya, namun ibunya tidak mengizinkannya.

Alasannya sangat jelas. Aira alergi dengan kucing makanya ibunya sangat melarang keras Aira untuk membawanya ke rumahnya. jadi mau tidak mau kami membuat rumah yang terbuat dari kardus di belakang toko dekat halte. 

Aira sangat senang dengan pencapaiannya dan bahkan hubungan mereka sekarang sangat akrab. Uno yang tadinya sakit-sakitan dan terlihat murung berubah menjadi kucing yang bersemangat.

Pernah dulu saking semangatnya ia menunggu Aira di depan toko persis ketika kami menemukannya dulu.

Aira yang gemas melihat Uno menunggunya langsung berlari ke arahnya dan anehnya Uno pun melakukannya juga. Mereka memang akrab. 

Uno sebenarnya adalah nama dari kardus yang kami temukan dulu, karena kami tidak ingin memanggil kucing itu dengan nama "Kucing liar"

Maka, kami permudah dengan nama Uno, ide nama tersebut sebenarnya adalah ideku, karena Aira selalu bertanya-tanya dengan nama apa yang cocok dengan kucing liar itu,

Dengan spontan aku langsung menjawabnya "Uno", anehnya Aira senang mendengarnya dan langsung membopong kucing liar itu sembari menyebutnya,

"Uno, uno, si kucing manis"

Setelah beberapa lama mereka saling temu kangen, aku dan Aira pun menuju kebis. Uno dengan polosnya mengikuti kami dan butuh beberapa waktu untuk membuat Uno kembali ke kardusnya.

Aira pun membawanya kembali, mengelus nya dan meletakannya ke kardus tersebut,

"Selamat jumpa
Uno!" Desis Sina.

Kami pun berangkat dan masuk ke bis, sesekali kami melihat Uno dengan kepolosannya. Kulihat juga Aira sangat senang, matanya berbinar ketika melihat keluguan Uno.

Sorenya, sepulang sekolah dengan semangat Aira mengajakku datang menemui Uno.

Aira pun mendadak memanggil Uno dengan mantranya "Pus-pus Uno!", kagetnya kucing itu langsung berlari ke arah Aira, aira terlihat bahagia sekali dan memeluk erat Uno.

Aira pun mengeluarkan makanan sisa pagi tadi, menaruhnya dibaskom bekas yang kami temukan di sekitar tempat itu, dan yah! Sebenarnya cukup sederhana, tapi hal ini membuatku bahagia.

"Semoga saja, hari ini akan tetap ada"

Kebiasaan ini kami lakukan selama tiga tahun. Sampai dimana aku dan Aira berpisah karena perbedaan sekolah SMA, diperparah lagi dengan pindahnya rumah Aira, yang membuat kami sulit untuk berkomunikasi.

Namun semuanya demi Uno, kami pun rela merawat Uno dengan segenap hati. Kami membuat shift pagi dan sore. Kami juga sepakat bahwa pagi bagiannya Aira dan sore adalah bagianku. 

Setiap hari kami selalu bergantian untuk merawat Uno, bahkan Aira masih terlihat senang ketika ia bertemu dengan Uno, meskipun aku tidak disana, tetapi kami biasanya berbagi foto di ponsel, jadi kegembiraan masih terbagi di jiwa kami.

Kadang kami lupa memberi makan si Uno dan bahkan aku pernah menggantikan shift pagi Aira karena ia terlambat ke kelas atau masalah lainnya. 

Namun setelah dua tahun kami menjalani rutinitas tersebut, Uno menjadi kucing yang bawel, ia selalu murung dan tidak pernah meninggalkan kardusnya.

Memang kami sudah jarang bertemu, bahkan sejak tahun lalu ketika nomor hp Aira tidak bisa lagi dihubungi.

Aku heran apa yang Aira lakukan sekarang dan apa dia kesini setiap pagi?

 "Huh!"

Aku terduduk dan mengelus-ngelus bulu Uno, ia hanya menggeliat ketika aku mengelusnya.

Melihat Uno membuatku teringat masa laluku, ketika Aira menemukan Uno dengan wajah ibanya, bahkan ia sampai memaksakan alerginya dan bersin-bersin setiap kali memegang Uno.

Entah kenapa waktu itu benar-benar berharga bagiku. 

Aku melihat matahari hampir terbenam,

"Andai kamu ada disini, kamu pasti tidak akan pernah pulang" 

Aku teringat ketika Aira selalu kolot dan susah diajak pulang, ia selalu terlihat tidak senang ketika Uno ditinggal sendirian disini. 

"Haha," Dan beruntungnya aku selalu menjadi korban ketika ibumu menanyakannya.

Matahari pun terbenam, kulihat Uno sudah tertidur pulas, kesempatan ini kumanfaatkan untuk pulang. 

"Selamat malam Uno, mimpi Indah" aku pun meninggalkan Uno dan pulang.

Besok sorenya, aku membawa makanan kesukaan Uno, namanya adalah whiskas, aku tidak tega melihat Uno murung seperti kemarin dan aku pikir makanan ini cukup manjur untuk membuat Uno senang kembali.

Mengingat dulu Uno selalu terlena.

Namun ketika aku berada di belakang toko. Uno hilang! Aku mencarinya di sekitar tempat tersebut namun tidak ada jejak atau lengkuahan si Uno. 

Aku memanggil "Pus-pus Uno" namun tidak ada jawaban. Padahal teknik itu tidak pernah gagal membuat Uno terpikat. Hal tersebut membuatku hancur, tidak tahu kenapa seperti itu.

Aku jatuh terduduk, aku tidak percaya semua ini terjadi,  pertama adalah Aira dan kedua adalah Uno.

Aku kehilangan mereka berdua, semua kenangan yang dulu kubuat dengan Aira dan Uno bertahun-tahun pun kian memudar. Yang tersisa hanyalah kardus bekas yang berlabelkan Uno.

Memang isinya hampir hancur bahkan hampir tidak berbentuk. Aku heran benda serapuh ini bisa tahan lama bertahun-tahun. 

"Huh" Aku menenangkan diriku

Sampai dimana aku melihat tulisan di dalam kardus tersebut

 "Uno! Uno! Si kucing manis" ditambah emot tersenyum di akhir kalimat

***

UnoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang