Vandaria Saga - Pegangan

599 15 0
                                    

“Hidupku—payah!” adalah kalimat pertama yang kulontarkan di atas panggung, setelah tertawa terkekeh-kekeh tanpa maksud tertentu. Tidak mengherankan kalau setelahnya timbul keheningan untuk sesaat. Setiap pasang mata di sekeliling panggung perayaan Tahun Baru memandangiku lekat-lekat, seolah aku pelawak berkostum meriah yang melakukan atraksi tak terduga. Bapak Ganius lima meter di sampingku melotot, urat-urat tangan kanannya tampak lebih kentara dari biasanya, seolah gelas kaca mahal di genggamannya hendak diremukkannya.

Suara yang kudengar saat ini, selain keriuhan perayaan di kejauhan, adalah tangisan beberapa bayi dalam gendongan. Tak ada seorangpun di sekitar panggung yang membuka mulut untuk berbicara—kalau untuk bengong sih banyak. Aku tersenyum lebar dan mengangguk-angguk pada mereka semua. Kuduga aku akan mendapat “buu!” atau lemparan gelas atau buah atau sepatu dari mereka, setelah kulanjutkan perkataanku, “Ya, betul sekali! Berkat para Vanadis busuk, di atas langit, di bawah bumi, di ... dasar lautan, aku tak peduli! Mereka semua—“

“Apa maksudmu Vanadis busuk?” potong seorang pria yang bercelana longgar coklat.

“Haha, ya, maksudku—“

“Siapa Vanadis itu? Apa Serah termasuk?” sambung seorang wanita berjubah putih bak pendeta.

“Tidak, tidak ada yang spesifik!” aku berusaha menarik perhatian orang-orang lagi. “Pokoknya begini! Aku ... benci dengan para Vanadis, yang selama ini selalu sok mengatur takdir orang! Mereka semua—“ kusapukan tanganku pada semua orang di depan panggung, “dungu! Mereka tidak pantas mengatur kita! Nasib kita di tangan kita sendiri! Yaa, begitu!”

“Demi Metria, kamu bicara apa, Helmos?” akhirnya Bapak Ganius berkomentar. Suaranya kalem seperti biasanya.

Aku tertawa, lalu menjawab, “Kebenaran, Pak!”

Keheningan timbul lagi di sekeliling panggung; kali ini entah mengapa membuatku geli setengah mati. Tawa yang lebih keras pun kuledakkan. Sempat kulihat beberapa ibu-ibu melotot ngeri padaku. Mereka mundur beberapa langkah dari panggung sambil memeluk bayi-bayi mereka lebih erat—dan juga menutupi mata anak-anak mereka itu, seakan takut bayi-bayi tak berdosa itu meniru tingkahku.

“Helmos, tolong turun dari panggung,” Bapak Ganius berkata, suaranya sedikit bergetar.  

Aku menolak, “Tidak! Belum tuntas ini—“

“Sudah, hentikan!” si pria bercelana longgar berseru. “Lawakanmu tidak lucu! Menghina para Vanadis di perayaan Tahun Baru ... gila!”

“Iya!” sahut si perempuan bergaun putih. “Apalagi, seluruh tigabelas Vanadis sekaligus dihinanya, itu tidak masuk akal! Berlebihan!”

“Tahun Baru saatnya bergembira, dan inilah caraku bergembira! Hahaha!” ujarku tak peduli.

“Turun! Turun!” seru galak seorang nyonya gemuk bercelemek kusam. Anak balita yang digandengnya ikut berpartisipasi dengan mengacung-acungkan kepalan. Pria jangkung-kurus bergigi kelinci di sampingnya—suaminya—justru terdiam saja sambil menoleh-noleh canggung.

“Iya, turun!” sambung orang lain yang tidak kuingat penampilannya—mungkin karena terlalu biasa, tetapi suaranya seperti preman pasar terbengis yang pernah ada.

“Krisis moral ....” Itu adalah gumaman seorang bapak-bapak berambut dan berjenggot putih, yang berdiri di bawah panggung di dekatku. Sehari-harinya kukenal ia sebagai guru di sekolah rakyat. Ia menggumam sambil menunduk ke bawah, seperti orang yang terlalu sopan.

Bapak Ganius mendekatiku. “Helmos, turunlah,” ucapnya lembut kebapakan. Kutepis tangannya yang menyentuh bahuku; mungkin terlalu kasar, sehingga raut wajahnya berubah dingin bak algojo. Aku tertawa terbahak-bahak lagi, suara tawaku aneh seperti kayu digergaji, karena tenggorokanku kugetar-getarkan. Kali ini aku sambil bergoyang-goyang di atas panggung bak penari mabuk. (Lucunya, aku tak pernah berbuat begini ketika sungguhan teler, ha ha ha ....)

Vandaria Saga - PeganganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang