04| Hukuman

202 25 0
                                    

Aku berdiam di dalam kamar, kurang lebih 5 menit. Setelah itu Ibu memanggil, menyuruhku ke dapur dan mengambil sekop.

Dengan langkah pelan aku berjalan menuju dapur. Tidak jauh, tapi rasanya sungguh melelahkan. Begitu sampai, aku tengkurap, dan menjulurkan tangan ke bawah lemari piring. Ya, aku dapatkan sekopnya. Meski tanganku masih terlalu malas.

Seharusnya aku, tapi peduli amat, dan tetap membawa sekop menemui Ibu di halaman depan. Ketika sampai, aku langsung menyerahkannya, masih dalam keadaan belum berani menatap matanya.

"Kamu pegang saja sekop ini," kata Ibu.

Aku mengangkat sebelah alis. "Kenapa?"

"Sekarang ...." Ibu mengambil ranting kayu dan membuat lingkaran besar di sekelilingku. "Gali ini, dan jangan berhenti sebelum Ibu bilang berhenti."

"Iya, tapi untuk apa?"

"Lakukan saja, Ibu mau ke rumah calon menantu."

Penuh rasa kesal kutancapkan sekop sialan itu ke tanah. Aku menoleh ke belakang, ada Ayah dengan secangkir kopi di tangannya, dia bersantai dengan menyenderkan bahu pada pintu.

Aku menoleh ke arahnya, berharap agar Ayah bisa menolongku. Aku benci pekerjaan menyebalkan ini. Dan, seperti biasa, Ayah tidak banyak membantu. Terlalu takut istri agaknya.

Tak lama, Ayah hilang ditelan pintu. Baik, tidak ada gunanya terlalu menangisi nasib. Aku mulai menggali, menuruti garis besar yang Ibu buat. Masih tidak jelas untuk apa, membuat sumur, atau kolam, atau untuk menguburku setelah mati kelelahan?

Ketika tengah berpeluh, ada saja orang yang melintasi jalan. Kalau tinggal lewat saja aku tidak masalah, tapi mereka sengaja memelankan jalan dan berbisik-bisik. Aku tahu, gosip tentang Bella pasti sudah menyebar. Sepintas telingaku menangkap, kalau mereka tak habis pikir kenapa seorang anak yang kesehariannya diam di rumah, terkenal hobi membaca buku ternyata berperilaku bejat.

Kesal sudah, aku menendang gundukan tanah hasil galian.

"Kenapa?" tanya Ibu, dia sudah kembali. Cepat juga, ternyata ada semangkuk kuah di tangannya.

Aku memandangnya sebal. Masih sibuk menggali, tidak seberapa galian ini, baru sebatas mata kaki. Jika tinggimu 155 cm.

Oh baiklah, aku tidak tahan. "Kapan aku bisa minum?" tanyaku.

Ibu yang langkahnya baru saja menginjak teras menoleh, "Sampai pekerjaanmu selesai."

"Kapan?"

"Tunggu setelah Ibu bilang selesai." Lalu, dengan sombongnya dia meninggalkanku.

Ah sial, ini hukuman yang paling menyebalkan. Jika tahu tadi, mending aku pura-pura larut dalam kesedihan, lalu sakit sehingga Ibu menjadi tidak tegahan. Namun, sepertinya percuma. Jika diingat-ingat perangai Ibu sekali lagi. Aku yakin, dia tahu betul mana yang hanya penipuan.

"Mau minum?" Ayah menawarkan cangkirnya. Kemudian melompat masuk ke dalam sumur.

Aku mengambil cangkirnya. Bukan air dingin yang dibawa. Baiklah tidak masalah, air dingin tidak cocok ketika sedang bekerja di hari yang terik.

NEBULA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang