lose in destiny

440 41 8
                                    

catatan: oneshot ini author nemu di twitter cuman lupa akun si penulisnya
.
.
.
.
.
.
mental note: find rest.

there are moments when it’s necessary to pause and take time to heal.

-------------------------------------------------------------

Siganshina, 1945

“Maaf, aku terlambat.” Laki-laki itu terkekeh, lantas menggigit bibirnya getir.

“Aku pulang,

-------------------------------------------------------------

Siganshina, 1938

Awalnya, gadis 18 tahun itu tak mengerti. Mengapa hidup ini terasa sangat indah dan menyedihkan dalam satu waktu?

Mikasa Ackerman menghela napas berat, hidupnya cukup kritis sejak kedua orangtuanya tewas tertimpa reruntuhan dalam rumahnya. Saat itu entah kenapa hanya Mikasa yang tersisa, dibiarkan hidup dan menjadi saksi atas ketidakadilan Tuhan dalam mengambil nyawa manusia. Andaikata ia diberi waktu untuk kembali, ia akan melakukannya. Menuruti kemauan kedua orangtuanya untuk tidak bergabung dalam Pasukan Pengintai, sehingga perdebatan itu tak perlu terjadi,

Seharusnya begitu. Seharusnya ayah dan ibunya masih bisa berdiri tegap dalam rengkuhannya saat ini, jika saja Mikasa tidak membuat ketiganya berdebat hebat hingga tak menyadari bahaya yang datang menimpa mereka. Seharusnya ia tidak meninggalkan kedua orangtuanya dalam rumah mungil yang sepersekian detik setelahnya hancur lebur oleh bom yang dijatuhkan Marley. Seharusnya ia tetap disana, dan mati bersama keduanya. Mungkin itu jauh lebih baik, pikirnya saat itu, sebelum seorang pria berdarah-darah datang untuk menolongnya yang lantas berkata.

“langit tidak akan mendengar rintihan kaum-kaum iblis seperti kita, asal kau tahu. Teruslah hidup, balaskan dendam kedua orangtuamu, kemudian kalau kau ingin mati, matilah. Aku tidak peduli. Setidaknya kau tidak menyia-nyiakan apa yang baru saja terjadi pada keluargamu.”

Manik matanya melebar, Mikasa tahu benar siapa yang sedang berbicara dengannya saat ini. Tenggorokannya kering, jantungnya berdesar kencang kendati baru saja ia merasa kehidupannya hancur direnggut paksa oleh Tuhan.

Levi Ackerman. Kapten Pasukan Pengintai dari Distrik Siganshina.

Alasannya mati-matian ingin menjadi prajurit Pasukan Pengintai Bangsa Eldia.

Cinta pertama Mikasa.

-------------------------------------------------------------

Siganshina 1943

Tak jauh dari dinding Maria, akhirnya pasukan khusus tersebut dapat mengistirahatkan tubuhnya barang sejenak. Baik untuk tidur atau bahkan menyembuhkan luka-luka dapatan dari strategi invasi Liberio yang sudah direncanakan selama tiga tahun lamanya. Penyerangan kali ini membuahkan hasil yang masuk akal, juga pengorbanan yang sama mengerikan.

Levi menengadahkan parasnya, menatap langit malam yang terhampar luas dalam pandangannya. Tatapannya sendu, ia merindukan rekan-rekannya yang gugur dalam peperangan Eldia-Marley. Sudah 15 tahun ia bergabung mengabdikan jantungnya untuk Eldia, sudah selama itu pula ia kehilangan sejawat-sejawatnya. Terlepas dari penyerangan Liberio yang baru saja dilakukan, ia telah kehilangan mereka jauh-jauh hari sebelumnya. Isabel, Farlan, Oluo, Eld, Gunther, Mike, Nanaba, dan gadis itu,

Petra Ral.

Ia menghembuskan napas gusar, ‘Bodoh, apa yang dipikirkannya di tengah-tengah perang seperti ini?’

Sebelum bangkit dari istirahatnya, Levi melirik pasukannya yang tertidur dalam pelukan sleeping bag masing-masing. Ia mengernyit ketika menyadari salah satu anggotanya sedang menatapnya datar, atau mungkin sedari tadi memang memperhatikannya.

Lose In DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang