Pukul 7.00 WIB, aku bahkan belum beranjak dari atas tempat tidur. Ntah mengapa badan ini serasa susah untuk diangkat. Mungkin suasana mendung di pagi ini membuat suasana malas menyerangku.
Dua bulan sudah Rahel menjalani PKL nya. Dan 2 minggu sudah aku tidak mendapatkan kabar darinya. Kangen rasanya hati ini. Biasanya dia paling rajin tuh gangguin aku. Palagi kalau aku bangunnya di atas jam 6. Hufff,....pasti deh suasana kosku yang berukuran 3x4 meter tersebut terkena dampak gempa dari cerewetnya. Abis dia demen bangat bangunin aku dengan suaranya yang emang terkenal merdu. Suasana kamar ini sunyi ga da kamu Hel, pekikku.
Astaga naga,...dah jam 7.15. Aku cepat-cepat melompat dari atas tempat tidurku menuju kamar mandi. Dengan secepat kilat air yang mengalir dari lubang kran menghampiri tubuhku. Uih,...dinginnya menusuk ke tulang-tulang.
Jarum panjang telah menunjukkan angka 7.45 saat aku berangkat ke kampus. Tepat saat kakiku mendekati pagar kosan yang kami namakan 'Gubuk Derita' tersebut, Hpkupun bernyanyi. Parah benar, gak tau apa kalau aku dah telat ke kampus pekikku kesal.
"Iya tante" kubuka pembicaraan sambil menjaga etika kesopanan yang sering diajarkan orang tuaku.
"Dek, Rahel sakit"
RAHELKU,.....
Seperti bom yang meledak. Kata-kata itu meluluhlantahkan pagiku. Aku gak tau harus berkata apa. Yang kutahu saat ini hanya terdiam tanpa berbuat suatu apapun.
"Dek,..." Tante Isti, adik mama itupun memanggilku untuk memastikan keberadaanku. Dia tahu seharusnya aku tak bisa mendengar berita ini. Sebab ia tahu bahwa kesehatanku akan menurun apabila mendengar sesuatu yang dapat menjadi beban pikiranku.
"Tan, dimana Rahel sekarang? Rahel sakit apa tan?" Air mataku tertahan dan memang harus benar-benar kutahan untuk hal seperti ini. Aku harus mampu menunjukkan bahwa aku tidak apa-apa.
"Kemarin malam sepulang PKL Rahel mengeluarkan darah dari hidung dan mulutnya. Satu jam setelah itu dia jatuh pingsan dan Uda (paman) mu melarikannya ke rumah sakit Harapan Bunda.
"Rahel sakit apa tante?",isakku. Aku bahkan ingin tahu semua keadaan Rahel.
"Dek, Rahel bisa marah lho kalo tahu kamu menangis gini" Kuseka air mataku dan kucoba menenangkan diri. Tak ada yang kuinginkan saat ini. Aku hanya ingin Rahelku tidak kenapa-kenapa. Aku hanya ingin Rahelku. Kuliahkupun aku tak menggubrisnya lagi.
"Sejauh ini dokter belum tahu apa sakit yang dideritanya" Tante Istipun mencoba melanjutkan kata-katanya. "Mungkin Rahel hanya kecapaian saja"
Akh,..kata-kata kecapaian itu hanyalah samaran dari kata-kata pelega yang diberikan tante Isti kepadaku. Seperti kata-kata yang biasa kukatakan kepada orang-orang saat aku sakit.
Dibenakku terbayang wajah Rahel yang selalu tampak ceria di hadapanku, wajahnya yang selalu tersenyum bahkan saat tampak keletihan diwajahnya ketika menjagaku yang selalu berbaring di rumah sakit. Suaranya, ya suara indahnya yang selalu menghiburku dikala sedih menghampiriku. Keseluruhan tentang Rahel yang membuatku selalu kuat dan mampu menjalani sesuatu yang aku anggap itu imposible.
"Ingat kesehatanmu dek. Tante berharap dengan kamu mendengar kabar ini kamu gak down dan kamu bisa menjaga kestabilan tubuh kamu. Tadinya Era melarang tante mengatakan ini padamu. Dan tante pikir gak baik buat kamu untuk menutupi ini. Tante mohon ya jaga kestabilan tubuh kamu, kesehatan kamu"
Kutarik nafasku perlahan. "Iya tan" jawabku singkat. "Trus Nantulang dah tahu soal ini?"
"Udah dek. Sedang dalam perjalanan kemari. Yaudah ya, tante juga harus menjaga Era. Kamu jaga diri kamu juga ya sayang. Syalom"
KAMU SEDANG MEMBACA
IN MEMORIAM
Teen Fiction"Maafin aku ya. Aku bahkan gak sadar kalau sikapku membuat kamu iri padaku. Maafin aku ya sisthaku. Hel, ada satu hal yang membuatku masih bertanya apa yang membuatmu marah samaku. Walaupun itu gak kudapatkan aku harap bila reinkarnasi nanti kita be...