Cursed Carousel

385 39 291
                                    

Untukmu yang hari ini diberikan umur lagi; pelipur lara yang dicintai seisi dunia, si pelantun elegi di awal musim pepohonan menguning, terima kasih banyak atas semua cintamu dan telah kuat melalui banyak anca untuk sampai ke titik sekarang, semoga harapan dan impianmu diwujudkan. Berbahagialah selalu.

      APA kalian percaya ada sebuah desa kecil yang raharja, aman, dan rahayu dari zaman dahulu kala hingga sekarang tanpa setitik bahala apapun terdapat di dalamnya? Desa dengan kegemilangan sumber daya yang tak kekurangan apapun, sesederhana pem...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


      APA kalian percaya ada sebuah desa kecil yang raharja, aman, dan rahayu dari zaman dahulu kala hingga sekarang tanpa setitik bahala apapun terdapat di dalamnya? Desa dengan kegemilangan sumber daya yang tak kekurangan apapun, sesederhana pemukiman penduduk yang bersih dan ramah lingkungan dengan tembok-tembok dan atap warna-warni, lengkap dengan kebun-kebun kecil dan para pedagang yang selalu tampak bersahaja. Barisan ancala yang terlihat dari balik sekumpulan hijau dedaunan hutan, aspal rata nan bersih sepanjang jalan dan berhawa sejuk. Hasil panen yang melimpah ruah sudah lebih dari cukup guna memenuhi kebutuhan penduduknya. Maju dalam segalanya, namun tetap hidup memakai metode lama; maksudnya nyaris tak mengandalkan teknologi modern. Pendidikan dan mata pencahariannya sebagian besar masih terkesan kuno, namun hal itulah yang menciptakan kesejahteraan disana.

Dihuni oleh sekelompok individu palamarta, yang tak pernah lupa saling menyungging senyum pada penduduk satu sama lain—bahkan pendatang sekalipun. Tak ada pemimpin seperti Kepala Desa atau semacamnya. Desa itu nyaris bak tempat paling mendekati surga.

Sederhana, namun berbahagia.

Percayakah?

Setelah berkelana secara nomaden, menafsir siratan makna kehidupan yang berjalan layaknya tragedi bertahun-tahun lamanya, sekembar tungkaiku stagnan di gapura penyambut desa. Terpaku, membisu. Mencari titik keberadaannya bukan main sukarnya. Tak terdeteksi di mobile map, bahkan beberapa orang tak mafhum akan eksistensinya yang nyaris nihil. Mengusap setitik peluh yang terjun bebas di pelipis—sebab berjalan menyusuri ratusan meter dari tepi bulevar besar—kubawa daksa memasuki kawasan asing yang benar wujud indahnya sesuai yang pernah terdeskripsi di serangkaian aksara, dan tervisualisasikan di dalam serebrumku.

Selamat datang di desa Muri.

Benar, dia tak membual. Dunia surgawi nyata adanya.

Apa? Dia siapa?

Ya, dia.

Dia yang memberiku sepucuk surat tujuh tahun lalu.

Sedikit berbincang, tatkala baru kembali dari maut sebab bertempur dengan serigala omnivora di kaki gunung selatan, aku—dara yang hidup bebas dan terbiasa memakan apa yang tersedia di alam namun masih layak manusia makan—seketika melongo saat melangkah pada mulut desa dan mendapati sekumpulan bocah memakan suatu daging hangus. Maksudku, tidakkah orangtua mereka bisa murka? Tetapi kembali lagi pada kalimat yang kututur tadi, mereka bahagia. Mereka senang. Tak peduli mungkin bila lidah digerayangi rasa asap.

Benar, dia tak berdusta. Desa tempatnya bersemayam diselimuti sukacita.

Apa? Dia siapa?

Ya, dia.

Mereka Yang PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang