Dulu ada satu hal yang tertinggal di belakang keberanianku untuk bertahan. Adalah kamu. Rasa keingintahuanku tentang ujung dari satu perjalanan yang sudah lama patah. Rasa percaya diriku yang terlalu tinggi karena menganggap pada akhirnya mungkin kau akan sedikit berubah. Ambisi doa-doaku yang menyertakan namamu, yang kupikir memang untukku. Yang kupikir mungkin hatimu masih menaruh rasa iba terhadapku. Yang menuntutku untuk terus berusaha sebisa mungkin. Yang membuatku tidak krmana-mana. Daridulu.
Aku seolah dibuat lupa bahwa hanya perlu satu luka, untuk berhenti dan tidak lagi mengemis doa, tidak lagi memaksa. Aku seolah dibuat buta bahwa selama ini hanya kepergianmu yang kerap terekam sebagai peristiwa. Aku merasa semua berjalan dengan rumit. Berada jauh di atasku, dan harus kutarik. Aku selalu meyakinkan diri, bahwa yang mencekik akan melunak dengan ketulusan hati.
Jika seperti itu yang menjadi makna bahagia untuku, maka tidak ada lagi cinta yang baik di kemudian hari. Tidak ada aku di masa depan karena aku selalu memilih tinggal di hari ini. Hari yang sama dengan tahun-tahun saat kita masih saling bertukar rasa. Yang pada akhirnya cerita terhenti pada bagian aku memelihara luka. Menjalani realita yang penuh kiasan dan membuatku terlena.
Sekarang ku tersadar, bahwa edelweiss yang kujaga bertahun-tahun lamanya layu juga. Menjadi bingkai cerita "Sang abadi yang sudah mencapai batasnya". Kau, teruslah berjalan ke depan dengan bahtera yang sedang kau naiki. Dan aku, hanya perlu menaruh edelweiss yang layu ini disamping nisan bertuliskan perasaanku terhadapmu.
Biar kucari bunga baru yang akan ku rawat sama seperti dulu, yang bisa kujadikan telinga di masa-masa sulitku, yang bisa menjadi perisai saat seisi dunia menjadi musuhku. Kau hebat, dan ku beruntung pernah menggenggam tangan yang sudah mengantarku sejauh ini.
21 | 04 | 21