Aku terus berlari menyusuri cabang-cabang kecil di semak-semak ini, tanahnya yang becek membuat sepatuku termakan akar-akar batang. Aku semakin sulit bergerak.
Suara motor lelaki tua itu terdengar semakin mendekat. Aku harus bersembunyi, pikirku. Segera aku merunduk, mencoba berlindung di antara tumpukan kayu-kayu mati ini. Tampaknya baru saja kemarin dibakar, aku membatin.
Aku memasang mata jeli ke sekitar, andai saja tiba-tiba mata-mata lain yang berkeliling. Aku ciutkan badan sebisaku, berharap kontras warna mukena berwarna kuning keemasan ini tak mencolok dan menarik perhatiannya.
"Sial, kenapa warnanya bisa tabrakan begini." umpatku dalam hati.
Mataku kembali fokus pada motor lelaki tua itu yang tampaknya dibelokkan. Ia tak sadar ada aku di sini rupanya. Selang beberapa menit, saatku perkiraan jarak motornya sudah jauh. Langsung saja aku keluar dari tempat persembunyianku. Membiarkan sendal pinjamanku ini bercampur dan lengket dengan tanah-tanah berair tadi.
Aku melempar pandang ke sekeliling.
"Ke mana aku harus berlindung?" Tanyaku dalam hati. Aku melihat bangunan rumah setengah jadi. Oh, kelihatannya belum berpenghuni. Seribu langkah aku menuju rumah yang ditargetkan tadi.
"Huh, akhirnya bisa meluruskan kaki." Lega rasanya, bisa berhenti sejenak dari permainan melelahkan ini.
Memangnya mereka kira aku ini pelari The Maze Runner atau pemeran utama Hunger Game?! jengkelku dengan nafas yang masih terengah-engah.
Brum..brum.. suara motor tadi kembali terdengar.
"Sial, cepat sekali orang tua itu." rutukku.
Aku langsung berdiri, melihat lagi ke sekitar, jalan mana lagi yang harus aku ambil untuk menyelamatkan diri dari penangkapan Si Tua ini. Kali ini aku menyusuri semak-semak yang berbeda. Tanpa menoleh ke belakang, aku terus saja berjalan.
Dan tebak apa yang terjadi.
Aku justru sampai di persimpangan jalan. Di depannya terhampar jalan raya dengan banyak kendaraan berlalu lalang.
Aku tak henti-hentinya merutuk, lagi. "Memang bodoh, kenapa justru lari ke sini? Ini sama saja artinya aku menyerahkan diri."
Aku menoleh ke belakang. Kali ini bukan hanya suara yang terdengar tapi juga sorot lampu motornya sudah bisaku lihat. Jarak kami semakin dekat.
Tanpa berpikir aku berlari menyisiri semak-semak lain yang kuyakini motor bututnya itu tak kan mungkin bisa menembus ranting-rantingnya.
Aku terus berlari, tak aku hiraukan kakiku yang tercakar akar-akar kayu. Mukena kuning yang berwarna cukup norak ini pun sudah tak kuhiraukan lagi bentuknya. Kainnya tersangkut di sana-sini, tapi aku harus terus berjalan. Menghindari tua bangka yang siap mengirimku.
Suara motornya kali ini sudah tidak ada, tapi suara dari mulutnya yang berteriak-teriak dari kejauhan itu terdengar seperti sedang melempar sampah.
"Hai Nak, pulanglah." kalimat yang diulang-ulangnya entah sampai berapa kali.
"Kau pikir kau tahu apa tentang hidupku?" rasanya ingin sekali aku bertentang wajah dengannya dan mengatakan seperti itu.
Langkahku terhenti saat aku dihadapkan pada jalan buntu. Tapi untungnya aku tidak bodoh, pikirku.
Ada asap pembakaran dari gubuk di ujung kanan, menandakan ada orang yang sedang mendiami gubuk itu. Pertolongan.
Aku berjalan selangkah demi selangkah menuju gubuk reyot ini. Tiba-tiba suara anjing menggonggong membuatku terkejut. Pemilik rumah ini pun langsung menghampiriku, mendengar gonggongan penjaga rumahnya.
"Maaf cari siapa ya dik?" tanya Bapak yang tak setua Si Bangka tadi, bertanya sambil memerhatikanku dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Cari air pak, bapak ada minum?" jawaban paling tolol untuk orang pintar sepertiku.
Mendengar jawabanku ini, ia langsung saja mempersilakanku masuk ke wilayah kekuasaannya ini. Gubuk reyot dengan sepeda butut yang disandarkan ke dindingnya.
"Dari mana dik?" tanyanya setelah aku letakkan gelas air minum kembali ke meja.
"Saya lari dari rumah, Pak." ini jawaban kedua tertolol yang pernahku ucapkan.
Pernyataan yang sama sekali tidak diminta. Tentang pelarian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dan & Mai
RomanceHari itu kamu bilang tak ingin bohong Mai. Kenapa hari ini rasanya hari itu tak pernah ada? -Dan. Kalau saja takdir kita yang tulis, pasti hanyal hal baik yang ingin ku terjadi. -Mai. Ternyata hidup punya jalannya masing-masing. Mungkin kita memang...