1 - Karena Mereka Tidak Tahu

5 0 0
                                    

Bis antar kota dalam propinsi melaju lambat memasuki terminal Tirtonadi. Heny mengenakan celana jiens warna hitam, kaos warna krem, tangan kirinya mengapit tas keluaran terbaru dari merk ternama, tangan kanannya menenteng paper bag warna biru yang berisi beberapa pakaian untuk tiga hari. Ia bersiap untuk beranjak dari duduknya, menunggu perlahan satu persatu penumpang turun. Tidak sedang terburu-buru karena tidak ada urusan yang memburunya.

Kakinya melangkah menuju keluar terminal, Heny menghentikan langkah. Di sekeliling hilir mudik orang dengan cepat, menuju tujuan selanjutnya sambil menjinging barang bawaan. Sungguh, ia tidak tahu kota kelahirannya ini bisa mengobati kebuncahan.

Tidak jauh dari tempatnya berdiri, seorang perempuan sedang mengandeng tangan anak kecil berusia kurang lebih tiga tahun. Anak itu kegirangan melihat bis-bis besar berderet. Sang lelaki tiba-tiba menghampiri, menyodorkan minuman kearah wanita, mungkin suaminya. Tersenyum sebentar lalu segera meminumnya. Meskipun tampak kelelahan, tetapi masih bisa tersenyum bahagia sambil mengawasi anaknya teriak-teriak bahagia. Heny menyadari, kalau sebenarnya situasi seperti itu ia inginkan. Awal pernikahan dulu ia sangat menginginkan, mengandeng anak kecil disebelahnya sambil bercanda-tawa. Namun angan-angan itu semakin pudar.

Diluar halaman Terminal Tirtonadi, hujan rintik-rintik. Hari itu nampaknya hujan deras disertai angin kencang sedang melanda kota. Terlihat daun-daun berjatuhan berserakan memenuhi jalan. Heny berdiri menengok kekiri dan kekanan. Di sisi luar berderet angkutan umum becak, taksi, ojek dan bis yang ngetem menunggu penumpang. Tidak ingin kehujanan wanita itu memilih becak yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Pengayuh becak segera mendekat kearahnya. Setelah Heny mengatakan tujuannya. Menutup dengan plastik tebal agar tidak kena hujan. Sehingga ia tidak bisa melihat sekeliling kanan dan kiri sepanjang jalan itu.

Masih terngiang-ngiang ditelinga Heny saat Hendry mengatakan."Kamu ini tidak menjaga kehamilanmu atau jangan-jangan tidak menginginkan kita mempunyai keturunan!"
Lagi-lagi kata-kata yang menusuk itu terngiang,"Ngapain kamu pulang ke Solo, mau mengadu sama keluargamu, begitu, hah!"
Perasaannya menjadi hancur berkeping, air mata tiba-tiba meleleh tidak menghiraukan ia berada dimana.

Lamunan dikagetkan saat pengayuh becak menyapanya. Memberi tahu dengan bahasa Jawa halus dan sopan sambil menundukkan kepala. Ban belakang sebelah kanan tiba-tiba kempes dan berhenti di bengkel terdekat.
Heny menghirup udara mengeluarkan secara perlahan-lahan. Untuk mengurangi kegelisahan, sambil mengelap sisa air mengembang di sudut matanya. Lalu turun dari becak menunggu pegawai bengkel menambahkan angin.

Tiba-tiba kepalanya mulai pening. Bingung kalau Bapak juga saudara-saudaranya menanyakan anak, ia mau memberikan penjelasan apa. Mengingat suaminya berkata agak kasar saja, air matanya tidak kunjung berhenti. Sepintas, dilihatnya Bapak pengayuh becak beranjak dari duduknya mengamati pegawai bengkel. Lalu, beranjak membuka plastik tebal, menyondongkan becaknya sambil tersenyum, mempersilahkan Heny untuk menumpangi lagi.

Heny membalas senyum, sambil menahan gemuruh perasaannya. Entah kenapa ia menginginkan pulang dengan hati yang tidak menentu. Dan, ia sendiri tidak tahu sampai berapa lama akan tinggal di rumahnya.

***

Heny tiba di rumah joglo. Halaman luas dengan berderet kain batik yang dijemur. Memasuki beranda, ruang keluarga sepi dan lengang. Biasanya Ibu selalu duduk menyambut kedatangannya. Lalu, mengobrol panjang lebar di tempat itu. Kini sepi. Hanya terdengar sayup-sayup suara radio lokal yang menyiarkan campursari menemani pekerja dibelakang rumah. Bapaknya entah kemana, tidak berada di rumah. Mungkin lagi menemui pelanggannya membicarakan motif-motif batik terbaru. Rumah yang merawat pembantu ia memanggilnya Bibik, serta karyawan yang sudah ikut bertahun-tahun. Bahkan, sudah menjadi bagian keluarga itu.

Wanita itu mengamati keadaan sekelilingnya. Terakhir pulang kerumah dua bulan lalu bersama suaminya. Saat ada khitanan saudaranya. Waktu itu dengan senyum bahagia mengabarkan kehamilan pada saudara-saudaranya. Ternyata kebahagiaan itu hanya sementara, ia menghadapi kesedihan yang entah kapan akan berakhirnya.

Heny memilih pulang sementara untuk menenangkan diri. Tempat ia kembali mengenang memori masa kecilnya. Masa kanak-kanak sampai usia dewasanya yang dihabiskan di rumah itu. Dulu sering merecoki pegawai-pegawain Bapaknya. Bermain petak umpet diantara jemuran kain batik dan tumpukan bahan-bahan sama teman-temannya juga anak dari karyawan. Saat-saat tawa bahagia tanpa beban itu, seakan cepat sekali berganti. Masa lalu benar-benar hanya pernah dilewati saat itu saja. Mengingat pun hanya sebatas kedipan mata.

Waktu mudah sekali berubah. Bahkan, perubahan itu tidak bisa mengelaknya. Sama seperti motif kain-kain batik yang dijemur tidak pernah sama meskipun pembuatnya masih sama. Selalu berganti dengan corak-corak baru setiap hari dengan berbagai macam pembeli. Karena mengikuti selera pasar yang selalu berubah. Dulu orang hanya suka warna yang kalem-kalem. Motif-motif yang mencolok apalagi gambar bola tidak pernah terlintas. Kini, batik motif bola memenuhi ruangan itu. Meja tengah tempat Ibu untuk mendesain gambar-gambar kosong dan sepi. Tidak ada yang mengantikan keberadaanya. Hanya sesekali saja Bapak duduk di situ.

Heny berusaha tersenyum. Meskipun hatinya getir. Ia menyingkirkan berbagaia pikiran yang membuatnya tertekan. Tetapi entah kenapa hatinya tidak bisa tenang. Ada perasaan yang menganjal dalam hatinya, seperti bongkahan batu besar yang menindih batin. Ia menyadari sepenuhnya, senyum yang menghias bibirnya tidak seperti dulu lagi. Ada yang hilang seiring dengan bergantinya hari. Bahkan ia pun tidak akan menoleh kebelakang kebahagiaan yang telah ia semi dalam biduk rumah tanganya memudar karena prinsip yang mulai berubah. Lalu ia kembali tersenyum sendiri untuk mengurangi kegetiran.

Wanita itu lalu melangkah masuk, berjalan kearah pintu belakang. Angin semilir masuk dalam rumah. Masih tetap sama karyawannya bekerja dengan tekun tidak ada yang mengantikan mengawasi setelah tidak ada Ibu. Heny harapan satu-satunya penerus usaha itu. Ia berdiri menyandar di pintu mengawasi dari kejauhan.

Mungkin kalau semuanya tidak berubah secara cepat. Andai saja suruh memilih untuk bahagia atau bersedih. Ia tak akan sanggup untuk sekedar memilih. Heny terpaku dengan tatapan kosong. Berkali-kali menghembuskan napas perlahan untuk mengurangi ketegangan.

"Kamu sudah datang, Nduk."

Heny mencari datangnya suara yang membuyarkan lamunan. Melihat Bapak sudah berada di meja makan yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sorot mata teduh dan menenangkan.

Lalu ia berdiri mencium tangan keriput lelaki berambut putih itu dan menempelkan kening dan memeluknya dengan erat.

"Bapak"

Belum sempat ia melanjutkan bicara air mata yang berbicara deras. Lalu bapaknya memeluk dengan erat.

"Menangislah kalau itu mengurangi sesak di dadamu, Nak."

Gadis itu semakin erat memeluknya. Lima belas menit rasanya masih kurang. Tetapi ia harus menyudahinya.

"Maafkan anakmu ini begitu cengeng, Bapak."

Ia menginginkan hal sederhana dalam hidupnya. Kebahagiaan itu masih ada, entah esok atau lusa harapan itu masih tetap tersimpan dalam hatinya pada lelaki pilihan terakhirnya.

SERPIHAN RINDUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang