Surat Terbuka untuk Harsa; dari Jiwa-jiwa Merindu Milik Marka

390 44 16
                                    

Surat ini kutulis untuk entah keberapa kalinya dalam sehari ini. Hanya satu-satunya yang berani kukirimkan langsung padamu melalui tukang pos yang selalu kuminta secara pribadi di tempat pengantaran surat setiap bulannya hingga wanita yang biasanya terduduk kuyu di depan komputer sore itu berubah menatapku makin malas saat kedua tungkaiku menjejaki lantai bangunan berwarna kuning pudar itu.

Serta satu-satunya pula warta yang kubuat khusus tatkala sinar matari menelisik dari jendelaku yang tak tersingkap oleh kain tabir. Asal kau tahu diriku cukup lama memandangi surat yang terpapar cahaya itu, Harsa. Mendadak saja aku teringat betapa cerahnya engkau menerangi hari-hari bergelayut mendung di hidupku ini saat aku melamun.

Kilasan balik tentang wajah ceriamu di bawah sang surya saat kita berdua berlarian di tengah ilalang sontak terbayang-bayang di benakku bagai rekaman kaset yang telah lama ranam. Di saat yang sama pula, aku lantas baru saja menyadari apabila sinar matari Marpuala rupanya memang diciptakan untuk membasuh paras rupawanmu.

Kuyakin kau pasti sudah berdecih saat membaca baris surat ini. Memang, katakanlah aku terlalu hiperbola. Namun, diriku tiada pernah berdusta dan kau pasti mengerti alasannya.

Kini bagaimana kabarmu di tanah kering Kairo? Negeri dari berpuluh-puluh dewa serta ramses agung yang selalu kau bicarakan padaku dahulu. Ingatkah kau?

Kalau diriku tentu baik-baik saja, tak perlu kau tanya. Aku sudah berkeliling dunia, menjarah lautan dengan kapal-kapal besar, mengangkut emas dan menerjang ombak dengan berani seperti yang sering kusombongkan padamu sewaktu belia.

Namun kini diriku telah memutuskan untuk menemui rumah setelah sekian lama terombang-ambing digoyang ganasnya ombak samudera. Pergi ke tempat di mana aku dilahirkan, dibesarkan sekaligus menemukan cinta pertamaku, yakni engkau.

Jangan tanya mengapa. Aku pun tak mengerti. Rasanya seolah tangan Tuhan bergerak membanting setir perahuku, bertolak dari lautan Hindia menuju kepulauan Marpuala yang tumbuh dengan sederhana.

Harsa, sepertinya Tuhan mengetahui betapa diri ini teramat sakit menahan merindu selama beberapa waktu. Jadi, sepertinya Ia menuntunku pulang dengan peluk kasihnya yang selalu hangat. Kembali menemui peraduan, tempat kenangan-kenangan kita bersarang agar tak pernah lekang dari waktu sebelum akhirnya mencumbunya cukup lama dalam dekap eratku.

Omong-omong, ingatkah dirimu pada Fajar? Kelomang yang kita temui enam tahun lalu di pantai antah berantah (yang pada esok harinya kau beri nama dengan sebutan Tanjung Buana) saat matahari menyingsing dari ufuk timur.

Kutemukan cangkangnya telah kosong tak berpenghuni saat kedua tungkaiku melangkahkan kaki menyusuri sepanjang Tanjung Buana seorang diri. Tak dapat dipungkiri bahwa sisi di dalam diriku menggerung sedih tatkala mengingat betapa lamanya kita meninggalkan Fajar jauh di belakang seorang diri. Bagaimana dengan dirimu? Tidakkah kau juga menyesali kepergian Fajar juga sepertiku?

Selepas kukuburkan cangkang Fajar, aku kembali melangkah sembari memandang jauh segaris mega yang terlukis di atas bumantara. Kepergian kelomang itu sebetulnya begitu menyentilku, asal kau tahu, Harsa. Butuh sejenak waktu untuk menyadari bahwa kini tak ada lagi suatu kenangan apapun lagi yang tertinggal di Marpuala mengenaimu, mengenaiku maupun tentang kisah cinta kita berdua yang tak pernah rampung dirajut.

Setidaknya aku masih dapat mendengar gelak tawamu memantul dari dinding-dinding teruk berhias vandalisme bocah-bocah jalanan, menghiasi runguku dalam ruang fatamorgana. Menepis rindu merasuk sanubariku tiap kali mataku terpejam.

Mari berhenti membicarakan pasal diriku, Harsa. Laki-laki tak tahu diri ini terlalu banyak sesumbar mengenai hidupnya, yang mungkin bahkan tak ingin kau baca lebih lanjut lagi jika aku masih melanjutkannya.

Surat Terbuka untuk Harsa;Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang